Ibarat secarik kertas polos, seseorang dilahirkan ke dunia pun kosong tanpa informasi apapun. Seperti teori John Locke yang melakukan riset tentang perkembangan anak, seseorang bertumbuh seperti kertas polos yang dituliskan huruf-huruf sedikit demi sedikit. Huruf-huruf tersebut pun menyambungkan sebuah kata yang menjadi kalimat, paragraf, teks, dan seterusnya. Begitupun ketika kita masih bayi yang kemudian menjadi anak-anak, remaja dan dewasa. Sedari kecil kita sedikit demi sedikit dilatih untuk berbicara, berjalan, mempelajari sesuatu yang baru setiap harinya hingga akhirnya bisa melakukan aktivitas sendiri tanpa bantuan orang tua. Di masa-masa pertumbuhan otak pun seorang anak itu akan menyerap informasi amat banyak yang akan mengendap sebagai dasar pemikiran. Itulah mengapa masa kecil dapat sangat menentukan kepribadian seseorang di kala dewasa.
Sebenarnya semua orang memiliki trauma masa kecil meski skalanya kecil atau besar. Jika besar seperti kekerasan fisik dan verbal tentu saja akan sangat mengganggu mental sang anak ketika beranjak dewasa. Misalnya saat anak kecil mendapatkan kekerasan verbal dari orang tua saat dewasa dia bisa saja ketakutan ketika mendengar orang yang membentak atau bertemu seseorang dengan sifat yang sama Ketika dewasa dia akan menghindari orang-orang yang mirip dengan orang tuanya. Sesimpel ungkapan “Masa gitu saja tidak bisa” bahkan bisa sangat berpengaruh untuk mentalnya. Di masa dewasa dia akan merasa menjadi orang yang gagal dan tidak berani melakukan sesuatu yang besar.
Sebenarnya semua orang memiliki trauma masa kecil meski skalanya kecil atau besar.
Berbeda dengan adanya trauma akibat kekerasan fisik. Di masa dewasanya seseorang itu dapat menjadi pelaku kekerasan fisik juga terhadap orang sekitarnya. Sadar atau tidak sadar. Dia bisa tidak sadar karena saat kecil dia merasa itulah solusi dari masalah karena seringnya melihat atau merasakan kekerasan fisik. Akhirnya kekerasan fisik itu menjadi suatu hal yang biasa dalam kehidupannya. Buruknya, tidak semua orang bisa menyadari kalau dia memiliki trauma masa kecil kecuali mendapat masukan dari orang lain berulang kali. Itu pun harus dipicu dengan pertanyaan yang mengarahkan berkali-kali supaya dia dapat introspeksi diri dan mengingat kembali kejadian di masa kecil yang menjadi trauma di masa dewasa.
Lalu sebenarnya mengapa trauma itu bisa terjadi? Jawabannya adalah karena tak ada orangtua yang sempurna. Masih jarang sekali orangtua yang melalui berbagai macam tes kepribadian dan mental sebelum memiliki anak. Sehingga tanpa sadar, tanpa pengetahuan yang luas dan kesiapan mental yang sepenuhnya matang, mereka akan membentuk sang anak sejauh pengetahuannya saja. Atau bisa jadi sejauh bagaimana orang tua mereka mengajarkan saja. Kemudian terjadilah sebuah siklus dalam keluarga yang terus berulang. Ini juga dapat menjadi alasan mengapa sangat penting untuk seseorang menyadari dan menyelesaikan trauma masa kecilnya hingga tuntas sebelum akhirnya memutuskan berkeluarga. Semua itu tentu saja untuk mencegah terjadinya kejadian berulang pada anak-anak mereka. Menjadikan anak-anak mereka korban atau bahkan pelaku di masa depan.
Lalu sebenarnya mengapa trauma itu bisa terjadi? Jawabannya adalah karena tak ada orangtua yang sempurna.
Hanya saja, seseorang yang ingin menuntaskan trauma masa kecilnya perlu menerima bantuan karena jika masalahnya ternyata besar bisa saja dia tidak kuat untuk menerima masa lalu tersebut. Andaikan saja penyembuhan trauma masa kecil seperti sebuah penyakit. Kala sakit flu atau batuk kita bisa saja hanya perlu minum obat yang dijual di pasaran, tidak perlu sampai ke dokter. Tapi kalau ternyata flu tersebut terus berulang dan ternyata menunjukkan penyakit yang lebih parah maka seseorang dianjurkan untuk pergi ke dokter untuk memeriksakan lebih lanjut, bukan? Harus amat hati-hati memang ketika seseorang ingin sembuh dari trauma masa kecil. Salah-salah dia dapat terjebak dalam masa lalu tersebut dan sulit melanjutkan hidupnya di masa kini.
Selain berkonsultasi dengan profesional untuk menyembuhkan trauma masa kecil demi pertumbuhan anak yang lebih baik, seseorang juga sebaiknya mempertanyakan apakah dia sanggup untuk menjadi orang yang sabar 24 jam. Pasalnya, masa-masa memiliki bayi yang belum dapat melakukan apapun oleh dirinya sendiri membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Ingatlah bahwa menghadirkan seorang anak ke dunia adalah sebuah karunia terbesar di mana pertimbangannya harus dipikirkan matang-matang. Tidak hanya sekadar memenuhi target hidup saja.