Dulu waktu kecil, saya orangnya gampang banget marah. Dibecandain sedikit, kesal. Dikatain sedikit, kesal. Bahkan walau nggak ada masalah apa pun juga entah kenapa bisa kesal. Saya yakin dalam hidupmu, pasti sedikit atau banyak kita pernah punya satu kesamaan, yaitu pernah gak bisa mengontrol emosi sehingga akhirnya marah.
Marah, ketika mendengar kata ini pasti banyak pikiran negatif dan buruk yang muncul. Seakan-akan orang yang marah merupakan orang yang “jahat”. Namun, apakah persepsi ini selalu menjadi kenyataan yang sebenarnya? Apakah apabila ada orang yang marah maka orang itu adalah orang yang gak baik? Apakah kemarahan selalu merupakan pertanda negatif?
Ternyata tidak sesimpel itu, karena marah itu ada berbagai macam tipenya. Ada 3 tipe kemarahan yang paling sering dikategorikan dan mari kita bahas satu persatu.
1. Passive Aggression
Atau kalau Bahasa Indonesia-nya pasif agresif, mungkin pasif agresif ini adalah kata yang cukup umum dan sering digunakan oleh banyak orang untuk menandakan orang yang marah tapi ngakunya gak marah. Orang yang pasif agresif suka tidak mengaku kalau mereka marah karena mereka tidak suka yang namanya konfrontasi, ini adalah alasan kenapa mereka mencoba untuk bertindak seakan-akan mereka tidak marah supaya orang lain gak sadar kalau mereka sedang marah.
2. Open Aggression
Ini adalah jenis marah yang mungkin paling dekat dengan definisi yang kita gunakan untuk marah sehari-hari. Orang yang ketika marah cenderung untuk mengamuk dan bertindak agresif secara fisik atau bahkan verbal adalah tipe orang yang mempunyai sifat open aggression. Tipe marah yang ini sering kita ditemukan dalam aktivitas mengkritik, menuduh, blackmailing, dan masih banyak lainnya.
3. Assertive Anger
Di antara 3 tipe marah yang sudah disebutkan, tipe inilah yang paling positif, karena assertive anger adalah tipe marah yang sehat. Ketika kita marah secara asertif, kita dapat mengontrol emosi kita terlebih dahulu dan bisa berkomunikasi agar bisa mencari solusi yang tepat untuk permasalahan yang membuat kita marah. Dengan marah secara asertif justru bisa memberikan kita dan lawan bicara kita dampak yang positif dan membuat hubungan kita semakin erat, karena adanya aktivitas problem solving bersama ini.
Assertive anger adalah tipe marah yang sehat. Ketika kita marah secara asertif, kita dapat mengontrol emosi kita terlebih dahulu dan bisa berkomunikasi agar bisa mencari solusi yang tepat untuk permasalahan yang membuat kita marah.
Setelah mendengar 3 tipe marah yang barusan dijelaskan, menurutmu apakah marah itu adalah sesuatu yang selalu negatif? Atau justru bisa positif? Apakah kita bisa marah dengan elegan?
Mungkin sekarang kita sepakat kalau marah itu ternyata gak selalu menghasilkan akibat yang negatif kalau cara menanggapinya benar. Marah itu tidak selalu tentang memaki atau menjadi pasif agresif, karena kita bisa marah dengan elegan. Kunci untuk bisa marah dengan elegan adalah dengan memperkuat sifat asertif dalam diri kita. Apabila kita bisa mempraktekkan assertive anger dalam situasi yang membuat kita kurang nyaman hingga membuat kita marah, kita justru akan berkembang dan menjadi pribadi yang lebih baik, bukan sebaliknya.
Marah itu tidak selalu tentang memaki atau menjadi pasif agresif, karena kita bisa marah dengan elegan. Kunci untuk bisa marah dengan elegan adalah dengan memperkuat sifat asertif dalam diri kita.
Pertanyaannya, bagaimana cara melatih diri kita agar bisa memperkuat sifat asertif kita? Pada dasarnya sifat asertif adalah keterampilan yang kita bisa latih, jadi ini semua adalah pilihan, pertanyaannya adalah apakah kita mau atau tidak? Berikut adalah 3 kebiasaan yang bisa kita coba implementasikan dalam hidup kita agar bisa melatih sifat asertif kita:
1. Mengerti dan Menerima Perbedaan
Semua orang punya sudut pandang dan sifat yang berbeda. Apa yang menurut kita benar dan baik, bisa menjadi salah dan buruk untuk orang lain, begitu pun juga sebaliknya. Dengan menerima kenyataan bahwa semua orang berbeda, kita akan bisa lebih mudah untuk berdamai apabila kita mempunyai perbedaan dengan orang lain. Yang tadinya perbedaan ini bisa menimbulkan gesekan dan bahkan kemarahan, karena kita mengerti dan menerima, kita akan bisa menjadi lebih asertif dan mencari jalan tengah agar semuanya bisa puas dan senang.
2. Melatih The Power of “I”.
Ketika ingin mencoba untuk menemukan titik temu di antara dua atau lebih sudut pandang atau pendapat yang berbeda, cara kita berkomunikasi menjadi aspek yang penting agar sifat asertif kita bisa diterima dengan baik oleh orang lain dan gak terlihat defensive. Dengan mengawali kalimat kita dengan “I” atau “aku” dalam Bahasa Indonesia dan bukan “kamu”, seperti “aku pikir”, “aku kira”, “aku rasa”, dll. Ini akan membantu meminimalisir peluang untuk lawan bicara kita merasa dituduh, karena kita mengkomunikasikan sudut pandang kita dan bukan mengkritik sudut pandang mereka.
3. Berlatih Untuk Mengontrol Napas
Ketika kita merasa marah, cemas, panik, atau apa pun itu yang sifatnya negatif, yang akan berubah dalam diri kita adalah pernapasan kita. Ketika marah pernapasan kita akan lebih cepat dan ketika tenang pernapasan kita akan lebih lambat. Apabila kita bisa mengontrol pernapasan kita, kita akan bisa mengontrol emosi kita. Jadi ketika kita marah, agar bisa asertif dan memberikan solusi yang tepat terhadap masalah yang kita hadapi, kita bisa perhatikan dan sadar terhadap napas kita, apabila rasanya terlalu cepat, secara sadar dan perlahan kontrol nafas kita agar bisa kembali seperti normal. Setelah nafas kita kembali normal, pasti emosi kita juga akan cenderung kembali normal.
Ada satu kutipan dari Buddha yang saya sangat suka dan pegang hingga sekarang, yaitu “Berpegang kepada kemarahan itu seperti memegang batu bara dengan niat untuk melemparnya ke musuh kita, namun yang akan tersakiti adalah diri kita sendiri”. Kemarahan adalah pilihan, bukan berarti kita nggak boleh marah. Marah boleh, tapi kalau mau marah harus dengan tujuan ingin memecahkan masalah, bukan menjadikan marah sebagai validasi untuk berbuat jahat.
Kemarahan adalah pilihan, bukan berarti kita nggak boleh marah. Marah boleh, tapi kalau mau marah harus dengan tujuan ingin memecahkan masalah, bukan menjadikan marah sebagai validasi untuk berbuat jahat.