Peringatan: Artikel ini mengandung muatan sensitif yang mungkin memicu gangguan mental. Mohon kebijaksanaannya sebelum membaca dan menonton konten ini.
Beberapa orang senang menjadi pusat perhatian dan dikelilingi oleh orang banyak. Namun dunia tidak selalu berputar pada kita saja. Tidak melulu kita bisa diperhatikan. Sayangnya, ada beberapa orang yang tidak dapat menerima keadaan ini dan mencoba ‘mencuri’ perhatian orang-orang sekitarnya agar kembali dipedulikan dengan berbagai cara – meski merusak sekalipun.
Sindrom Munchausen merupakan bentuk penyakit mental di mana penderitanya akan berpura-pura sakit atau terluka dengan sengaja agar mendapatkan simpati dari orang lain. Umumnya, penderita sindrom ini bisa membuat gejala seakan-akan ia tengah sakit hingga ingin mendapatkan pertolongan medis hanya agar diperhatikan secara lebih oleh orang sekitarnya. Kesakitan-kesakitan itu bisa buatan (pura-pura) atau ditimbulkan sendiri dengan melakukan self-harm.
Sayangnya, para ahli masih belum tahu pasti mengenai gangguan ini dan menganggapnya sulit untuk diobati. Namun secara umum, orang-orang yang menderita sindrom ini biasanya memiliki trauma masa lalu pernah dikucilkan, dicemooh, atau dirundung. Sebagian kecil penderita juga disebabkan karena pernah menderita penyakit parah di masa lalu dan setelah sembuh ia takut untuk terjangkit kembali.
Kunci untuk mengobati sindrom ini ada pada perubahan perilaku penderitanya. Pengobatan umumnya terdiri dari psikoterapi untuk konseling kesehatan mental. Dalam sesi ini, terapis akan mencoba menggali pemikiran dan perilaku dari penderita yang dikenal sebagai cognitive-behavioral therapy. Diharapkan dari sesi ini terapis bisa mendapatkan masalah psikologis yang ‘terbenam’ dalam diri penderita sehingga ia bisa melakukan hal-hal tersebut.
Bekerjasama dengan MinuteVideos Indonesia, GREATMIND mempersembahkan sebuah cerita mengenai penderita Sindrom Munchausen yang semoga dapat dijadikan pelajaran bagi kita semua.