Mencintai diri sendiri tentu saja bukanlah hal yang egois. Ini adalah bagian dalam diri kita yang prosesnya melibatkan orang lain dan akan terus selamanya demikian karena kita juga menerima cinta dan membagikannya untuk orang lain.
Proses mencintai diri sangat panjang. Pada saat sudah sampai pada tahap menerima diri kita, ternyata itu bukanlah akhir dari perjalanan ini. Setelah itu masih ada perjalanan panjang lainnya yakni bagaimana bisa menyeimbangkannya dan terus berjalan sehingga aspek lain seperti misalnya relasi dengan orang lain, aspek spiritualitas, sisi pekerjaan, bagaimana kita bertanggung jawab, dan menghargai orang lain dalam kehidupan kita itu bisa seimbang juga. Karena setelah kita mampu menerima diri sendiri, perilaku kita pada diri pasti akan mengalami penyesuaian. Penyesuaian itu bentuknya bisa bermacam-macam, misalnya semakin membekali diri dengan kemampuan berdandan atau membekali diri dengan asupan ilmu dari banyaknya bahan bacaan. Pendeknya, semakin kita mencintai diri, kita akan lebih memperhatikan diri sendiri dan membekalinya dengan sesuatu yang positif.
Semakin kita mencintai diri, kita akan lebih memperhatikan diri sendiri dan membekalinya dengan sesuatu yang positif.
Setelah mampu mencintai diri sendiri juga ada upaya lain, yakni diimbangi dengan sesuatu yang objektif. Maka mencintai diri sendiri itu formulanya akan terus berubah dan terus dicari. Setiap punya peran dalam hidup yang berubah pasti perlu penyesuaian lagi. Misalnya saja, self-love atau self-acceptance pada saat masih single atau masih di usia sekolah tentu akan berbeda saat sudah bekerja. Tuntutannya lain, cara me-reward diri juga berubah. Mungkin dulu saat masih muda, kita bisa bermain sama teman-teman saja sudah senang, tapi di tahap kehidupan yang lain semua sudah berubah. Dulu mungkin mau main-main tiap hari – sebagai bagian dari mencintai diri sendiri – dengan cara bersenang-senang tiap malam ke disko, tidak mudah lelah dan paginya bisa langsung kerja lagi. Tetapi semakin dewasa, saat bekerja sudah tidak sama seperti dulu lagi.
Kemudian, apakah kita sebaiknya mencintai diri sendiri? Jawabannya, iya. Dengan menerima diri dan mencintai diri sendiri, maka kita akan dengan mudah mencintai orang lain. Buat saya inilah alasan yang paling masuk akal. Bagaimana mungkin kalau kita tidak happy dan tidak cinta tapi kemudian bisa memberikan kebahagiaan dan cinta untuk orang lain? Kalaupun bisa, saya yakin itu semu.
Dengan menerima diri dan mencintai diri sendiri, maka kita akan dengan mudah mencintai orang lain.
Mencintai diri sendiri itu rasanya sangat nyaman sekali; tidak berkonflik, tidak denial dengan apa yang kita punya atau bahkan yang tidak kita punya. Terbayang tidak, kalau pagi-pagi kita bangun sudah denial dan berkonflik dengan diri sendiri. Saat kita menerima, mencintai, dan tidak denial, maka konflik akan menghilang. Rasanya akan sangat berbeda – bahagia selalu.
Ada kisah juga saat saya sekolah yang terkait fisik. Di masa kini orang menyebutnya dengan verbal bullying. Saat itu saya dibilang gemuk – memang iya sih, itu fakta. Tapi mereka yang melontarkan fakta itu juga tidak sempurna-sempurna amat. Hal lain saat itu, anak-anak usia sekolah dasar dan SMP juga merasakan hal yang sama. Gemuk diejek, tinggi diejek, hitam juga diejek. Jadi anggap saja ini bagian dari momentum. Itu adalah bagian dari fase hidup. Kalau dianggap bullying, bisa jadi masih dalam batas wajar sejauh bukan fisik dan bukan jadi bahan taruhan. Adalah sebuah rezeki bagi saya untuk dapat memiliki teman-teman yang mengejek dalam batas wajar. Kata-kata mereka tidak sampai menyakitkan hati dan tidak terbawa sampai sekarang.
Saya bersyukur selalu dikelilingi orang-orang positif yang bisa mengantarkan saya hingga sampai pada titik ini. Banyak sekali dengan kepositifan mereka, memudahkan saya melangkah, mendapatkan kesempatan, kepercayaan, dan banyak hal lain. Dengan perasaan positif yang mereka berikan ke saya, demikian membuat saya merasa berhutang banyak dari orang-orang baik ini. Itulah mengapa kemudian saya ingin positivisme juga harus diberikan lagi pada orang lain yang membutuhkan.
Berbicara tentang hal-hal positif tentu tidak lepas dari membahas sumber-sumber kebahagiaan. Sumber kebahagiaan saya salah satunya adalah keluarga yang bahagia. Hal lain adalah semakin fokus berkarya, salah satunya dengan merilis buku Bicara Tubuh. Dengan berkarya saya juga bisa menularkan hal positif yang ada manfaatnya bagi orang lain meskipun sangat kecil.
Rasa positif memudahkan saya melangkah, mendapatkan kesempatan, kepercayaan, dan banyak hal lain.