Teknologi dengan segala macam keajaibannya telah memberi dampak besar bagi kehidupan manusia. Ia membawa kita ke peradaban baru – yang berbeda dari sebelumnya. Namun sayangnya, teknologi pun punya kecenderungan untuk mengubah naluri dan hakikat manusia sebagai makhluk sosial.
Seorang profesor psikologi dari MIT bernama Sherry Turkle dalam sebuah sesi simposium mengemukakan pendapatnya bagaimana teknologi telah membawa manusia ke tempat yang sesungguh tidak ingin kita sambangi. Contohnya saja, lihat bagaimana kita acapkali mengecek e-mail saat sedang rapat, berbelanja online di dalam ruang kelas, atau bahkan berbincang lewat messenger di tengah pemakaman. Suatu perubahan dalam kebiasaan manusia, bukan?
Salah satu isu utama dalam pergeseran nilai-nilai kemanusiaan ini adalah saat kita berkomunikasi lewat messenger, e-mail, atau media sosial lainnya, kita dapat memproyeksikan diri seperti bagaimana kita ingin dilihat oleh orang lain. Karena setiap tulisan kita dunia maya bisa disunting, dihapus, dan diubah kapanpun kita mau. Setidaknya ada sedikit pencitraan (kalau tidak mau disebut kepalsuan) di dalamnya. Sementara dalam percakapan di dunia nyata semuanya serba otentik: terjadi pada saat itu juga dan kita tidak dapat mengubah apa yang telah kita katakan sebelumnya.
Sherry juga mempercayai bahwa sesungguhnya meski komunikasi secara konstan dan keterikatan dengan media sosial membuat kita semakin ‘terhubung’ satu sama lain, namun di sisi lain kebiasaan ini mengorbankan satu hal: percakapan di dunia nyata. Konon, apabila hal ini terus terjadi, akan ada sebuah konsekuensi perubahan yang terjadi pada hubungan manusia dengan sekitarnya dan dengan diri sendiri; baik pada persepsi maupun emosi.
Singkatnya, saat ini kita tidak berbicara sebanyak dahulu kala. Kita kini lebih banyak menggunakan bahasa tulisan dibandingkan verbal. Dan hal ini sesungguhnya merusak kemampuan kita sebagai manusia dalam berkomunikasi baik dengan pasangan, keluarga, sahabat, atau kolega. Saat berkomunikasi secara verbal, ada emosi yang akan muncul dari percakapan – kemudian lahir empati terhadap lawan bicara. Namun dalam komunikasi tertulis, seperti yang lebih banyak kita lakukan saat ini, emosi itu tidak akan muncul secara terang-terangan sehingga akan menumpulkan perasaan kita sebagai manusia.
Kalau sudah begini, yang paling akan terpengaruh adalah hubungan kita dengan orang-orang sekitar. Saat kita tidak mampu menyampaikan emosi, hubungan akan terganggu karena tidak ada lagi yang dirasakan antara kita dengan pasangan, keluarga, atau sahabat. Padahal nyatanya, orang-orang terdekat ini adalah suatu harta yang tidak ternilai dalam hidup kita. Jangan sampai kita kehilangan mereka hanya karena ketidakmampuan kita untuk berkomunikasi.
Apa yang dapat kita lakukan untuk memperbaikinya? Bukan berarti serta merta kita harus meninggalkan teknologi dan kembali ke masa seperti dahulu. Namun, semudah membangun kesadaran diri atas hubungan kita dengan teknologi dan orang-orang sekitar. Gunakan teknologi sepatutnya – misal hanya untuk melakukan pekerjaan – dan tinggalkan saat kita sedang bersama orang lain agar punya waktu untuk benar-benar dapat berkomunikasi dan membangun keintiman dengan mereka.