Di dalam diri kita, batin menginginkan banyak hal. Ia punya banyak prasyarat, harapan, dan ekspektasi yang seringkali dijadikan ukuran untuk merasa tenang dan bahagia. Kalau tidak memperoleh apa yang diinginkan maka kita tidak akan tenang dan bahagia. Batin kita konstruksinya kurang lebih seperti itu. Segala hal dalam hidup ini yang mengandung unsur ketakutan dan harapan akan punya potensi untuk membuat kita tidak tenang dan bahagia.
Ini bisa terjadi disebabkan oleh sifat dasar batin manusia mudah tidak tenang. Bahkan ketika tidak ada tantangan pun kita sulit merasa tenang. Batin senantiasa gelisah untuk mencari ketenangan dan kebahagiaan. Kalau ia mendapatkan apa yang diinginkan, dia mungkin akan merasa puas, tenang, dan bahagia. Akan tetapi, terdapat kecenderungan rasa tenang dan bahagia itu tidak awet. Misalnya keinginan untuk membeli handphone terbaru. Kita gelisah memikirkannya sampai tidak bisa tidur. Lalu kita mulai menabung sampai akhirnya bisa membeli. Barulah kita merasa tenang karena harapan kita untuk memilikinya tercapai dan ketakutan tidak memiliki handphone terbaru hilang. Namun, berapa lama ketenangan dan kebahagiaan ini bertahan? Pasti suatu saat akan ada kegelisahan dan keinginan baru, serta ada harapan dan ketakutan baru. Jadi pada dasarnya, ketenangan dan kebahagiaan sifatnya tidak permanen seberapapun kita menginginkannya selalu ada.
Jadi pada dasarnya ketenangan dan kebahagiaan sifatnya tidak permanen seberapapun kita menginginkannya selalu ada.
Secara eksternal, lingkungan di sekitar kita akan terus berubah. Tidak ada kondisi di sekitar kita yang permanen. Seandainya sekarang kondisi di sekitar kita sedang baik-baik saja, nanti pasti akan ada perubahan. Entah perubahan cuaca, politik, kesehatan, relasi, atau situasi yang kemudian mengubah kondisi baik-baik itu menjadi kegelisahan. Kalau situasi internal, artinya di dalam diri kita sedang tidak baik-baik saja, maka perubahan tersebut bisa memperburuk keadaan. Tapi bisa juga justru memperbaiki. Sehingga sebetulnya kita harus menyadari bahwa realita hidup tidak ada yang abadi. Semua penuh dengan perubahan dan tantangan. Masalahnya, pada saat yang sama batin kita menginginkan sesuatu yang abadi padahal kita tidak pernah bisa mendapatkan sesuatu yang permanen karena kita selalu diwarnai ketakutan dan harapan yang tak kunjung putus. Itulah sebabnya kita, manusia, sulit merasa tenang. Tidak heran, kita terus memperjuangkan untuk mencari semacam pil ajaib atau piala emas yang bisa mengantarkan pada sebuah ketenangan yang hakiki.
Memahami ini, kesulitan dan tantangan hidup memang sebaiknya diselesaikan. Caranya ada dua. Pertama, mengatasi kondisi eksternal yang membuat stres. Misalnya, anak saya sedang nakal dan membuat saya stres. Kemudian saya mencoba menyelesaikannya dengan memperbaiki perilaku dia. Sayangnya, cara ini ada batasnya. Banyak kasus yang menunjukkan bahwa sebenarnya cukup sulit untuk kita bisa menyelesaikan kondisi eksternal yakni yang berada di luar kendali kita. Masalah cuaca, politik, kelakuan orang lain, itu semua di luar kendali kita. Sehingga mengatasi kesulitan dan tantangan hidup dengan cara menyelesaikan kondisi eksternal punya keterbatasan. Pada saat kita sudah tidak mampu mengubah kondisi eksternal, maka kita punya pilihan untuk menyelesaikannya secara internal, yaitu dengan merawat dan menyembuhkan frustasi, kecewa, dan marah. Langkah ini bisa membantu kita bisa berdamai dengan realita yang ada di luar kendali.
Biasanya, kita mencoba menyelesaikan masalah dengan berusaha mencapai apa yang diinginkan. Sedangkan kalau masalah tersebut di luar kendali kita, cara menerima kondisi sulit adalah dengan belajar melepaskan keinginan. Ini mungkin terdengar mudah, tapi menerapkannya tidak semudah itu. Kita harus belajar memahami bahwa dimensi melepaskan keinginan ada banyak. Di satu dimensi, kita harus memahami bahwa belum tentu apa yang kita inginkan adalah yang paling baik atau yang seharusnya terjadi. Melepas yang kita inginkan juga mengandung pengertian bahwa belum tentu kondisi yang membuat kita stres ini selamanya akan seperti itu karena segala sesuatu tidak ada yang permanen. Sehingga kalau kita belajar melepaskan, bisa jadi kondisi itu berubah dengan sendirinya. Sebaliknya, kalau pun keinginan kita tercapai, sebaiknya kita bisa melepaskannya dengan pemikiran yang sama yaitu tidak ada sesuatu yang permanen di dunia ini. Keinginan yang sudah dicapai bisa hilang lagi.
Biasanya, kita mencoba menyelesaikan masalah dengan berusaha mencapai apa yang diinginkan. Sedangkan kalau masalah tersebut di luar kendali kita, cara menerima kondisi sulit adalah dengan belajar melepaskan keinginan.
Dalam proses menerima kondisi sulit, terkadang kita butuh menyembuhkan luka dan sakit hati yang pernah terjadi. Jika itu masih ada, menerima keadaan menjadi lebih lebih sulit. Menyembuhkan luka pun membutuhkan proses komunikasi untuk memaafkan dan meminta maaf. Sayangnya, banyak orang melompati proses ini. Dari kondisi stres, langsung berusaha menerima. Akhirnya kesembuhannya bersifat prematur. Umumnya, ada banyak metode untuk bisa menerima kondisi sulit. Salah satunya adalah TAT (Tapas Acupressure Technique). Metode self-healing yang kerap saya gunakan dan ajarkan. Metode ini memiliki protokol terapi yang bisa dilakukan secara mandiri dengan durasi hanya 15-20 menit. Secara sistematis TAT pelan-pelan mengajarkan kita menghadapi dan menerima kenyataan. Nantinya dengan metode ini, kita bisa belajar membersihkan efek toxic dalam hidup dan pikiran kita lalu menuntaskan komunikasi yang belum selesai dengan berbagai pihak dari dalam hati, lantas melakukan proses pemaafan yang dibutuhkan
Dalam proses menerima kondisi sulit, terkadang kita butuh menyembuhkan luka dan sakit hati yang pernah terjadi. Jika itu masih ada, menerima keadaan menjadi lebih lebih sulit.
Protokol ini bisa dipelajari siapa saja dalam sebuah pelatihan yang berdurasi 4 jam. Sekali ikut bisa seumur hidup melakukannya sendiri. Menurut saya ini adalah sebuah metode mandiri yang mudah, sederhana, dan efektif. Meskipun begitu, selain berlatih TAT, kita juga bisa mencoba meditasi mindfulness atau expressive writing yaitu menuliskan apapun yang kita pikirkan dan rasakan di atas kertas selama 15-20 menit. Setelahnya, kertas itu langsung dihancurkan, dihapus, atau dibuang. Untuk satu masalah tertentu, proses ini perlu diulang sebanyak empat kali.
Jadi sesungguhnya ketenangan dan kedamaian itu bagaikan matahari. Ia selalu ada tapi terkadang tidak nampak. Saat malam, bumi menutupinya hingga ia tidak terlihat. Begitu juga kala siang hari, ia sering tertutup awan. Akan tetapi, ia tetap ada di sana sama halnya seperti ketenangan. Bukan sesuatu yang diperoleh, tapi sesuatu yang perlu ditemukan kembali karena ia bisa tertutup oleh ketakutan, harapan, kegelisahan, dan kekecewaan. Tugas kita bukan untuk mencari ketenangan, melainkan membersihkan awan yang menghalangi, seperti trauma, harapan, kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan. Ketika awan itu menghilang atau meregang, seperti matahari, kita dapat merasakan hangatnya lagi.
Tugas kita bukan untuk mencari ketenangan, melainkan membersihkan awan yang menghalangi, seperti trauma, harapan, kemarahan, kesedihan, dan kekecewaan.