Menyadari mana keinginan dan mana kebutuhan memang terkadang sulit. Butuh proses untuk benar-benar tahu mana yang disebut keinginan dan disebut kebutuhan. Seringkali pun saya selalu mempertanyakan pada diri apakah ini sekadar keinginan atau ini kebutuhan. Biasanya keinginan itu muncul karena tampak luarnya. Seperti menginginkan suatu barang. Saya pasti mempertanyakan: "Saya akan mati tidak ya jika tidak menggunakan barang ini?" Sebaliknya, saat membutuhkan sesuatu saya tahu bahwa hal tersebut memiliki nilai urgensi. Biasanya sifatnya sangat esensial. Terlepas dari teori-teori antara keinginan dan kebutuhan, sebenarnya kita manusia punya insting saat kita butuh atau sekadar ingin saja.
Pada dasarnya tidak ada yang salah antara keinginan dan kebutuhan. Asalkan kita tahu bahwa keduanya bisa seimbang. Inilah tantangan dalam hidup kita: mencapai keseimbangan. Begitu pun saya. Masih menjadi tantangan terbesar dalam hidup untuk mencapai keseimbangan. Saya merasa harus selalu sadar saya sedang berada di kondisi apa dan harus ke mana. Mengapa penting? Karena bagi saya contentment atau kepuasan hidup adalah saat saya berada dalam tingkat keseimbangan antara pekerjaan, pencapaian, dan tingkat kenyamanan hidup pribadi berkaitan dengan hubungan saya dengan keluarga, teman dan diri saya sendiri. Saya merasa jika saya menjadi seseorang yang sama sekali tidak kerja, tidak mungkin saya merasa bahagia dan puas. Begitu juga jika saya harus kerja terus sampai melupakan kebutuhan pribadi saya bersama keluarga atau bahkan kesehatan saya sendiri. Solusi yang sering saya lakukan untuk mencapai contentment itu sendiri adalah membuat alokasi waktu dan energi pada seluruh aspek hidup saya termasuk aspek pekerjaan, anak, suami, pertemanan, kesehatan fisik dan mental. Lalu tinggal berkomitmen dengan alokasi tersebut.
Contentment atau kepuasan hidup adalah saat saya berada dalam tingkat keseimbangan antara pekerjaan, pencapaian, dan tingkat kenyamanan hidup pribadi.
Mungkin terdengar perfeksionis. Ya, saya mengakui dalam pekerjaan saya memang seseorang yang perfeksionis. Namun saya tidak merasa kata ini berkonotasi negatif. Justru sangat positif. Terutama untuk disematkan di tengah-tengah masyarakat di negara berkembang seperti Indonesia. Saya melihat banyak sekali pribadi yang kurang bertanggung jawab atas pekerjaannya di masyarakat dan itu mudah dimaklumi. Bahkan kadang secara tidak sadar dijadikan standar bahwa melakukan sesuatu yang tidak bertanggung jawab itu normal. Kita butuh orang-orang yang perfeksionis untuk membangun masyarakat yang lebih bertanggung jawab. Meskipun begitu, saya rasa kita harus punya tombol on dan off. Ketika berada di pekerjaan kita harus menghidupkan tombol tersebut. Jadi sebaik mungkin. Tapi ketika berada di rumah dan pergaulan pribadi, dimatikan. Kala saya berkumpul bersama lingkaran pribadi, saya merayakan ketidaksempurnaan itu. Saya bisa menjadi diri saya sendiri karena tahu mereka tidak punya ekspektasi apapun terhadap saya sehingga saya bisa amat cuek.
Kita butuh orang-orang yang perfeksionis untuk membangun masyarakat yang lebih bertanggung jawab.
Akan tetapi menjadi perfeksionis bukan berarti saya tidak pernah gagal. Pernah. Sering, bahkan. Hanya saja saya tahu kegagalan tersebut untuk kebaikan saya sendiri. Sehingga saya harus menerima kegagalan tersebut untuk bangkit. Saya percaya ketika saya gagal saya tidak boleh melupakan pelajaran di baliknya. Kemudian saya pasti akan menanyakan pada diri sendiri, “Kegagalan ini pelajarannya apa ya? Pasti ada alasannya mengapa saya harus mengalami kesulitan ini. Pasti ada alasan baik dari segala hal buruk. Pasti ada hal yang harus dipelajari.” Begitu pula ketika sesuatu terjadi di luar ekspektasi, saya pasti akan bertanya pada diri sendiri, “Kondisi ini di luar ekspektasi, berarti menjadi sebuah masalah. Apa ya jalan keluarnya?” Baru setelah menerima bahwa saya gagal atau menerima bahwa itu adalah sebuah masalah, jalan keluar atau solusi baru dapat dipikirkan. Selama masih menyangkal rasanya sulit keluar dari dilema. Dengan adanya kegagalan kita menjadi lebih dewasa dan bijaksana jika kita menyadari dan memahami apa pelajaran dari kegagalan atau kesulitan tersebut. Kesulitan dan kegagalan sama dengan rezeki jadi harus tetap disyukuri. Kalau kita memiliki pemikiran seperti itu semua jadi terasa tidak terlalu sulit. Melihat semua kesulitan itu jadi berharga.
Dengan adanya kegagalan kita menjadi lebih dewasa dan bijaksana jika kita menyadari dan memahami apa pelajaran dari kegagalan atau kesulitan tersebut.
Toh, pencapaian dan sukses untuk tiap orang beda-beda. Waktu muda saya berpikir pencapaian itu adalah saat saya memiliki banyak hal. Banyak uang dan segala hal yang sifatnya material. Seiring berjalannya waktu saya mengubah pemikiran tersebut. Saya kini memahami kesuksesan bukanlah tentang diri saya sendiri. Kesuksesan jadi sekumpulan rasa di mana akhirnya seberapa bergunanya diri kita untuk orang lain. Bukan cuma untuk membuktikan sesuatu. Akhirnya definisi saya tentang pencapaian dan sukses juga tidak semata-mata untuk diri sendiri atau orang-orang di sekeliling saya saja tapi bahkan semesta yang jangkauannya lebih luas dari manusia. Karena hidup itu bukan cuma untuk diri kita sendiri tapi lebih daripada itu. Di saat kita mulai melihat bahwa apa yang kita lakukan manfaatnya tidak untuk diri sendiri atau orang terdekat saja itulah waktu kita mengerti tentang pekerjaan kita yang memiliki arti lebih. Makanya pencapaian kita itu seharusnya bukan setinggi-tingginya tapi seluas-luasnya.
Kesuksesan bukanlah tentang diri saya sendiri. Kesuksesan jadi sekumpulan rasa di mana akhirnya seberapa bergunanya diri kita untuk orang lain
Pencapaian itu pun harus punya ambisi kuat. Saya tipe orang yang harus bekerja dengan kualitas. Berusaha semaksimal dan sebaik mungkin. Jika saya bisa dapat nila A+ kenapa harus puas dengan B-? Lalu apakah ambisi ini terasa negatif? Saya rasa tidak. Ambisi merupakan sesuatu yang positif. Menurut saya mereka yang dalam melakukan sesuatu tidak punya ambisi akan menjadi manusia terjebak dalam zona nyaman. Akhirnya tidak bergerak ke mana-mana. Saya tipe orang yang suka dengan ide pergerakan dan tidak suka dengan ide status quo. Saya pikir peradaban manusia masih banyak sekali PR-nya. Masih banyak masalah-masalah yang harus diatasi. Dengan berambisi memperbaiki peradaban kita bisa menyelesaikannya bersama dengan tidak diam dengan ide pergerakan tersebut. Dengan ambisi itu juga kita sebenarnya akan banyak mempelajari diri kita sendiri. Ibaratnya orang yang ambisius, punya ide pergerakan yang ingin terus maju akan mengaplikasikan kekuatan pikiran, otak, fisik, bahkan mental dalam menjalani usaha-usaha pencapaian tertentu. Nantinya kita pun bisa mengetahui kapasitas diri sendiri. Tahu bahwa ternyata kita bisa mencapai satu titik batas bahkan melampauinya.
Sampai kapan kita harus mencapai sesuatu? Bagi saya tidak ada titik selesainya. Saya percaya kita hidup di dunia dengan peran masing-masing. Sehingga kala kita mengetahui peran kita tersebut untuk diri dan orang lain kita tidak lagi hanya melakukan sebuah pekerjaan. Itu menjadi jati diri kita yang harus dihidupi hingga nafas terakhir. Saya sungguh bersyukur dengan apa yang sudah saya miliki dan alami sampai detik ini. Saya selalu diberi petunjuk dan kemudahan untuk bersyukur. Tapi saya tidak mau berhenti begitu saja. Kalau saya bilang saya sudah puas sekarang berarti saya pensiun. Rasanya masih banyak tugas yang harus saya lakukan dan melakukannya bersama dengan masyarakat, dengan segelintir manusia lainnya. Saya merasa dengan berkah dan kemampuan yang dipercayakan, saya masih bisa berkontribusi lebih pada dunia ini. Saya masih ingin menjadi saksi saat Indonesia menjadi negara adikuasa secara ekonomi. Konon katanya berdasarkan ramalan secara demografi dan ramalan Jayabaya, Indonesia adalah bangsa yang adidaya dan berkuasa di zaman dulu. Dan suatu hari akan kembali ke masa tersebut. Saya penasaran melihat itu terjadi.
Sampai kapan kita harus mencapai sesuatu? Bagi saya tidak ada titik selesainya.
Saya pun berharap apa yang saya lakukan di pekerjaan bisa berkontribusi memberikan dampak demi terciptanya setapak demi setapak indonesia mencapai titik tersebut. Sebenarnya apapun profesi kita asal memberikan yang terbaik pada pekerjaan tersebut dan memiliki rasa bakti pada negara, kita sudah berkontribusi di tingkat makro. Seperti saya di dunia perfilman. Akan sulit untuk merasa termotivasi membangun negeri di industri ini jika tidak bisa menarik benang merah akan apa yang bisa dilakukan industri ini terhadap keberlangsungan pengembangan ekonomi indonesia. Saya percaya film — sebagai salah satu bagian dalam industri kreatif Indonesia, bisa memberikan dampak besar pada kemajuan bangsa. Lewat film kita bisa melempar diskusi yang dapat melibatkan masyarakat lintas bangsa, agama, latar belakang ekonomi bahkan suku dan ras. Film menggunakan bahasa transedensi yang berarti bahasa tak berbatas. Bahasa yang sangat memanusiakan manusia yaitu bahasa empati. Pada saat film sukses menjalankan tugasnya maka akan tercipta masyarakat yang lebih arif, yang jauh lebih bijaksana di mana diskusi masyarakat tercipta secara luas dan sehat. Argumentasi intelektual pun akan bersifat membangun. Sehingga diskusi-diskusi yang perlu diadakan untuk membicarakan masa depan indonesia, bagaimana seharusnya masyarakat kita berperilaku dan bertindak dapat dipicu dengan kehadiran film-film yang bermakna. Film-film seperti itulah yang saya coba bantu hadirkan untuk memberikan dampak yang signifikan di negeri ini.
Pada dasarnya, gol adalah sebuah gol. Cita-cita itu adalah cita cita. Bukan sekadar keinginan atau kebutuhan karena cita-cita menceritakan terlalu banyak tentang diri kita. Kalau kita mau tahu sebenarnya pribadi kita seperti apa, berarti harus mempelajari apa yang menjadi gol dan cita-cita kita. Gol saya adalah belajar lagi. Saya merasa saya tidak tahu apa-apa. Saya masih jauh dari kata ideal untuk belajar karena menurut saya orang Indonesia masih harus tahu lebih banyak lagi. Maka itu saya sebagai orang Indonesia merasa masih perlu belajar banyak. Saya yakin jika banyak orang yang berpikir seperti saya, yang mau belajar dan memperkaya diri saya rasa cita-cita Indonesia sebagai bangsa yang unggul tidak akan jauh di depan mata.
Cita-cita itu adalah cita cita. Bukan sekadar keinginan atau kebutuhan karena cita-cita menceritakan terlalu banyak tentang diri kita.