Kala itu Bandung dingin, sedingin jiwa yang ada di dalam raga yang ringkih ini. Mata coklat yang selalu kusanjung sekarang menatap kosong, menembus hampanya kehangatan yang terbias dari pagi hari yang sendu kala itu. Sudah seminggu, pikirku. Iya, pikiranku masih dapat menghitung dengan cermat, sama seperti saat aku menjalani kompetisi olimpiade di masa SMA.
Sekarang umurku sudah terpaut 10 tahun lebih dari masa itu. Tapi rasa dingin di hatiku ini tetap sama. Kupikir mudah untuk beranjak dewasa. Seiring berjalannya waktu dan prestasi yang terukur, kupikir pikiranku akan bertambah bijaksana. Seiring dengan badai kehidupan yang menerpa dan tanggung jawab yang bertambah di dalam segala aspek kehidupanku, kupikir aku akan menjadi pribadi seperti yang seharusnya.
Namun, apakah manusia itu sebenarnya hingga aku yang umurnya nyaris kepala tiga ini ternyata masih merasakan hal yang sama pahitnya?
Kekosongan yang nyata dan bahkan tidak ada jawabnya? Hal yang kadang tabu untuk dibahas, cenderung mengasihani diri, kata orang, bahkan dianggap perlu dibandingkan dengan orang lain yang lebih menderita.
Oh ya, tentu penderitaan dan kesepianku tidak ada apa-apanya dibanding prajurit yang pergi berperang, ibu yang kehilangan anaknya saat bersalin, dan orang-orang yang kehilangan segalanya.
Ya, harus kuakui bahwa aku perlu belajar banyak dari mereka. Tidak ada alasan untuk menangguhnya. Ya, aku harus kuat. Tapi aku juga harus menelan fakta bahwa kekuatan setiap orang tidaklah sama. Apa yang bagi orang hanya sekedar patah, ternyata dapat mematikan bagiku. Demikian juga halnya saat mereka mencoba berjalan di atas sepatuku. Bisa-bisa mereka mati juga.Karena setiap kita diciptakan berbeda.
Kekuatan setiap orang tidaklah sama. Apa yang bagi orang hanya sekedar patah, ternyata dapat mematikan bagiku. Demikian juga halnya saat mereka mencoba berjalan di atas sepatuku. Bisa-bisa mereka mati juga. Karena setiap kita diciptakan berbeda.
Mungkin ini kelebihan dari kegelapan tanpa batas ini, yaitu empati yang tanpa ujung pula. Sebuah penyadaran akan kelemahan yang berbuahkan sentuhan pribadi bagi orang-orang yang jeritannya tidak terdengar. Ketegasan dari sebuah kebenaran yang kadang mengangkat jatuh, lalu menekan ke bawah. Di mana akhirnya juga akan sadar kalau aku dan dia tetaplah masih dalam kegelapan yang sama.
Sekarang sudah sebulan, pikirku. Aku masih tergolek di tempat tidurku yang sama, sendirian. Yah… sejak kapan ada orang yang berani menyentuhku di dalam kondisi seperti itu? Jawabannya karena mungkin tak ada yang tahu.
Aku masih melakukan hari-hariku seperti biasa, hingga mencapai sesuatu yang lebih itu sudah biasa bagi mereka. Bagi mereka, aku itu sempurna. Panutan katanya, dan tidak ada yang salah dalam diriku. Itu satu-satunya cara untuk mereka mendefinisikan bahwa aku ada.
Jadi apakah manusia itu? Seberapa berharganya aku sebenarnya? Pertanyaan dingin itu menusuk. Semakin tajam saat dirasa tidak ada artinya. Apa memang mati adalah jalan yang terbaik? Sulitnya untuk mati adalah menjadi beban. Bunuh diri efeknya akan panjang kepada yang hidup, minimal bagi ibu kosan saya yang akan sulit menjual lagi kamar yang saya tempati.
Meminta mati dengan sakit atau apapun juga adalah cara yang menyusahkan juga. Tidak, mati memang menyusahkan orang karena tubuh tidak akan bisa menghilang begitu saja. Hilang pun masih ada saja orang yang bersikeras untuk mencari.
Relasi memang tidak mudah putus, bahkan untuk orang yang paling merasa sendirian seperti diriku. Oh Tuhan, apakah tidak ada cara lain untuk bertemu dengan-Mu selain dengan menunggu? Dan aku benci menunggu
Pengalamanku di masa muda, yang diizinkan oleh Yang Kuasa terjadi, membawaku kepada suatu kesimpulan bahwa selama apapun aku menunggu, tidak akan ada orang yang menungguku di ujung sana. Ya, betapa sepinya. Itulah mengapa aku ingin semuanya ada sekarang.
Aku ingin segalanya terjadi sekarang sehingga menjadi jelas dan terang benderang. Sekarang jiwaku bergejolak. Luka yang teramat dalam mulai perih kembali, menunjukkan bekas guratan emosi yang tidak terkendali. Aku takut kehilangan, aku takut salah langkah. Aku takut menghadapi kehidupan yang kejam ini. Mengapa semuanya tidak bisa baik-baik saja?
Lalu jeritan emosi itu tumpah ruah. Bantal telah menjadi saksi bisu di antara setiap tetesan-tetesan air mata yang tak kunjung reda. Aku mau pulang, tapi pulang ke mana?
Apakah ada rumah bagiku untuk melepas semua beban yang mencekik leherku dan menyobek nadiku? Oh, jiwaku, jeritku dalam hati sambil menepuk dada kencang-kencang. Kulitku memerah dan bahkan berdarah atas hajaran tanganku yang berusaha mengurangi sakit yang ada di dalam ragaku. Oh, jiwaku, beristirahatlah!
Sekarang sudah 3 bulan. Adalah sebuah keajaiban aku dapat tetap hidup hingga hari ini. Aku sendiri tak yakin kalau aku masih menginginkannya. Sekarang, beberapa orang terdekatku sudah mengendus atau bahkan tahu apa yang terjadi.
Orang terdekatku bahkan membongkar salah satu tempat persembunyianku, yaitu di bawah kotak meja kerjaku. Kupikir itu benteng yang cukup teguh, sulit untuk aku keluar dari sana, tapi akhirnya dia mengeluarkanku juga.
Aku pikir aku sudah bisa bernafas lega seusai penghiburan yang nyata, tapi ternyata tidak. “Anjing hitam” jahanam ini datang kembali tanpa diundang, tanpa pemberitahuan dan tanpa peduli aku sedang apa dan bagaimana. Jadi kembali aku terkapar di tempat tidurku dan menatap langit dari jendelaku. Aku sudah lupa apa arti makan. Aku sudah lupa apa arti minum. Aku sudah lupa apa arti bernafas.
Lalu, telepon pintarku bergetar menunjukkan pesan yang masuk. Dulu tidak ada pesan khusus di sana. Dulu aku hanya membukanya untuk mengais perhatian dengan menekan tombol media sosial apapun yang ada di dalamnya. Ya, itu dulu, sampai di titik di mana aku merasa semakin bodoh dan kering kerontang ditenggelamkan oleh kepalsuan daya tarik yang dimilikinya. Tapi kembali media sosial ini juga yang menarik perhatianku kembali akhirnya. Bukan Instagram, bukan WA Group. Bukan. Itu adalah jaringan pesan pribadi. Pesan dari seorang teman yang menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Pertanyaan yang jawabannya sudah ada cetak birunya. Itu mudah. Lalu, dia menyuruhku untuk mandi dan bebersih diri. Hari itu sudah pukul dua belas siang dan aku belum beranjak sama sekali dari tempat tidurku. Saat aku menoleh ke belakang, memang kamarku sudah seperti kapal pecah.
Ini adalah sebuah keajaiban karena aku bukan orang yang toleran akan ketidakrapihan seperti itu. Namun, aku tahu memang segala sesuatu ada konsekuensinya. Dan tentu konsekuensi itu ada cerita akhirnya. Jadi aku mulai dari membangkitkan diriku yang raganya berat untuk bergerak. Aku mandi. Ya, rasanya seperti baru pertama kali belajar untuk mandi setelah sekian lama. Ya, rasanya seperti pertama kali aku merasa bahagia berhasil melakukan sesuatu, sama seperti saat aku menghadapi lomba olimpiadeku. Ya, aku menangis karena aku bisa mandi. Ya, aku menangis untuk hal kecil itu. Dari sana aku tahu, bahwa inilah manusia. Manusia itu aku dan inilah hidup.
Hal-hal kecil yang terlewati dan kadang tak ada artinya sekarang memberikanku alasan untuk berani menghadapi kenyataan yang pahit sekalipun. Ya, hidup memang pahit. Depresiku memang pahit. Tapi sekarang, aku mulai melangkah untuk menghadapinya. Aku mulai melangkah untuk membuncahkan kehangatan yang mungkin tidak pernah aku sentuh sebelumnya. Aku melangkah dengan penuh anugerah.
Hal-hal kecil yang terlewati dan kadang tak ada artinya sekarang memberikanku alasan untuk berani menghadapi kenyataan yang pahit sekalipun.
Kala itu Bandung dingin. Tapi tidak sedingin jiwa yang ada di dalam raga yang ringkih ini. Masih ada cahaya. Masih ada harapan. Aku takkan mati begitu saja dalam hidup ini karena aku sedang menghidupinya sekarang. Ya, anugerah telah sekali lagi menghidupkan cahaya di dalam hatiku sekarang.
Catatan: Cerita ini dikirimkan oleh Survivor kepada Riliv melalui #RilivYourStory.