Hari ini kita semua terkoneksi dalam level yang amat tinggi melalui medium internet. Bukan dalam maksud meletakkan internet sebagai medium yang punya pengaruh buruk tetapi apapun itu selama lahir dari tangan manusia dan bukan berasal dari alam pasti memiliki kutub negatif ketika sudah mencapai level mania. Baik hal itu adalah internet, motivasi, pesimisme, optimisme, kewirausahaan, olahraga, gaya hidup sehat, minimalisme, zen, pekerjaan, ambisi, kemalasan dan (pada dasarnya) segala hal. Tugas manusia adalah bergeser kembali ke titik imbang ketika sudah berat sebelah. Ini adalah pekerjaan rumah seumur hidup yang tidak akan pernah selesai karena manusia adalah makhluk rapuh yang mudah sekali tergelincir.
Kembali ke internet. Sebagai orang yang telah melalui beberapa era dan merasakan pergeseran yang terjadi, hari ini pengaruh yang diterima seseorang (yang hidup di dunia nyata dan maya) menjadi tidak terbatas. Dulu yang bisa memengaruhi nilai-nilai seseorang hanyalah orang-orang di lingkaran personal. Keluarga, teman, guru. Itu saja. Hanya orang yang memang kenal kita dalam keseharian. Kalau sekarang, orang asing yang berada di ujung dunia pun bisa memengaruhi pola pikir seseorang. Ketika internet belum ada, kepercayaan kita ibarat patung yang sudah dipahat oleh banyak tangan (orang tua, teman, guru). Sekarang lebih banyak tangan lagi yang turut serta memahat kepercayaan itu. Bentuknya mungkin sudah campur aduk sekali. Padahal kepercayaan adalah hal yang sangat personal, tergantung di mana seseorang berdiri dan apa yang telah dia lalui. Kepercayaan ini bukan yang hanya bersifat besar saja seperti terhadap kekuatan semesta dan agama, tapi juga pilihan keseharian seperti gaya hidup, makan, menjaga kewarasan, kesehatan, cara berinteraksi dengan sesama, dan sebagainya.
Dulu yang bisa memengaruhi nilai-nilai seseorang hanyalah orang-orang di lingkaran personalnya. Namun sekarang, orang asing yang berada di ujung dunia pun bisa memengaruhi pola pikir seseorang.
Kepercayaan bukanlah hal yang diberikan secara otomatis sejak seseorang lahir ke dunia melainkan hal yang mesti dibangun, diklaim, dan dimiliki. Proses tersebut tidak mudah. Saya pribadi merasa lebih terang mengenai nilai-nilai yang dipercaya ketika saya sudah tinggal jauh dari orangtua. Saya jadi lebih bisa memilah dan memilih dengan kesadaran apa yang mendasari hidup dan memengaruhi keputusan yang saya ambil. Buku saya yang bertajuk Imaginary Belief adalah upaya untuk mengajak pembaca berpikir apakah kepercayaan yang kita pegang sekarang memang hasil pencarian dan penemuan kita sebagai seorang individu atau hanyalah pengaruh dari keluarga, teman, pasangan, dan orang-orang asing yang tidak dikenal di internet? Juga melihat kepercayaan yang dipegang bukan sebagai kebenaran yang bersifat absolut, kebenaran sifatnya sangat relatif tergantung dimana dan di momen apa seseorang melihat.
Kepercayaan bukanlah hal yang diberikan secara otomatis sejak seseorang lahir ke dunia melainkan hal yang mesti dibangun, diklaim, dan dimiliki.
Karena kepercayaan itu pondasi, tanpa pondasi yang kuat bangunan akan mudah terguncang dan bahkan bisa sampai rubuh. Hal yang sama juga berlaku untuk manusia, apalagi seperti manusia itu makhluk yang sangat rapuh, baik fisik dan mental. Ini kontradiktif dari nilai-nilai yang digadang-gadang selama ini kalau manusia adalah makhluk paling pintar, kuat, dan bisa beradaptasi. Hal itu memang benar tapi ada juga sisi rapuh yang ada baiknya disadari. Dari semua makhluk hidup yang ada di dunia, manusia adalah makhluk hidup yang paling mudah terbunuh. Kekuatan kita untuk bertahan hidup dan membela diri jauh sekali kalau dibandingkan dengan hewan. Coba manusia diminta untuk hidup di tengah alam tanpa rumah, pakaian, dan makanan. Pasti akan berat sekali. Kalaupun bertahan lama akan ada luka mental dan fisik yang mesti disembuhkan. Manusia butuh “banyak bantuan” untuk hanya melakukan hal dasar: bertahan hidup. Dengan kesadaran tersebut, sebenarnya manusia berada di posisi makhluk hidup yang sebaiknya tidak lupa mawas diri dan rendah hati terhadap alam serta bagaimana siklus semesta bekerja.
Kepercayaan itu ibarat pondasi. Tanpa pondasi yang kuat bangunan akan mudah terguncang dan bahkan bisa sampai rubuh.
Dengan pondasi berbentuk kepercayaan, semua yang kita lakukan dalam keseharian menjadi bernilai karena hal tersebut adalah murni pilihan yang kita pilih sendiri: Yang kita kerjakan, yang kita temui, yang kita makan, yang kita tuju, yang kita prioritaskan, dan yang tidak kita pedulikan. Kita adalah milik diri kita sendiri dan inilah kekuatan sebagai manusia.
Sama seperti manusia, kepercayaan ini juga tumbuh, karena semua hal yang terkait dengan manusia tidak ada yang final. Makanya kalau ada orang yang komentar “Kok dia kontradiktif? Dulu bilangnya A sekarang B,” menurut saya justru bagus kalau ada perubahan berarti masih bertumbuh. Tidak ada yang salah dengan menjadi kontradiktif, sesederhana kepercayaan orang tersebut telah mengalami pergeseran bukan berarti menjadi lebih baik atau tidak tapi sekadar berubah saja. Yang kita percaya hari ini adalah yang kita percaya hari ini. Ketika ada hal cukup kuat untuk menggesernya, maka kepercayaan pun bergeser.
Yang kita percaya hari ini adalah yang kita percaya hari ini. Ketika ada hal cukup kuat untuk menggesernya, maka kepercayaan pun bergeser.
Terdengar sederhana tapi tidak dalam praktiknya. Karena hal ini, saya belajar untuk tidak meletakkan siapapun di atas pedestal. Karena kita akan kecewa jika orang yang di atas pedestal itu bergeser menjadi orang lain atau tidak sesuai seperti yang kita harapkan. Seperti misalnya ada yang asumsi dengan konten buku yang saya tulis berarti saya sudah lebih “paham” dan mengerti cara hidup yang “baik”? – Oh, tentu tidak. Buku yang saya buat hanyalah upaya untuk merapikan pikiran dan mekanisme agar tetap dekat dengan diri dan pergeseran di dalamnya. Itupun tidak selalu berhasil. Namun bukan berarti saya adalah orang yang sempurna. Tidak dan tidak akan pernah. Pun semua orang di dunia. Saya tidak selalu bangun dan penuh semangat menyambut hari, saya tidak selalu punya prasangka baik terhadap orang lain, dan saya tidak selalu terang memandang hari esok. Kita semua sama-sama sedang berusaha menguatkan dan menyembuhkan diri agar bisa berfungsi hari demi hari, dan di dalam prosesnya tidak mengakibatkan kesakitan baru bagi orang lain yang bersinggungan dengan kita.
Kita semua sama-sama sedang berusaha menguatkan dan menyembuhkan diri agar bisa berfungsi hari demi hari.
Suara-suara yang menyuarakan kontradiksi, kemustahilan, dan kecairan manusia dalam berinteraksi dengan dirinya, orang lain, dan hidup itu sendiri masih jarang dirayakan di negara kita. Tapi tentu saja hal ini mesti ditarik lagi ke sejarah bangsa kita, karena semua hal adalah efek domino dan tidak bisa disederhanakan begitu saja. Yang bisa kita lakukan adalah berupaya untuk melakukan pergeseran yang menyehatkan. Saat ini yang dirayakan besar-besaran adalah kesedihan dan komedi. Tentu saja tidak ada yang salah dengan itu. Kita perlu ketawa dan kita perlu sedih. Tapi kita juga perlu variasi konten yang lebih beragam untuk mengaktifkan rasa yang lain. Kepercayaan saya adalah tidak semua hal bisa diselesaikan dengan menangis dan tertawa. Masih banyak lapisan jiwa dan emosi manusia yang perlu mendapatkan panggung, karena manusia tidaklah sesederhana itu. Spektrum paling besar dari diri seorang manusia adalah area abu-abu dimana manusia tidak selalu menjadi versi terbaik dirinya. Area itulah yang paling menarik buat saya.
Saya baru mulai membangun opini pribadi ketika memiliki ruang personal di mana saya bisa menghabiskan waktu sendirian dan menghadapi diri saya sendiri tanpa perlu memperjuangkan opini sendiri. Momen itu adalah momen yang sangat berharga karena nilai-nilai yang diyakini hari ini berasal dari momen tersebut. Di titik inilah patung kepercayaan yang saya buat akhirnya hanya dipahat dengan tangan sendiri. Dan salah satu nilai yang saya pegang sampai sekarang berada di titik tengah di mana tidak ada kecenderungan mengarah ke kiri atau kanan. Berada di zona ini membuat saya dapat mempersiapkan diri untuk yang terbaik dan terburuk. Jadi konstan mengingatkan diri untuk memandang hal tidak selalu dengan kacamata hitam putih, selalu ada ruang untuk bergeser. Tidak ada yang final. Tidak terlalu bahagia dan tidak terlalu sedih. Tidak terlalu keras tapi juga tidak terlalu lembek. Semuanya berada dalam moderasi.
Saya melihat ada kecenderungan orang merasa bebas mempertanyakan pilihan personal orang lain, terutama orang yang jauh lebih tua cenderung merasa berhak untuk memberikan opini tanpa diminta. Saya menyaksikan banyak momen dimana orang enteng mempertanyakan pilihan yang diambil orang lain dan memberikan opini tanpa menjembatani sama sekali. Terkait status pernikahan, apakah ingin memiliki anak atau tidak, agama, metode membesarkan anak, gaya hidup, makanan yang dimakan dan tidak, kedekatan dengan keluarga, metode berpasangan, cara berpakaian, apapun yang bisa dilihat dan dipertanyakan maka akan dikomentari begitu saja.
Saya rasa opini itu hanya boleh diberikan hanya ketika diminta. Jika tidak maka lebih baik membicarakan hal yang sifatnya lebih umum, misalnya serial yang sedang ditonton, makanan enak yang baru dicoba. Apapun yang menyenangkan untuk dibahas bersama-sama yang sifatnya tidak akan menyudutkan orang lain. Sehingga kembali pada kalimat yang saya percaya dan kebetulan menjadi bagian dari The Book of Imaginary Beliefs:
The truth is, if it’s man-made it’s not the truth.
The truth is, everything except nature is man-made.
--
Lokasi Foto: ARTOTEL Wahid Hasyim