Terkadang, karena begitu mudahnya media sosial menghubungkan kita dengan dunia luar, kita tidak lagi menyisihkan waktu untuk orang-orang terdekat kita dengan ilusi yang diciptakan olehnya. Melalui media sosial kita bisa peduli dengan orang lain lewat jarak jauh – yang sesungguhnya bukanlah bentuk kepedulian. Dalam buku berjudul #Struggles karangan Craig Groeschel, ia menuliskan, “Jika Anda berkata bahwa Anda peduli, namun tidak melakukan apa-apa untuk menindaklanjuti perasaan tersebut, sama saja artinya Anda tidak peduli.” Media sosial pun membuat kita jauh lebih mudah berujar “turut berduka cita” atau semacamnya seketika ada bencana atau tragedi yang terjadi. Namun sesungguhnya kita harus memastikan bahwa kepedulian kita tidak terbatas pada tulisan di dunia maya dan ada bentuk nyatanya. Misalnya saja saat sahabat kehilangan orang yang mereka sayang, alih-alih hanya mengucapkan lewat pesan singkat – atau lebih buruk lagi, hanya di media sosial – lebih baik kita hadir secara personal menemani mereka melewati masa-masa sulitnya.
Jika Anda berkata bahwa Anda peduli, namun tidak melakukan apa-apa untuk menindaklanjuti perasaan tersebut, sama saja artinya Anda tidak peduli.
Begitupun setiap ada peristiwa yang terjadi di dunia nyata. Mulai dari bencana alam, pengeboman, tindak kekerasan, hingga kasus-kasus kriminalitas lainnya, pasti media sosial dalam hitungan jam atau bahkan menit akan segera ramai. Tak jarang akan muncul tagar-tagar semacam #PrayFor(masukkan nama tempat peristiwa itu terjadi) atau #Save(nama korban peristiwa). Biasanya, peristiwa semacam itu akan menghebohkan jagat maya dalam beberapa hari untuk kemudian hilang tak berbekas – berganti dengan konten-konten viral lainnya. Umumnya semua orang kemudian pun melupakan bahwa ada suatu peristiwa yang terjadi sebelumnya.
Sesungguhnya memang ada kaitannya antara gerakan-gerakan sosial yang menjadi populer secara ekstrim dan menurunnya rasa simpati masyarakat. Semakin sering kita terpapar gerakan semacam ini di media sosial, secara tidak sadar kita akan merasa bosan dan lelah melihatnya yang pada akhirnya membuat kita tidak mengacuhkannya lagi. Padahal kita lupa bahwa di balik gerakan-gerakan ini ada orang-orang yang tengah menderita dan butuh uluran tangan dari kita semua.
Semakin sering kita terpapar informasi di media sosial, secara tidak sadar kita akan merasa bosan dan lelah melihatnya yang pada akhirnya membuat kita tidak mengacuhkannya lagi.
Selain itu pula, segala hal di dalam media sosial kini terlihat sama semuanya. Antara post satu dengan yang lainnya tampak seragam hingga otak manusia sulit membedakan mana yang dianggap penting dan mana yang tidak. Bayangkan saja, dalam satu platform yang sama kita bisa disuguhi video lucu yang bersanding dengan post foto mengenai bencana langsung setelahnya. Karena disajikan dengan cara yang sama, otak kita pun akan merespon keduanya dalam tingkat yang sama dan menjadi tidak memahami mana yang lebih penting. Untuk itulah dibutuhkan sebuah sensibilitas tersendiri untuk kita dalam ‘bermain’ media sosial. Kita perlu suatu kesadaran diri (self-awareness) dan mengingatkan diri sendiri bahwa ada beberapa hal di media sosial yang memang nyata, tragis, dan membutuhkan perhatian kita sebagai manusia. Karena jika tidak, maka lama kelamaan media sosial akan membuat kita semakin tidak sensitif terhadap isu-isu sosial dan mematikan empati kita.
Butuh sensibilitas tersendiri untuk ‘bermain’ media sosial. Kita perlu kesadaran dan mengingatkan diri sendiri bahwa ada beberapa hal di media sosial yang memang nyata, tragis, dan membutuhkan perhatian kita sebagai manusia.
Lalu bagaimana caranya untuk dapat menumbuhkan kembali sensibilitas tersebut? Yang terpenting adalah untuk mengingat kembali fungsi dari media sosial dalam kehidupan kita. Ia diciptakan hanya sebagai ‘alat tambahan’ bagi hubungan kita dengan orang sekitar; pasangan, keluarga, bahkan masyarakat. Terkadang kita lupa dan menganggap bahwa dengan menggunakan media sosial kita telah bersosialisasi – padahal sama sekali tidak. Media sosial adalah sebuah alat untuk kita berbagi informasi dengan orang-orang terdekat, namun bukan untuk menggantikan hubungan kita dengan mereka.
Interaksi personal kita dengan orang-orang sekitar menjadi hal yang sangat penting dalam hidup dan takkan pernah tergantikan oleh media sosial. Melalui hubungan secara langsung seperti inilah kita bisa memberi dampak nyata bagi orang lain termasuk bagi masyarakat luas. Dengan memasang status atau sekadar bersuara di dunia maya mendukung gerakan-gerakan sosial, tidak ada artinya apabila kita tidak melakukan sesuatu di dunia nyata – karena Likes dan Love saja tidak bisa membantu mereka yang sedang dalam kesulitan. Kini saatnya untuk belajar memisahkan kehidupan dunia maya dan dunia nyata, tinggalkan ponsel sejenak, dan lihatlah sekeliling kita. Mulailah berbagi kasih sayang tidak hanya di balik layar, namun juga ke orang-orang di sekitar.