Dalam hidup bersosial, kita pasti pernah mendengar kata moral sebagai landasan untuk membedakan yang baik dan yang buruk. Di dalam kaedah moral, terdapat pula empati yang menjadi salah satu unsur pembelajarannya. Empati menjadi sesuatu yang amat penting untuk diasah dalam diri seseorang untuk menghadapi berbagai situasi kehidupan. Pada dasarnya, empati adalah perilaku untuk kita bisa memahami perasaan, keinginan dan pikiran orang lain yang kemudian dicerminkan ke dalam diri sendiri.
Empati sendiri amat erat kaitannya dengan kecerdasan emosi atau yang sering disebut emotional intelligence (EI). Diperlukan kecerdasan emosi yang melibatkan kemampuan kita untuk memahami emosi dalam diri dan dalam diri orang lain untuk menganalisa berbagi pertimbangan serta keputusan. Apabila kita mau mengasah kecerdasan emosi kita akan mengerti bagaimana mengenal emosi kita sendiri maupun orang lain yang bermanfaat untuk pengendalian diri, motivasi diri, serta membina hubungan dengan orang lain.
Apabila kita mau mengasah kecerdasan emosi kita akan mengerti bagaimana mengenal emosi kita sendiri maupun orang lain yang bermanfaat untuk pengendalian diri, motivasi diri, serta membina hubungan dengan orang lain.
Sejatinya, setiap manusia diberkahi kemampuan merasa dan berempati dari Tuhan. Akan tetapi, terasah atau tidak semuanya tergantung dengan lingkungan tempat kita bertumbuh dan berkembang. Diperlukan stimulasi sedini mungkin agar di sepanjang perjalanan hidup kita tidak menjadi seorang individu yang hanya mementingkan diri sendiri. Sebab kita tidak hidup sendiri di dunia ini. Contohnya ketika kecil, anak diajarkan berbagi dengan saudaranya atau diajarkan antre agar bisa gantian. Hal-hal kecil seperti ini yang bisa menjadi stimulasi empati dalam diri seseorang. Lalu ketika uring-uringan, ia diajarkan untuk bisa memaknai emosinya dengan ditanyakan, “Kamu kenapa? Kamu merasa marah? Atau sedih? Kenapa marahnya atau sedihnya?”. Dengan memahami perasaannya sendiri, tahu apa yang ia rasakan, nantinya ia akan belajar memahami perasaan orang lain karena tahu seperti apa perasaan yang orang tersebut rasakan.
Begitu pun ketika kita dewasa. Kita bisa mengasah kecerdasan emosi dengan mencoba mempertanyakan emosi yang dirasakan dan melabeli perasaan itu. Sehingga pemahanan emosi yang kita miliki dapat direfleksikan ketika melihat atau mendengar orang lain dengan pengalaman serupa. Kalau kita tidak berupaya untuk melakukan stimulasi terhadap kecerdasan emosi yang sebenarnya tinggal di dalam diri, nantinya empati kita akan semakin mengecil dan berpotensi mengantarkan kita menjadi seseorang yang antipati atau antisosial. Kita dapat menjadi seseorang yang tidak bisa menghargai orang lain karena tidak pernah memosisikan diri pada orang lain. Kita juga akan kesulitan untuk mengendalikan diri sendiri dan bahkan bisa berujung pada perilaku yang menyakiti atau merugikan orang lain. Salah satunya adalah perilaku bullying.
Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa orang-orang yang berhasil di masyarakat bukanlah orang-orang yang semata-mata cerdas kognitif saja. Melainkan orang yang memiliki hubungan interpersonal antar manusia. Dan tentu saja untuk bisa memiliki kemampuan interpersonal tersebut dibutuhkan kecerdasan emosi yang tinggi. Kalau kita hanya cerdas tapi tidak punya rasa empati, kita tidak akan tahu apa manfaat kecerdasan itu untuk orang lain. Buruknya, kita bisa menggunakan kecerdasan tersebut untuk hal-hal yang (bukannya tidak mungkin) justru memusnahkan manusia. Jadi kecerdasan intelektual atau kognitif yang dimiliki tidaklah cukup. Kita harus punya keseimbangan antara kecerdasan intelektual dan emosi agar kita tidak hanya pintar dalam berpikir tapi juga memiliki moral yang membantu kita membedakan perilaku baik dan buruk.
Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa orang-orang yang berhasil di masyarakat bukanlah orang-orang yang semata-mata cerdas kognitif saja. Melainkan, orang yang memiliki hubungan interpersonal antar manusia
Akan tetapi, kita juga jangan sampai salah kaprah dengan kecerdasan emosi dan berempati. Ketika kita sudah bisa merasakan apa yang orang lain rasakan, pikirkan, dan inginkan, bukan berarti kita harus memberikan apapun yang dikehendaki orang tersebut. Di sinilah kecerdasan intelektual berperan untuk mengaktifkan kemampuan analisa dalam otak. Membantu kita berpikir objektif sehingga kita bisa tetap berbuat baik dengan aturan dan normal yang berlaku. Saat kemampuan berpikir secara kognitif sejalan dengan kemampuan merasakan emosi, kita akan lebih mudah memahami situasi yang sedang dihadapi seperti apa sehingga dapat memberikan solusi atau melakukan aksi yang tepat, sesuai sasaran dan tetap pada batas-batas tertentu.