Di dunia yang semakin menua, mencintai Tuhan jadi perihal yang rumit. Entah karena manusia pada dasarnya adalah makhluk yang penuh ketidaktahuan, atau karena mereka merasa tahu segala hal.
Ada masanya ketika saya kecil dahulu, saya membayangkan Tuhan sebagai sosok wanita raksasa, besar sekali hingga saya tidak mampu melihat wajahnya. Tubuhnya tak tampak jelas, karena ia seperti mengenakan kerudung putih panjang, yang ujungnya kerap saya main-mainkan, saya tarik-tarik, agar perhatiannya pun tertarik. Di alam pikir saya pada saat itu, Tuhan lebih tinggi dari pepohonan, lebih menjulang dari gunung-gunung. Lebih besar dari planet dan bintang di angkasa, ia selalu memantau ciptaannya sambil menoleh kiri, kanan, atas dan bawah.
Di dunia yang semakin menua, mencintai Tuhan jadi perihal yang rumit.
Mungkin kala kecil saya terlalu sering menonton animasi Disney, yang memvisualisasikan divine being dengan bentukan yang besar, tinggi, menjulang. Ditambah lagi saya sering menunggui Ibu sholat di kamar. Ibu yang menggunakan mukena putih tampak sangat bersih luar dalam. Entah datang dari mana, tetapi imaji akan Tuhan yang berkerudung putih mulai mendiami benak saya pada saat itu.
Orang tua menyekolahkan saya di tempat yang beragam. TK saya adalah sekolah Islami, di mana berdoa dan beragama adalah hal wajib. SD dan SMP saya merupakan sekolah Katolik. Di sana saya diperkenalkan pada ritual misa di gereja dan doa-doa indah serta nabi-nabi yang – dalam keterbatasan pengetahuan saya pada saat itu – mengejutkan saya. Tak tahunya agama saya dan mereka tidak jauh berbeda.
Masa selanjutnya adalah masa yang cukup membuat saya berpikir. Ketika saya masuk ke jenjang SMA dan mulai kuliah, sosok Tuhan menjadi semakin menyeramkan. Tuhan yang diceritakan oleh guru agama dan teman-teman saya pada saat itu, adalah Tuhan yang takut ditinggalkan umatnya, harus selalu disambangi dan dipuja, jika tidak ia akan murka.
Masa-masa Tuhan yang begitu keras diimbangi oleh kehadiran almarhum Bapak dalam hidup saya. Pada saat itu, Bapak tengah mendalami ilmu tasawuf. Ia perkenalkan kepada saya pandangan akan Tuhan yang pemaaf, Tuhan yang maha tahu, Tuhan yang tidak perlu diyakinkan. Tuhan tidak bisa kita lihat, tetapi ia selalu melihat kita. Maka dari itu perbuatan baik kita ke orang lain akan sama pentingnya (jika tidak lebih penting) dari puja puja kita ke dirinya.
Tasawuf membuka mata dan batin saya untuk mempelajari agama-agama lainnya, walau saya hanya melakukan apa yang saya bisa lakukan pada saat itu, yaitu membaca-baca buku. Tak lepas pula diskusi-diskusi yang saya lakukan setiap pagi siang malam bersama Bapak. Saya membaca banyak literatur tentang Siddharta Gautama, yang meninggalkan segala kemelekatan dunia demi mendapatkan surga yang sesungguhnya: lebur moksa dan lepas dari putaran karma.
Demikian dengan agama Hindu, yang merasuk nusantara jauh sebelum Islam, memiliki nilai-nilainya yang tak kalah indah dan relevan hingga masa sekarang. Kisah Mahabarata dan Ramayana telah saya lalap sedari kecil, kerap dinarasikan oleh Mbah saya sendiri, yang tak lelah-lelahnya mencontohkan kebaikan dan kejahatan melalui karakter-karakter wayang yang sungguh kaya. Saya semakin sadar bahwa walau leluhur memiliki akar agama berbeda dengan agama yang saya anut sekarang, namun mereka tak semerta-merta meninggalkan ajaran lama mereka, apalagi mengkafirkannya.
Tuhan tidak bisa kita lihat, tetapi ia selalu melihat kita. Maka dari itu perbuatan baik kita ke orang lain akan sama pentingnya (jika tidak lebih penting) dari puja puja kita ke dirinya.
Mbah sudah tiada, demikian pula dengan bapak. Di dunia yang menua, saya merasa spiritualitas mereka ikut meninggalkan saya. Kajian-kajian yang menyejukkan, Tuhan yang tidak menghakimi, aturan-aturan yang tak meliyankan, semakin mejauh dari keseharian. Bagi saya, Tuhan di jaman kini adalah Tuhan yang bengis, penghukum, jauh dari kasih. Tuhan sekarang adalah Tuhan yang tidak dicintai, tetapi ditakuti.
Pun demikian, sosok besar berkerudung putih itu masih tetap menyambangi. Dalam alam pikir saya, ia melayang di angkasa yang tak terbatas, memandangi tiap ciptaannya dengan seksama. Terkadang saya ikut diajaknya, melihat satu demi satu kelebihan dan kekurangan setiap manusia. Memaknai semua ciptaan yang bermakna, sedari bintang di angkasa hingga pasir di daratan.
Saya merasakan ia yang berbisik bicara di alam mimpi saya, meyakinkan hati yang gelisah, bahwa ia adalah zat yang maha mencinta. Bahwa mengerti dirinya tak perlu banyak syarat. Bahwa ia sudah ciptakan awal dan akhir, baik dan cela, indah maupun buruk. Semua pada tempatnya.
Dalam dunia yang tak terbatas, ia buat batas. Dan di antara imaji akan bintang-bintang yang berserakan di ruang hitam, saya perlahan mulai mengerti.
Tidak semua ciptaan bisa mencintai Tuhan, namun Tuhan selalu mencintai segalanya.