Korupsi tidak serta merta dipengaruhi oleh jabatan atau pendidikan yang tinggi karena mampu menduduki posisi puncak dalam pengambilan keputusan. Dua hal hanya membuka kemungkinan, karena faktor utama korupsi itu adalah iri hati.
Ada kata-kata John Dalberg-Acton yang sungguh mengena saat membahas tentang korupsi, yakni “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely.” Itulah mengapa pemimpin yang tentunya duduk di posisi yang tinggi maka punya kuasa. Kuasa itulah yang memungkinkan untuk korupsi.
Saat orang berada di posisi yang semakin tinggi, maka ia semakin punya celah untuk melakukan korupsi karena ada kemungkinan orang akan menuruti apa yang dia katakan dan orang cenderung takut pada pemimpin. Celah itulah yang akan dimanfaatkan. Apakah itu berkorelasi dengan pendidikan yang tinggi? Tidak semua pelaku korupsi berpendidikan yang tinggi. Ada juga yang strata pendidikannya rendah tetapi korupsinya tetap terjadi.
Popularitas bahkan bisa mengalahkan tingkat pendidikan jika dikorelasikan dengan korupsi. Misalnya menjelang pemilu yang tidak kita ketahui tidak semua calon yang duduk DPR itu pendidikannya tinggi-tingi amat, tapi punya popularitas karena figur publik atau artis sehingga punya massa, bisa dipilih, dan pada akhirnya menduduki posisi tertentu. Itulah mengapa korupsi tidak bisa dihubungkan secara linier dengan tingkat pendidikan.
Sementara itu di manakah posisi kecerdasan emosional? Kecerdasan emosional di sisi lain justru bisa untuk meraih posisi. Karena bisa digunakan untuk meraih posisi tersebutlah maka seseorang jadi memiliki kecenderungan juga untuk melakukan korupsi. Tapi tentu saja hal itu bukan sesuatu yang signifikan. Kita lebih tepat membahas korupsi itu terjadi karena kurangnya karakter atau nilai-nilai. Orang dengan nilai-nilai yang baik, karakter yang kuat, kepribadiannya menyenangkan kecerdasan emosionalnya baik, dia dengan mudah bisa capai posisi yang tinggi tapi tidak melakukan korupsi. Sebaliknya, orang yang karakternya tidak menyenangkan nilai-nilainya tidak kuat, IQ-nya bagus, bisa di posisi atas, bisa saja melakukan korupsi.
Belajar dari apa yang ayah saya ajarkan pada saya. Beliau melarang saya untuk menjadi pegawai negeri, meskipun beliau sendiri adalah seorang pegawai negeri. Menurut pendapat beliau kalau jadi pegawai negeri dan tidak melakukan korupsi maka akan sulit hidupnya tetapi kalau korupsi maka akan berdosa. Jadi lebih baik tidak menjadi pegawai negeri sama sekali.
Peran keluarga itu sangat penting terutama saat bagaimana harus mengukur tingkat kesuksesan. Keluarga pada umumnya makin senang kalau anaknya sukses dan sukses itu diukur dari keberlimpahan materi. Tentu saja ini jadi godaan besar waktu misalnya tetangga kita mobilnya bisa lebih bagus padahal pangkat atau jabatannya ada di bawah kita.
Ayah saya kembali lagi menekankan, kalau mau jujur kita harus siap hidup tidak seenak orang lain. Jadi keluarga menurut saya adalah tempat di mana pemaparan nilai sejak dini harus ditanamkan. Keluarga juga tidak bisa sendirian, selain itu di sekolah juga harus diperkuat dengan budi pekerti.
Di sekolah-sekolah negara maju, sistem rangking sudah tidak dipakai. Sementara di Indonesia sistem ini masih diterapkan, meski ada beberapa yang sudah tidak pakai. Padahal, sistem rangking yang membandingkan antar siswa ini dapat menimbulkan keirihatian. Dan iri hati merupakan salah satu bibit dari lahirnya korupsi.
Iri hati adalah cerminan dari rasa tidak pernah cukup. Rasa tidak cukup itulah yang kemudian mendorong korupsi. Satu-satunya yang bisa menghentikannya adalah rasa bersyukur. Waktu kita gaji hanya sejuta, belanja di department store rasanya sudah senang. Saat kemudian meningkat, belanjanya beda lagi. Pendapatan meningkat sepuluh kali lipat, maka akan pindah lagi. Maka tidak akan pernah cukup. Padahal saat belanja di department store rasanya ya bahagia, cukup-cukup saja dan layak kan?
Masalahnya semakin banyak pendapatan kita, semakin banyak paparan media, kemudian iri hari lihat teman yang lebih gaya sehingga merasa tidak cukup, tidak pernah bisa bersyukur, jadi itu seperti lingkaran yang tidak pernah berhenti. Padahal di atas langit kan selalu ada langit.
Semua agama mengajarkan untuk bersyukur, tapi gaya hidup itulah yang membuat berbeda. Beda jika kita bisa bersyukur dengan apa yang kita miliki meskipun kita bisa membeli lebih. Kita dididik bahwa ukuran kesuksesan itu harus diubah dari what you get menjadi what you give. Itulah yang menurut saya agak jarang ditekankan jadi dasar nilai-nilai kehidupan.