Kata independen pada seorang wanita bisa jadi kata yang memberatkan. Terutama para wanita Asia. Wanita yang dikenal independen biasanya sering dikira seseorang yang sulit diajak berkompromi, keras kepala, bahkan tak jarang diyakini telah kehilangan sisi feminin. Stigma terhadap label ini pun berkembang hingga ke faktor hubungan. Wanita karier yang masih melajang seringkali mendapat pernyataan, “Pantas saja dia single, dia kan independent woman yang tidak perlu orang lain. Tidak bisa diberitahu harus melakukan apa. Dia bisa melakukan segalanya sendiri.” Kenyataannya tidaklah demikian.
Wanita yang independen bukanlah wanita yang telah kehilangan sisi feminin maupun yang keras kepala. Hanya karena ia bisa menyampaikan opini dan pemikirannya berarti ia sulit diajak bekerja sama. Seorang wanita yang independen dan masih lajang tidak berarti punya standar tinggi atas seorang pria sehingga terlalu pemilih. Saya percaya seorang wanita yang independen ingin bersama seorang pria yang bisa menghargai kesetaraan. Bukan yang menempatkan wanita di bawah “perintah”-nya. Bukan berarti ia masih lajang karena ia tidak butuh pria dan bisa melakukan apapun sendiri. Sebagai seorang wanita independen dan lajang, saya justru ingin sekali tidak melakukan segalanya sendiri. Saya ingin melakukan berbagai hal bersama-sama dengan pasangan. Dan segala label kepribadian itu hanyalah stigma terhadap wanita independen.
Bagi saya, seorang wanita independen adalah mereka yang memiliki kebebasan berpikir, beropini, memiliki perasaan dan memilih. Mereka adalah segelintir wanita yang berani menyampaikan pikiran, gagasan dan pilihannya mereka dalam segala situasi. Tidak peduli ketika mereka berada dalam titik terlemah atau terkuat, mereka dapat menyampaikannya dengan hormat. Tidak peduli mereka adalah wanita lajang, berkeluarga, seorang bos atau karyawan biasa. Menjadi wanita independen bukan soal status sosial tapi soal bagaimana mereka menjadi diri mereka sendiri. Seseorang yang nyaman dengan dirinya dengan caranya sendiri, yang tahu kelebihan dan kekurangannya sehingga dapat mengenal betul pikirannya, tubuhnya, jiwanya, serta perasaannya.
Bagi saya, seorang wanita independen adalah mereka yang memiliki kebebasan berpikir, beropini, memiliki perasaan dan memilih. Mereka adalah segelintir wanita yang berani menyampaikan pikiran, gagasan dan pilihannya mereka dalam segala situasi. Tidak peduli ketika mereka berada dalam titik terlemah atau terkuat, mereka dapat menyampaikannya dengan hormat
Tapi memang sebagai wanita Asia, terkadang sulit untuk menjadi seperti apa yang diinginkan jika tidak ada dukungan dari orang-orang terdekat. Saya adalah wanita berketurunan India yang telah lama menetap di Indonesia. Dalam budaya saya menikah adalah suatu hal besar sebab itu adalah bagian dari budaya. Sehingga perceraian pun menjadi sesuatu yang sama besarnya. Perceraian menghadirkan berbagai pertanyaan bagi banyak orang yang belum dapat berpikiran terbuka. Memunculkan kritik sosial yang bahkan di beberapa negara seseorang bisa dikucilkan. Tidak terkecuali saya. Sebagai wanita berusia 42 tahun, telah bercerai, tidak memiliki anak, dan kini melajang, saya sempat merasakan ada sejumlah orang yang secara implisit mempertanyakan keputusan saya. Tentu akan sulit untuk saya menjalaninya kalau tidak mendapat dukungan dari orang tua dan keluarga terdekat. Namun, akan lebih sulit lagi jika saya tidak mencintai dan menerima diri sendiri. Menerima bahwa ini adalah keputusan saya dan bagian dari realita hidup. That’s it. Saya hanya harus berteman dengan keputusan saya sendiri.
Beberapa orang sempat bertanya pada saya, “Kamu tidak takut menua dan menghabiskan hidup akhirnya sendirian?”. Dan saya menjawab bahwa saya tidak khawatir akan hal itu. Bukan karena saya tidak lagi membuka diri untuk orang lain tapi menikah lagi tidak menjadi jaminan saya akan menua dengan bahagia. Saya tahu benar banyak sekali pasangan menikah yang jauh merasa kesepian dalam pernikahan mereka. Adalah bonus kalau memang nanti hadir seorang teman hidup yang menemani saya menua. Tapi saya tidak mau mengambil risiko untuk menikah hanya untuk memenuhi tekanan yang diberikan orang lain atau sekadar untuk diterima di masyarakat. Apalagi jika harus sampai kehilangan jati diri. Di titik ini saya amat nyaman sebagai seorang single, wanita karier, guru meditasi dengan segala kesempatan untuk berpelesir keliling dunia dan belajar hal-hal baru. Begitu banyak hal yang sedang dan ingin saya lakukan. Saya tidak khawatir akan umur, atau dilihat sebagai wanita yang tidak sempurna karena tidak menikah atau punya anak. Saya sangat nyaman dengan diri sendiri.
Saya tidak khawatir akan umur, atau dilihat sebagai wanita yang tidak sempurna karena tidak menikah atau punya anak. Saya sangat nyaman dengan diri sendiri.
Walaupun begitu, saya tidak menutup diri atas jalinan asmara yang mungkin masuk ke dalam kehidupan saya di kemudian hari. Saya percaya semua orang sebenarnya mencari cinta dan kasih sayang. Kita tidak bisa menyangkal itu sebab kita diciptakan lengkap dengan perasaan. Cinta adalah ruang kita untuk menjadi diri apa adanya. Kala kita di titik terlemah sekalipun. Dan bicara pernikahan, saya sendiri masih percaya dengan konsep itu. Meski menjadi seorang yang independen, saya tidak bisa menyangkal bahwa saya mau punya teman hidup. Tapi saya tidak ingin hidup dalam belenggu pernikahan yang membuat saya merasa tidak bisa diterima untuk jadi independen. Saya ingin memiliki teman hidup yang bisa mendukung saya menjadi wanita independen, yang menghargai kesetaraan dalam berbagai aspek.
Meski menjadi seorang yang independen, saya tidak bisa menyangkal bahwa saya mau punya teman hidup. Tapi saya tidak ingin hidup dalam belenggu pernikahan yang membuat saya merasa tidak bisa diterima untuk jadi independen. Saya ingin memiliki teman hidup yang bisa mendukung saya menjadi wanita independen, yang menghargai kesetaraan dalam berbagai aspek.
Kesetaraan yang saya maksud di sini adalah memiliki kesamaan hak secara politis, sosial dan finansial. Menurut saya, kesetaraan bukan tentang jenis kelamin. Bukan tentang menjadikan seseorang superior atau inferior. Tetapi tentang berbagi kesempatan dan pilihan yang sama atas aspek-aspek yang ada di masyarakat. Kesetaraan tentang kualitas dan karakter individu di mana pria dan wanita saling menghargai, hidup berdampingan dengan damai, mengakui kelebihan dan memahami pentingnya keberadaan satu sama lain. Pernikahan adalah tentang kebersamaan. Harus ada upaya yang berkelanjutan dari kedua belah pihak. Dan karena hidup akan selalu ada tantangan, maka dibutuhkan kebersamaan dan kerja sama —yang prosesnya tidak berkesudahan, dari kedua pasangan untuk melaluinya.
Menurut saya, kesetaraan bukan tentang jenis kelamin. Bukan tentang menjadikan seseorang superior atau inferior. Tetapi tentang berbagi kesempatan dan pilihan yang sama atas aspek-aspek yang ada di masyarakat.