Pernah tidak dalam hidup kita bertanya mengapa manusia seringkali memperdebatkan usia? Pernahkah suatu waktu kita merasa memiliki jiwa baya padahal angka yang tertera pada lilin ulang tahun belum seusianya? Apakah benar manusia bisa terperangkap dalam jiwa yang menua dalam tubuh yang masih belia? Pertanyaan-pertanyaan ini mungkin tak ada jawabannya. Sekalipun ada tak berarti satu jawaban tersebut mewakili kenyataannya. Di dunia ini tak ada alasan yang pasti atas sebuah kata “mengapa”. Begitu pun ketika saya ditanya mengapa seringkali menyatakan diri ini diliputi jiwa nan tua, menghidupi frasa old soul.
Banyak orang melihat gaya bermusik saya membawa kembali melodi di masa lampau. Belum lagi dengan penampilan di atas panggung atau di layar kaca yang menarik balik keindahan zaman eyang saya masih segar bugar. Seakan sesuatu yang tidak biasa melihat seseorang berusia muda seperti saya memiliki selera lawas. Meski saya akan menjawab bahwa selera saya sebenarnya berada di tengah garis masa silam dan masa modern, tetapi memang saya begitu mengagumi masa-masa di mana televisi tabung masih beredar, di mana telepon pintar belum menguasai kehidupan, di mana media sosial belum menjadi ajang unjuk bakat dan di mana banyak permasalahan yang tak masuk akal muncul di permukaan menggerogoti benak, mengaburkan perhatian pada hal-hal yang lebih vital. Mendengar kisah-kisah eyang saya seakan merasa lebih cocok lahir di era itu. Hidup tanpa distraksi. Segalanya terasa lebih tenang, perlahan tapi pasti.
Mendengar kisah-kisah eyang saya seakan merasa lebih cocok lahir di era itu. Hidup tanpa distraksi. Segalanya terasa lebih tenang, perlahan tapi pasti.
Namun mengagumi masa itu bukan berarti saya menyangkal untuk juga mencintai masa sekarang. Saya merasa umur saya seolah berada di garis 30-an. Berada di tengah antara tua dan muda. Satu dan lain hal mungkin karena saya suka sekali bergaul dengan mereka yang usianya jauh lebih tua. Merasa cocok berbincang dan bertukar pikiran dengan mereka. Mereka yang lebih dewasa terlihat bisa lebih tenang menghadapi permasalahan. Mereka yang lebih dewasa mengajarkan saya untuk menyelesaikan masalah sendiri. Sehingga lambat laun saya memahami bahwa jiwa “tua” bukanlah seseorang dengan umur yang tua karena manusia adalah manusia. Kita bisa berusia lanjut dengan jiwa muda dan sebaliknya berusia muda dengan jiwa baya. Dan kita hanya harus menerima diri apa adanya. Menghadapi diri sendiri dengan jiwa dan raga yang berbeda usia. Jangan pernah takut untuk menjadi diri sendiri. Sebaliknya, rangkullah keduanya bersamaan.
Kita bisa berusia lanjut dengan jiwa muda dan sebaliknya berusia muda dengan jiwa baya. Dan kita hanya harus menerima diri apa adanya.
Semuanya akan baik-baik saja asalkan kita tahu porsinya. Ketika harus menampilkan jiwa “tua” yang serius, saya pasti akan sangat serius. Jika bercanda dan memunculkan sisi umur saya yang sebenarnya maka saya akan menjadi Ardhito Pramono dengan angka yang tertera pada Kartu Tanda Penduduk saya. Pada dasarnya, jiwa “tua” saya manfaatkan baik-baik sebagai referensi pada karya, pada pemikiran dan perilaku. Namun semangat saya masih semangat juang generasi masa kini. Saya terbilang pribadi yang suka sekali bersosial. Bahkan saya pernah menjadi seorang DJ (disk jockey) hanya untuk bersosial dengan banyak orang. Saya suka bertemu orang baru – berapa pun usianya. Tak pernah saya merasa terasing ketika berkumpul bersama mereka yang seumur. Bagi saya, memiliki jiwa “tua” bukan berarti membagikan diskusi membosankan. Bukan berarti saya tidak bisa bersenang-senang layaknya kaum milenial. Setiap orang pasti punya cara sendiri untuk bersenang-senang. Begitu juga saya yang mengidamkan keelokan masa lampau. Saya bisa mengesampingkan referensi lawas saat harus bersenang-senang dengan gaya kekinian.
Memiliki jiwa 'tua' bukan berarti membagikan diskusi membosankan.