Self Lifehacks

Jadi Perempuan Sejati

Banyak orang membubuhkan label kepada perempuan. Terutama ketika aktivitas yang dilakukan tidak sesuai dengan standar kesantunan yang ada di masyarakat. Kalau perempuan keluar malam, merokok, minum alkohol, atau bertato, pasti langsung dibilang perempuan “nggak bener” atau perempuan nakal. Seakan-akan yang harus santun hanyalah perempuan sementara laki-laki tidak masalah melakukan sejumlah perilaku tersebut. Seringkali ini menjadi pertanyaanku. Kenapa tidak boleh? Bukannya semua kembali kepada pribadi setiap masing-masing orang? Menurutku, selama perempuan tersebut bisa bertanggung jawab dengan dirinya sendiri sebagai seorang perempuan dan terutama sebagai seorang pribadi, kenapa harus mendapatkan label tertentu? Kenapa orang lain harus mengatur dan buru-buru berasumsi bahwa ia perempuan nakal?

Selama perempuan tersebut bisa bertanggung jawab dengan dirinya sendiri sebagai seorang perempuan dan terutama sebagai seorang pribadi, kenapa harus mendapatkan label tertentu?

Sejak dulu, aku adalah seorang perempuan yang tomboi. Lebih sering memakai pakaian yang santai dan jarang pakai baju-baju yang feminin. Jujur, sedari kecil aku cukup risih ketika Mama mencoba untuk memakaikan aku baju-baju feminin. Aku adalah anak yang aktif sekali, suka olahraga dan tidak suka pakai baju yang buat sulit bergerak. Rambutku juga lebih sering dipotong pendek. Sekalipun tidak pernah ada yang mempertanyakan kenapa aku berpenampilan maskulin, tapi aku merasa sering mendapatkan tatapan yang seolah mempertanyakan itu. Ada beberapa orang yang akan melihatku dari atas ke bawah seperti ingin melontarkan pertanyaan, “Kenapa kamu pakai baju seperti pria?”. 

Aku sendiri sebenarnya seseorang yang bodo amat. Tidak terlalu terpengaruh dengan asumsi orang lain selama apa yang aku lakukan nyaman untuk diri sendiri. Buat apa harus menjadi orang lain dan memaksakan tuntutan mereka terhadapku kalau aku tidak merasa nyaman? Tapi, tentu ada hal-hal di masyarakat cukup mengganggu. Contohnya dulu di awal menjadi model, ada momen aku berambut sangat pendek. Lalu, seorang penata rambut yang menyatakan rambutku pendek sekali. Seolah-olah melanggar ketentuan untuk menjadi seorang model. Tapi memang, dulu di dunia model terdapat begitu banyak standar kecantikan perempuan. Seorang perempuan yang pantas menjadi model adalah yang berambut panjang, berkulit putih, tinggi, dan berpenampilan feminin. 

Di masa itu aku pernah mempertanyakan, "Kenapa harus begitu?" Bahkan banyak yang merasa tidak wajar kalau perempuan tidak memakai rok atau lebih suka pakai kaus kebesaran. Kenapa tidak boleh? Bukannya selama masih sopan, tidak mengganggu orang dan terasa nyaman di diri sendiri, harusnya tidak ada masalah? Kenapa orang lain harus memberikan kritik? Akan tetapi, perkembangan zaman sekarang sudah menuju ke arah standar kecantikan yang lebih beragam. Bermacam-macam penampilan bisa menjadi model. Mulai dari yang tidak berambut, berkulit gelap, hingga badan berisi, semua sudah bisa lebih diterima. Aku merasa bersyukur di dunia model sudah lebih manusiawi sekarang. 

Keterlibatanku di dunia model pun berawal dari ketidaksengajaan mengikuti audisi model ketika SMA. Dijebak oleh kakak yang menjadi juri audisi, ternyata aku justru lulus audisi dan menang juara satu. Di saat itu, aku merasa dunia model bukan bagian dari jati diri. Berdandan, memakai sepatu hak, dress, tidak merepresentasikan diriku sendiri. Dalam diri juga ada penolakan. Tapi lambat laun, ternyata aku mencintai pekerjaan ini sehingga yang awalnya dunia model aku anggap sebagai sebuah tantangan, kini menjadi medium untuk aktualisasi diri. Ketika bekerja sebagai model, aku merasa seperti memiliki alter ego. Di keseharian aku bisa tomboi. Tapi ketika bekerja aku bisa berpenampilan sebaliknya di luar kebiasaan dan gaya sehari-hari. Semakin hari, aku merasa dunia model mengembangkan identitasku juga sebagai perempuan. Aku bisa melakukan sesuatu di luar zona nyaman sekaligus memahami makna menjadi perempuan itu sendiri. Bahwa sebenarnya aku bisa jadi perempuan selayaknya yang aku percaya. Aku bisa jadi feminin dan tomboi di saat yang sama. 

Bahwa sebenarnya aku bisa jadi perempuan selayaknya yang aku percaya. Aku bisa jadi feminin dan tomboi di saat yang sama. 

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024