Adalah sesuatu yang wajar jika sesekali kita bisa merasa tidak percaya diri. Sebagai manusia kita pasti bisa meragukan diri sendiri, merasa apakah diri ini sudah cukup atau belum atau sudah baik atau belum. Apalagi banyak orang di sekitar kita —yang sekarang ini di zaman modern, mudah sekali menghakimi. Segala penilaian mereka yang mungkin seringkali buruk membuat kita meragukan diri sendiri dan membuat insecure.
Saya merasa banyak sekali orang-orang di sekitar seakan tidak suka ketika melihat kita melakukan yang berbeda. Beberapa kali insecurity dalam diri saya muncul karena melihat reaksi-reaksi dari orang-orang sekitar yang tidak seperti harapan. Bagaimana mereka membicarakan saya atau cara mereka bicara pada saya terkadang membuat tidak percaya diri. Terutama dulu ketika saya seringkali punya ekspektasi lebih pada hal-hal yang dilakukan. Pernah suatu kali ketika membuat sebuah lagu, dalam pikiran saya berkecamuk soal apakah ini akan bagus atau tidak, apakah bisa diterima orang-orang atau tidak. Akhirnya, setelah membuat dan ternyata hasilnya tidak sesuai ekspektasi, saya akan mudah kecewa.
Lambat laun, saya seringkali bertemu dengan kekecewaan yang berasal dari ekspektasi tinggi. Kegelisahan pun turut mengikuti dan terus mengganggu. Hingga saya berpikir sepertinya saya harus melakukan sesuatu, mencari jalan agar perasaan kecewa ini tidak terus hinggap dalam diri. Saya berpikir sepertinya kalau ini terus menerus terjadi, saya terus kecewa karena ekspektasi berlebih, nantinya hidup akan terasa menyebalkan. Pada satu titik, saya menyadari bahwa ternyata yang sering menjadi masalah adalah perasaan “terikat” dengan sesuatu. Ketika saya merasa “terikat” dengan pembuatan lagu, misalnya, saya punya harapan besar terhadap proyek tersebut dan menginginkan semuanya 100% sesuai dengan apa yang ada di kepala. Padahal, di dunia ini tidak mungkin ada rencana yang 100% sesuai dengan yang diharapkan. Pasti ada paling tidak 1% yang tidak sesuai. Dan ini adalah normal.
Di dunia ini tidak mungkin ada rencana yang 100% sesuai dengan yang diharapkan.
Kesadaran itu pun menuntun saya pada pembelajaran untuk menerima dan ikhlas terhadap banyak hal. Ternyata, setelah berusaha semaksimal yang saya bisa lalu belajar ikhlas dan pasrah pada apa yang akan terjadi nanti, saya justru sering mendapatkan ilham atas apa yang sebenarnya baik atau tidak bagi diri sendiri. Ternyata, kekecewaan yang sering dirasakan adalah karena kita tidak mau melepaskan sesuatu hingga tidak bisa menerima yang terjadi. Pada akhirnya, perasaan khawatir muncul karena tidak percaya diri atas apa yang sudah dilakukan. Kita merasa apa yang sudah dilakukan belum cukup atau tidak sesuai dengan ekspektasi.
Ternyata, kekecewaan yang sering dirasakan adalah karena kita tidak mau melepaskan sesuatu hingga tidak bisa menerima yang terjadi.
Dengan mengubah pola pikir tersebut, saya pun kini bisa belajar untuk melepaskan keterikatan terhadap sesuatu yang dikerjakan dan berusaha menerima apapun yang terjadi. Menurut saya, kita selalu punya pilihan ketika menghadapi masalah. Kita bisa memilih apakah harus kesal, marah, kecewa atau bisa melihat sisi positif dari masalah tersebut. Ketika saya mengambil pilihan untuk melihat sisi positif dari masalah, saya merasa hidup terasa jauh lebih baik. Pernah suatu kali saya khawatir soal penampilan. Tapi setelah belajar ikhlas dan menerima apa yang dimiliki, akhirnya saya lebih memilih untuk mengubahnya menjadi motivasi. Contohnya, untuk memotivasi saya berpenampilan yang membuat saya nyaman atau berupaya untuk olahraga agar tubuh terlihat fit.
Kita selalu punya pilihan ketika menghadapi masalah. Kita bisa memilih apakah harus kesal, marah, kecewa atau bisa melihat sisi positif dari masalah tersebut.
Begitu juga ketika saya merasa khawatir akan karya bermusik. Terkadang pasti muncul keinginan untuk membandingkan diri dengan musisi lain. Apalagi kalau melihat musisi senior, saya sering merasa bukan siapa-siapa dan belum bisa sebagus itu. Tapi lagi-lagi setelah bisa belajar ikhlas, saya pun mengubah rasa khawatir itu menjadi motivasi untuk terus mengasah kemampuan bermusik dan terus berkarya. Jadi, saya merasa ternyata insecurity bisa jadi baik untuk memotivasi diri agar terus berkembang.
Lewat single terbaru saya, “4ever (We Could Be)" juga sedikit banyak sebenarnya berbicara soal hal-hal tersebut. Meskipun kemasannya seperti membicarakan soal hubungan, tapi sebenarnya lagu ini bertujuan untuk menyampaikan bahwa kita harus belajar mengikhlaskan apa yang sudah terjadi. Belajar menerima apa yang sudah lewat dan berusaha menjadi lebih baik. Sebab “keterikatan” kita terhadap sesuatu entah itu pada seseorang, hubungan, materi, atau pekerjaan bisa menuntun pada harapan berlebih dan kekecewaan jika tak terjadi sesuai harapan.