Sebaik-baiknya kebaikan memang tidak untuk diceritakan pada banyak orang, apapun alasannya. Kita justru diuji saat niat baik membantu dan melakukan sesuatu agar orang lain menjadi lebih mandiri lepas dari kesulitannya: Apakah kita bisa membiarkan kebaikan itu kita lupakan?
Saat melakukan sesuatu kebaikan pada orang lain atau lingkungan tanpa kita ungkit, di situlah ada keikhlasan. Ikhlas tidak menginginkan pujian atau bahkan sekadar ingin diketahui orang lain. Sebaliknya, jika kita masih ingin kebaikan kita diketahui atau ditiru oleh orang lain, itu namanya belum ikhlas. Ikhlas itu let it go.
Ikhlas memiliki dua dimensi yakni transendesi dan personal. Dalam transendesi ikhlas sering kita ucapkan tetapi tidak terlaksana, untuk itulah Tuhan memberikan kita satu mekanisme: kesadaran bahwa manusia memang punya keterbatasan sehingga kita hanya bisa berserah. Jadi ikhlas dalam transendesi itu merupakan suatu upaya melepaskan diri dari tekanan, dengan memberikan tekanan tersebut kepada yang Maha Kuasa. Sebuah pemahaman jika sesuatu itu terjadi, kejadian tersebut di luar jangkauan dan kendali kita.
Lain halnya ikhlas dalam dimensi personal, yang lebih dikenalnya dengan istilah tulus. Dalam dimensi ini ikhlas berlaku saat kita melakukan kebenaran, seperti membela yang lemah, tertindas, membantu anak yatim piatu sehingga bisa sekolah dan kemudian hidup mandiri. Nah, jika segala kebaikan yang kita lakukan itu memiliki tujuan apapun, bahkan untuk menginspirasi orang lain, maka kita belum ikhlas secara sempurna. Selama masih ada wanting, maka di dalam perbuatan baik tersebut masih terkandung riya (red: melakukan suatu amalan agar orang lain bisa melihatnya kemudian memuji dirinya), harapan, dan pamrih. Kunci kata ikhlas ada pada pengertian bahwa segala kebaikan yang kita lakukan, kita lakukan untuk sebuah kekuatan transendental (di luar manusia). Jadi lakukan saja tanpa perlu ada embel-embel lain. Maka dari itu ikhlas itu pengertiannya selalu positif karena mengandung aktivitas aktif seseorang untuk memberi dan melakukan kebaikan lebih baik lagi tanpa agenda apapun di baliknya.
Namun manusiawi memang jika kita masih ingin diakui (walau seringkali jadinya malah riya). Sejauh kita belum bisa lepas dari kebutuhan untuk diakui, ya sudah akui saja bahwa ikhlas yang kita lakukan belum penuh. Tidak perlu juga merasa bersalah, karena namanya juga manusia butuh berproses, kok.
Kemudian apakah saat kita sudah ikhlas dan tulus akan membuat kita lebih bersyukur? Syukur beroperasi secara berkebalikan dari ikhlas. Jika ikhlas tidak mengandung pamrih, maka syukur sebaliknya. Di dalam syukur kita berharap akan sesuatu yang mungkin kita belum pahami tetapi kita harapkan, atau karena kita menerima sesuatu di luar harapan kita.
Ada perbedaan mendasar antara bersyukur ala Timur dan Barat. Di Barat, bersyukur itu atas sesuatu yang kita terima di masa yang sudah lewat, misalnya ditolong orang saat ditodong di jalan. Sementara di Timur, bersyukur itu justru kita ciptakan agar menimbulkan energi. Jadi dilakukan sebelum kita menerima sesuatu di masa depan. Dengan bersyukur terlebih dahulu, kita seakan memperoleh energi untuk bertahan mengejar apa yang kita harapkan.
Dari penelitian yang saya lakukan, saya menyimpulkan sebuah formula yang saya sebut konsep SSI, yakni Sabar Syukur Ikhlas. Jadi ikhlas dan syukur merupakan dimensi lebih dalam dari sabar. Sabar itu tidak sekadar mengendalikan diri tetapi mau belajar dari situasi yang dialami baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri. Terkadang kita mengaitkan sabar dengan emosi, padahal sabar itu adanya di kognitif, di pikiran, karena erat kaitannya dengan proses pengambilan keputusan. Dalam konteks masa kini dapat kita jumpai ketika orang dengan mudahnya membagikan informasi. Padahal sebaiknya jangan buru-buru dibagikan kita perlu cek kembali. Sabar itu sesungguhnya positif tetapi sering diinterpretasikan negatif di dunia yang serba cepat ini karena mendapatkan identifikasi yang sama dengan lamban.
Jadi latihan kesabaran sesungguhnya adalah melatih rasa bersyukur, dengan bersyukur membuat kita mempunyai energi untuk mencapai harapan kita. Ketika yang kita harapkan tidak tercapai karena kemampuan manusia terbatas maka kepada keikhlasanlah kita dapat berlindung. Karena walaupun kita sudah sabar bahkan bersyukur dan melakukan kebaikan, tetapi pada kenyataannya banyak hal dalam hidup terjadi di luar kendali kita, sehingga yang kita harapkan tidak kita terima. Kita harus bisa ikhlas.