Self Lifehacks

Haus Akan Perhatian

Nuran Abdat

@nuranabdat

Psikolog Klinis

Ilustrasi Oleh: Salv Studio

Semua orang punya kadar keegoisan yang berbeda-beda. Akan tetapi jika sampai seseorang tidak punya rasa empati dan menganggap dirinya yang paling benar, merasa lebih penting, lebih hebat dan lebih berkuasa, bisa jadi orang tersebut mengidap megalomania atau yang kini disebut Narcissistic Personality Disorder (NPD). Seseorang dengan gangguan tersebut memiliki permasalahan untuk meregulasi emosinya sehingga sulit rasanya untuk peduli pada kepentingan orang lain. Dia seakan memiliki fantasi untuk bisa melakukan apa saja sampai memiliki pemikiran superior yang tidak realistis. Keinginan untuk cari perhatian berlebih, untuk jauh seberapa jauh orang memandang dirinya. Tentu saja dia tidak sadar memiliki gangguan tersebut. Namun sadar bahwa dia haus akan keinginan tersebut. Tidak akan dia berteman dengan orang yang tidak bermanfaat bagi dirinya dan bahkan bisa melakukan manipulasi tertentu hanya untuk mendapatkan manfaat dari orang lain.

Kerapkali seseorang dengan NPD tidak dapat mengenali dirinya sendiri karena sikap, perilaku, cara pikir dan analisanya hanya memiliki satu tujuan yakin pengakuan dan validasi dari orang lain. Rasa iri yang tinggi serta selalu merasa orang lain iri padanya adalah salah satu sifat yang melekat. Jika ada orang lain yang mendekati dalam hatinya seringkali berkata, “Orang ini pasti butuh saya. Pasti butuh bantuan saya.” Sehingga selalu berpikir negatif pada orang lain. Terlebih, dia selalu sibuk dengan bayang-bayang kesuksesan yang semu seperti kecantikan, kekayaan, kekuatan dan kekayaan. Sibuk punya bayangan dia memiliki semuanya itu.

Kerapkali seseorang dengan NPD tidak dapat mengenali dirinya sendiri karena sikap, perilaku, cara pikir dan analisanya hanya memiliki satu tujuan yakin pengakuan dan validasi dari orang lain.

Kemunculan NPD pada seseorang juga bukan dalam waktu yang singkat. Terdapat tiga faktor yang dipertimbangkan menyumbang pengembangan gangguan tersebut. Pertama adalah pola asuhan. Lingkungan terdekat seperti keluarga dan pertemanan bisa berkontribusi besar akan NPD yang dijangkit seseorang. Banyak orangtua yang terlalu sering memberikan pujian secara terus-menerus karena tidak bisa memahami nilai kritik pada anaknya. Padahal kritik ada sesuatu yang wajar apabila diberikan dengan cara yang sesuai dan membangun. Banyak orangtua yang mungkin merasa bersalah ketika harus meninggalkan anak-anaknya untuk bekerja. Sehingga untuk membangun hubungan yang baik mereka enggan memberikan kritik.

Sebaliknya, pengabaian yang berkelanjutan juga mungkin menjadi faktor lain penyebab NPD. Seseorang yang dari kecil sering diabaikan rasa cintanya atau tidak mendapat respon yang tepat dari orang tua dapat mengakibatkannya haus perhatian. Pengabaian kecil seperti saat anak meminta orang tuanya untuk menemaninya bermain tapi orang tuanya mengabaikan sudah bisa menjadi penyabab adanya gangguan ini muncul. Hal kecil memang tapi bisa berujung pada kekosongan dirinya akan perhatian. Terakhir, faktor genetik. Ya, bukannya tidak mungkin faktor genetik di mana salah satu orang tua memiliki NPD bisa turun kepada anak. Apabila anak tidak mengenali dan memelajari dirinya dengan baik, berusaha mencoba mengembangkan diri, NPD dapat berkembang sampai dia dewasa nanti.

Melihat beberapa faktor tersebut pastinya kita mungkin bingung apabila ada orang-orang yang memiliki kadar egois cukup tinggi. Atau bahkan mungkin kita jadi memperhitungkan diri memiliki NPD juga. Oleh sebab itu, untuk membedakan mana yang mengidap NPD mana yang tidak adalah dengan mengevaluasi diri. Selama kita tidak menghalalkan segala cara untuk mencari validitas, bisa meregulasi emosi kita dalam artian memahami emosi terhadap suatu kejadian lalu berusaha memperbaikinya, berarti kita tidak memiliki NPD. Sedangkan orang yang memiliki NPD adalah orang yang mementingkan dirinya luar biasa. Hal tersulit dalam hidupnya adalah menerima kritik. Tidak ada menerima kritik dari orang lain apalagi meminta maaf. Selalu tidak merasa salah dan merasa percaya diri dengan apa yang dilakukan serta dipikirkan.

Selama kita tidak menghalalkan segala cara untuk mencari validitas, bisa meregulasi emosi kita dalam artian memahami emosi terhadap suatu kejadian lalu berusaha memperbaikinya, berarti kita tidak memiliki NPD.

Beragam penemuan menunjukkan bahwa pria berkecenderungan untuk memiliki NPD ketimbang wanita. Satu dan lain hal budaya patriarki menjadi alasannya. Bagaimana tidak? Budaya patriarki seringkali menuntut pria untuk menjadi makhluk yang kuat, yang membela dan memimpin keluarganya. Ketika dia gagal atau lemah akan mendapat hinaan seakan dipertimbangkan seperti wanita. Sehingga banyak pria sulit untuk mengenali dan menyampaikan emosinya. Setiap kali bersikap sensitif atau emosional akan dianggap abnormal. Padahal mereka butuh meregulasi emosi dengan baik agar tidak selalu merasa paling benar dan berkuasa. Agar dapat menunjukkan sisi lemahnya sehingga bisa mengevaluasi diri dengan baik.

Banyak pria sulit untuk mengenali dan menyampaikan emosinya. Setiap kali bersikap sensitif atau emosional akan dianggap abnormal. Padahal mereka butuh meregulasi emosi dengan baik agar tidak selalu merasa paling benar dan berkuasa.

Gangguan psikis ini tidak hanya akan berdampak padanya di mana emosinya ketika merasa gagal akan sangat meluap-luap, penuh kemarahan yang tidak bisa dikontrol. Di dalam hatinya, dia sangatlah rapuh karena terus menyembunyikan kelemahannya dan bertopeng pada kesempurnaan dalam pikirannya. Merasakan kesepian yang amat sangat karena terus meminta perhatian dari orang lain. Pada sekelilingnya juga akan amat berdampak negatif. Misalnya dalam aspek hubungan. Dia yang selalu merasa hebat, superior, selalu sibuk memamerkan dirinya memiliki kecenderungan untuk menyalahkan orang lain. Dalam hal ini pasangannya. Sudah pasti nantinya akan memunculkan masalah. Tidak ada satu orang pun yang ingin berhubungan dengan orang yang ingin menang sendiri dan tidak peduli pada orang lain, bukan? Oleh karena itu, untuk membantu mereka yang memiliki NPD bisa berupaya untuk membuatnya memahami cara meregulasi diri dengan banyak berdiskusi dengannya. Menanyakan apa yang dia rasakan ketika marah, sedih, senang, atau perasaan lainnya, dapat membantunya menyadari gangguan tersebut. Setelah itu bisa mengupayakan untuk datang ke para profesional di bidang psikologi atau para praktisi mindfulness.

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024