Our consumption is an expression of our identity. Mulai dari baju yang kita kenakan, makanan yang kita sukai, hingga destinasi liburan yang kita pilih, semuanya hampir selalu ada sangkut pautnya dengan hal yang kita senangi, butuhkan, dan merasa nyaman. Coba saja tengok lemari pakaian Anda. Dari sekian banyak baju yang ada, seberapa banyak sih yang bukan merupakan pilihan Anda sendiri? Apakah lebih banyak dari yang Anda beli karena suka?
Sebagai manusia, kita tidak pernah bisa lepas dari kegiatan konsumsi dalam aktivitas harian. Konsumsi sendiri tidak selalu berarti harus mengeluarkan uang setiap saat. Mengambil dedauan di taman atau menggunakan air sungai secara cuma-cuma pun sudah termasuk dalam hitungan kegiatan konsumsi. Apa yang kita ambil, gunakan, dan manfaatkan dari alam dan sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, adalah esensi yang sebenarnya melekat dari kegiatan satu ini.
Pertanyaannya kini adalah, bagaimana kita dapat memilih dan berbuat dengan bijak mana konsumsi yang sebaiknya kita lakukan dan tidak. Manusia memiliki kebutuhan infini yang akan selalu meningkat seiring berjalannya waktu. Dan berbicara mengenai segala sesuatu yang kita gunakan, baik sedikit maupun banyak, semuanya akan selalu memiliki dampak dalam hubungan sebab akibat yang menyertainya. Seperti berapa banyak sampah dihasilkan dari pemesanan satu paket makan siang? Atau sampai berapa lama pakaian yang kita beli dapat kita gunakan? Dan seterusnya. Apa yang kita konsumsi, tidak sekedar memiliki dampak pada diri kita saja. Lingkungan sekitar hingga cakupan dunia luas pun turut mendapat porsi akibat perpanjangan dari aktivitas konsumsi yang kita lakukan. Bila baik akan berdampak baik. Bila tidak, pun akan berujung demikian. Oleh karenanya, secara ideal segala kegiatan konsumsi perlu dimulai dari kesadaran diri untuk mampu memilah, mana yang benar-benar kita butuhkan, dan mana yang sebenarnya hanya sekedar kita inginkan sebagai pemenuh keinginan sekejap.
Manusia dibentuk atas faktor internal dan eksternal yang mengelilinginya. Alih-alih memahami diri sendiri dengan baik mengenai apa yang benar-benar kita butuhkan, keputusan konsumsi manusia modern lebih sering mendapat pengaruh dari lingkungan eksternalnya. Mulai dari iklan, rekomendasi teman, hingga tren yang semakin hari makin beragam dan kian mudah diadopsi. Inilah yang menyebabkan kita melakukan over consumption, karena tujuan konsumsi kita menjadi tidak lagi memenuhi kebutuhan, tapi cenderung ke arah keinginan. Dan ‘keinginan’ inilah yang seringkali banyak dan paling mudah dipermainkan.
Sebuah pertanyaan sederhana ‘sebenarnya apa yang benar-benar saya butuhkan?’ dapat membantu untuk menentukan mana kebutuhan yang berasal dari diri internal dan mana yang berasal karena pengaruh sekitar. Namun perlu diingat, pada dasarnya, alasan kita melakukan aktivitas konsumsi juga salah satunya untuk mencari kebahagiaan, bukan? Kita merasa puas bila rasa lapar dan haus yang kita rasakan dapat kita tepis. Begitu pun kita akan merasa senang bila di saat tubuh kita kedinginan, kita mampu membeli pakaian hangat yang menentramkan. Oleh karenanya, tidak perlu memaksakan diri terlalu keras juga untuk benar-benar selektif dalam memilih barang pemenuh kebutuhan. Kita tetap harus merasa damai dan semangat melihat kehidupan ini. You still have to enjoy your life!
Kebutuhan kita sendiri pun akan terus mengalami perubahan. Kita memang perlu untuk tumbuh dan berkembang di setiap saatnya. Jadi, terima dan sesuaikan saja perubahan tersebut. Misalnya, dahulu kita tinggal di rumah relatif besar, kemudian pindah ke apartemen yang minimalis. Tentu tidak semua barang dapat dibawa serta karena sudah pasti tidak akan muat. Dari sini, mulailah kita harus memilih. Kita melakukan decluttering akan apa yang benar-benar kita butuhkan serta akan membawa kesenangan saat kita menyimpannya, dan mana yang tidak.
‘Memilih’ adalah kata kunci dan kekuataan yang kita miliki di sini. Ketika sadar apa value dan kebutuhan kita, kita tahu apa yang cukup dan menciptakan kesenangan bagi diri sendiri. Itulah conscious consumption. Kita sadar konsumsi bukan hanya sekedar pemenuh kebutuhan dan keinginan, tetapi juga merupakan salah satu kekuatan kita. Dengan selektif memilih apa yang kita konsumsi, sebagai konsumen, kita memiliki kekuatan atas produsen untuk mempengaruhi mereka dalam mengeluarkan suatu produk.
Meski demikian, terkait kekuatan yang konsumen miliki, kadangkala kita bisa menjadi terlalu ekstrim. Sebagai contoh, membatasi diri menggunakan plastik memang bagus. Namun, untuk menjadi sosok ‘anti plastik’ dengan sama sekali tidak memperkenankan diri untuk menggunakannya, tampaknya keputusan tersebut perlu dipertimbangkan kembali. Tidak semua aspek dari plastik itu buruk. Kita tetap membutuhkannya, antara lain untuk menjaga agar produk yang kita konsumsi terjaga kebersihan dan kesehatannya.
Conscious consumption memang sangat bergantung dengan nilai yang masing-masing diri kita anut beserta kondisi yang menyertai. Sangat kontekstual memang dan secara ringkas membutuhkan kebijaksanaan dalam berpikir. Pada saat terjadi kejadian darurat misalnya, seseorang yang biasanya enggan memakai plastik, pasti tidak mungkin menolak bantuan nutrisi dari kantong-kantong infus yang juga menggunakan plastik, bukan? Sadari konteks, kebutuhan, dan keadaannya seperti apa. Sesungguhnya kita semua mampu membuat suatu keputusan bijak. Hanya saja, seringkali kita terlalu berfokus pada segala distraksi yang ada di luar sana. Padahal bila kita mau meluangkan sedikit saja waktu untuk berefleksi dan mendengarkan diri sendiri, we are already wise.