Pandemi membuat kita menghabiskan banyak waktu berada di depan layar. Kita bahkan berada dalam multi device ecosystem, di mana kita beraktivitas menggunakan banyak perangkat untuk online dan menyebabkan digital overconsumption. Aktivitas ini juga menyebabkan kelelahan fisik seperti screen fatigue, sakit pinggang, dan keluhan lain. Selain fisik, kita juga bisa mengalami kelelahan emosional karena merasa kewalahan dengan tugas atau pekerjaan yang dilakukan secara online, kurangnya interaksi nyata dengan orang lain, dan terbatasnya aktivitas fisik di luar ruangan.
Dengan aktivitas online tersebut, kita juga rentan terpapar dengan pemberitaan di media sosial atau berita-berita yang cenderung negatif. Seseorang bisa mengalami FOMO, phubbing; terlalu tergantung dengan gadgetnya, melakukan social comparison atau membandingkan diri, bahkan bisa berujung pada kecemasan atau stres.
Selain itu, kondisi pandemi juga menyebabkan batasan antara ruang pekerjaan dan kehidupan pribadi kita menjadi hilang. Jarak atau batas fisik yang tadinya ada ketika berinteraksi secara offline, menjadi tidak ada, termasuk dalam interaksi sosial dan pekerjaan. Dengan kondisi tersebut, kita perlu membagi waktu antara pekerjaan, aktivitas online, dan kegiatan lain yang diperlukan untuk merawat diri sendiri (self care). Dalam hal ini teknologi memang diperlukan untuk mempermudah pekerjaan dan interaksi, namun di sisi lain juga seperti pedang bermata dua; dapat mengganggu kebahagiaan individu.
Kita sering mendengar istilah digital wellbeing, yang kerap dihubungkan dengan tools atau alat yang membantu kita membatasi waktu online. Tetapi digital wellbeing bukan hanya sekedar alat, tetapi bagaimana individu bisa bahagia dengan aktivitas digitalnya; bagaimana ia mampu mempergunakan teknologi dengan bijak untuk kesejahterannnya (Unesco; Gui, Fasoli, & Carridore, 2017). Bagaimana individu menyeimbangkan kehidupan on-line dengan real life atau "what it means to live a life in the digital world”.
Digital wellbeing bukan hanya sekedar alat, tetapi bagaimana individu bisa bahagia dengan aktivitas digitalnya; bagaimana ia mampu mempergunakan teknologi dengan bijak untuk kesejahterannnya.
Dalam psikologi, istilah wellbeing erat dikaitkan dengan psychological wellbeing; sejahterah secara psikologis. Konsep ini dijelaskan oleh Ryff (1989) sebagai kondisi di mana kita memiliki sikap positif terhadap diri, dapat mengatur tingkah laku, membuat keputusan, dapat mengatur lingkungan sesuai dengan kebutuhan, memiliki tujuan hidup, memaknai hidup, dan mengembangkan diri.
Psychological wellbeing terdiri dari 6 dimensi yaitu self acceptance, hubungan positif dengan orang lain, otonomi, penguasaan lingkungan, tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Dalam hal ini, penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain adalah bagian penting dalam membentuk digital wellbeing, di mana kita akan dapat merasa sejahterah bila dapat mengendalikan situasi, mengubah dan meningkatkan kualitas lingkungan sesuai kebutuhan kita. Di sisi lain kita juga tidak melupakan pentingnya relasi dengan orang lain.
Penguasaan lingkungan dan hubungan positif dengan orang lain adalah bagian penting dalam membentuk digital wellbeing.
Untuk bisa mencapai digital wellbeing, memang ada sejumlah software atau aplikasi yang bisa membantu kita membatasi aktivitas online, tetapi, kontrol diri dan kemampuan untuk mau lepas dari aktivitas online, serta mengalihkannya pada kegiatan positif adalah hal yang penting. Perlu diingat, interaksi kita dengan lingkungan alam, keluarga atau dan terdekat adalah interaksi yang nyata atau real. Hal ini tentunya berhubungan dengan bagaimana kita sebagai manusia memiliki kebutuhan untuk tetap terkoneksi secara langsung dengan orang-orang di lingkungan sekitar kita dan tidak hanya dalam batasan digital. Ketika kita tidak memiliki interaksi yang nyata, maka wellbeing kita secara utuh juga dapat terpengaruhi. Sehingga memang diperlukan batasan-batasan baru ketika ingin menciptakan digital wellbeing kita sendiri.
Untuk bisa mencapai digital wellbeing, kontrol diri dan kemampuan untuk mau lepas dari aktivitas online, serta mengalihkannya pada kegiatan positif adalah hal yang penting.
Apa yang bisa kita lakukan untuk menyeimbangkan kehidupan nyata dan digital?
- Pertama, awareness atau kesadaran bahwa kehidupan serta interaksi nyata adalah hal yang penting. Dekat dengan alam, aktivitas dengan orang terdekat, yang meskipun terbatas tetapi tetap dapat dilakukan asalkan kita memiliki kemauan. Aktivitas ini juga bisa menambah kedekatan dan pemahaman antar anggota keluarga, bahkan menjadi tempat mendapatkan dukungan sosial.
- Kedua, self-control. Kita perlu memiliki kontrol diri, yang mampu memantau penggunaan berbagai tools, serta akibatnya pada fisik dan mental. Selain itu, perlu ada kemauan untuk memberikan waktu untuk “off” dari berbagai aktivitas digital. Dalam hal ini, bila sulit, kita bisa dibantu dengan digital wellbeing tools seperti aplikasi yang ada di perangkat digital kita.
- Ketiga, intervension. Bagi kita yang bersekolah atau bekerja, kita bisa perhatikan keluhan yang terjadi pada diri sendiri ketika banyak melakukan screen time. Apakah mata lelah, tubuh pegal, dan lain sebagainya. Lakukan aktivitas self care seperti melakukan hobi, sesuatu baru yang ingin dilakukan, atau berolahraga untuk mengurangi dampak fisik akibat bekerja di depan komputer. Untuk intervensi pada anak-anak, mereka bisa diperkenalkan pada banyak aktivitas fisik, menggabar, bermain, bercerita, atau bahkan memasak. Anak pun perlu diberi informasi kegunaan dari teknologi, manfaat, serta risikonya.
Situasi saat ini mungkin penuh ketidakpastian dan menimbukan kebingungan. Tapi, bagaimana cara kita menyikapi situasi yang tejadi inilah yang bisa membuat kita dan orang-orang yang kita sayangi tetap sehat, baik secara fisik maupun mental.