Self Health & Wellness

Empati dan Sikap di Media Sosial

Empati bisa kita definisikan melalui beberapa tinjauan. Menurut KBBI, empati adalah kesadaran mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasikan dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang lain. Dari sisi psikologi, secara sederhana empati adalah kemampuan seseorang untuk menempatkan diri di posisi orang lain serta turut merasakan apa yang orang lain tengah rasakan. 

Sebenarnya empati adalah sesuatu yang sifatnya instingtif. Artinya, sudah ada sebagai bagian dari sifat bawaan manusia. Di dalam otak kita ada bagian yang mengatur empati yaitu daerah frontal korteks. Bagian otak ini berfungsi dalam mengatur empati, nilai diri, moralitas, serta regulasi emosi. Kendati begitu, manusia adalah makhluk yang memiliki psikodinamika yang kompleks. Pada dasarnya semua orang punya empati, hanya saja kadar empati yang dimiliki setiap orang berbeda.

Sebenarnya empati adalah sesuatu yang sifatnya instingtif. Artinya, sudah ada sebagai bagian dari sifat bawaan manusia.

Sensitivitas seseorang dalam berempati bisa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Pertama kita bahas dulu dari sisi internal. Secara genetik, orang-orang tertentu memang cenderung lebih perasa dibandingkan yang lain. Contohnya bisa saya gambarkan pada orang-orang yang introvert, mereka memiliki jalur yang lebih dominan yaitu jalur asetilkolin. Itu yang membuat mereka cenderung lebih pemikir dan sensitif.

Ada pula faktor eksternal, terkait dengan bagaimana perjalanan hidup yang dilalui seseorang. Salah satunya dari pola asuh, bagaimana orang tua mengajarkan norma serta nilai yang terus dikenalkan sejak kecil. Termasuk juga pengalaman hidup, bagi orang-orang yang tumbuh besar dalam lingkungan yang mengedepankan empati, maka sensitivitas mereka dalam berempati juga akan lebih tajam.

Paparan informasi yang didapatkan individu terhadap sebuah peristiwa atau kejadian juga memiliki peran dalam membangun empati seseorang. Contohnya saja keadaan Palestina saat ini. Mungkin sebagian dari kita tadinya tidak terlalu berempati karena belum memahami apa yang terjadi. Ketika paparan informasi yang didapatkan menjadi lebih intens, kita kemudian bisa mulai memahami dan berempati terhadap situasi yang mereka hadapi saat ini.

Faktor lainnya adalah kesamaan latar belakang. Ketika kita mengalami pengalaman yang serupa, kita akan lebih mudah berempati terhadap situasi yang dialami orang lain. Misalnya kita ambil contoh tentang perselingkuhan yang sekarang sering diangkat menjadi cerita di film atau series. Saat seseorang memiliki pengalaman serupa, ia akan lebih mudah berempati dengan cerita yang ditampilkan dalam tayangan.

Menurut saya, proses menumbuhkan empati dalam diri bukan hasil dari rekayasa. Empati adalah sebuah proses memahami perasaan. Jadi, memahami itu bukan sesuatu yang otomatis. Proses ini melibatkan pikiran, perasaan, serta perilaku yang kemudian membentuk kepribadian seseorang.

Empati adalah sebuah proses memahami perasaan. Jadi, memahami itu bukan sesuatu yang otomatis. Proses ini melibatkan pikiran, perasaan, serta perilaku yang kemudian membentuk kepribadian seseorang.

Hal ini juga berlaku saat kita berinteraksi di media sosial. Untuk mengatakan bahwa internet membuat orang tidak berempati tentu harus menggunakan data berdasarkan penelitian yang valid. Namun, mari kita coba melihat kembali sebenarnya apa alasan orang berbagi di media sosial?

Setiap orang tentu memiliki motivasi saat menggunakan media sosial. Bisa jadi untuk ventilasi. Dalam bahasa psikologi ventilasi artinya adalah mengungkapkan perasaan supaya lebih lega. Sebetulnya keinginan untuk mengekspresikan kondisi emosional ini bukan hal baru, bedanya kini media sosial selalu bisa diakses 24 jam. Terlebih dengan respon yang cepat dan terkadang ini yang diinginkan oleh individu. Terkadang motivasi seseorang saat berbagi di media sosial adalah untuk mendapat respon dukungan dan empati dari orang lain.  

Dalam bersikap di media sosial kunci utamanya adalah kita harus berkesadaran. Sering kali kita menggunakan alibi bahwa media sosial adalah tempat atau bahkan ‘rumah’ kita, maka kita bisa bertindak sebebas yang kita inginkan dan merasa, toh pendapat orang lain tidak bisa kita kontrol. Padahal, kita juga harus melihat dari sisi lain, bahwa cara kita bersikap di media sosial adalah hal yang bisa kita kendalikan.

Betul, setiap orang bebas menginterpretasikan postingan yang kita bagi di media sosial. Satu hal yang perlu diingat adalah jangan juga memberikan stimulus negatif untuk orang lain. Saya ambil contoh diri saya sendiri, saat saya mulai berbagi di akun @newidapsikiater saya sudah memperkenalkan diri sebagai seorang edukator. Maka sudah selayaknya saya juga tidak membagikan hal yang mungkin memancing perasaan sensitif orang lain.

Hidup kita itu penuh paradoks dan ini perlu kita akui. Di satu sisi kita ingin berempati terhadap kemalangan orang lain tapi di sisi lain kita juga perlu akui bahwa penderitaan orang lain terkadang dijadikan sebagai hiburan. Di beberapa kesempatan justru penderitaan orang lain dijadikan sebagai sebagai tontonan untuk kepentingan pribadi.

Empati adalah tentang memahami dan berimajinasi. Berandai bagaimana jika saya berada dalam posisi orang lain, bagaimana perasaannya? Atau apa yang akan dia rasakan? Ini adalah refleksi diri. Kemampuan refleksi ini memang tidak semua orang punya, ada banyak faktor yang kemudian memengaruhi hal ini.

Saya juga percaya bahwa sejatinya semua orang itu egois. Karena di Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 7 disebutkan ‘ketika kamu berbuat baik pada orang lain, sebetulnya kamu berbuat baik pada dirimu sendiri’. Artinya, Allah pun tau bahwa kita baru mau melakukan sesuatu kalau hal itu membawa keuntungan untuk kita. Maka salah satu cara yang bisa kita gunakan untuk memotivasi diri dalam menumbuhkan rasa empati adalah mengingatkan diri bahwa saat kamu berbuat baik pada orang lain, sebetulnya kamu sedang berbuat baik pada dirimu sendiri.

Empati yang berlebihan juga bisa berdampak buruk. Orang-orang dengan empati yang terlalu tinggi memiliki risiko untuk mengalami emotional sponge. Alih-alih hanya berempati, ia justru bisa ikut stress karena penderitaan orang lain. Maka, berempati butuh kesadaran. Kita harus bisa menempatkan diri dan perasaan kita dengan kesadaran penuh dan mengambil posisi yang tepat. Baik itu di dunia nyata maupun media sosial.

Berempati butuh kesadaran. Kita harus bisa menempatkan diri dan perasaan kita dengan kesadaran penuh dan mengambil posisi yang tepat. Baik itu di dunia nyata maupun media sosial.

Related Articles

Card image
Self
Perbedaan dalam Kecantikan

Perempuan dan kecantikan adalah dua hal yang tidak akan pernah terpisahkan. Cantik kini bisa ditafsirkan dengan beragam cara, setiap orang bebas memiliki makna cantik yang berbeda-beda sesuai dengan hatinya. Berbeda justru jadi kekuatan terbesar kecantikan khas Indonesia yang seharusnya kita rayakan bersama.

By Greatmind x BeautyFest Asia 2024
01 June 2024
Card image
Self
Usaha Menciptakan Ruang Dengar Tanpa Batas

Aku terlahir dalam kondisi daun telinga kanan yang tidak sempurna. Semenjak aku tahu bahwa kelainan itu dinamai Microtia, aku tergerak untuk memberi penghiburan untuk orang-orang yang punya kasus lebih berat daripada aku, yaitu komunitas tuli. Hal ini aku lakukan berbarengan dengan niatku untuk membuat proyek sosial belalui bernyanyi di tahun ini.

By Idgitaf
19 May 2024
Card image
Self
Perjalanan Pendewasaan Melalui Musik

Menjalani pekerjaan yang berawal dari hobi memang bisa saja menantang. Menurutku, musik adalah salah satu medium yang mengajarkanku untuk menjadi lebih dewasa. Terutama, dari kompetisi aku belajar untuk mencari jalan keluar baru saat menemukan tantangan dalam hidup. Kecewa mungkin saja kita temui, tetapi selalu ada opsi jalan keluar kalau kita benar-benar berusaha berpikir dengan lebih jernih.

By Atya Faudina
11 May 2024