Awal mula ketertarikan saya pada esai berasal dari kegemaran masa kecil membaca kolom para penulis senior seperti Mahbub Djunaidi, Myra Sidharta, Seno Gumira Ajidarma, hingga Bondan Winarno. Bagi saya, esai mereka menarik karena membahas hal yang kita temui sehari-hari tapi sering terlewatkan begitu saja. Hal-hal sederhana menjadi memikat sekaligus reflektif, dengan bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca.
Saya mulai berlatih menulis opini di blog saat masih kuliah, mungkin sekitar 2005 atau 2006. Lama kelamaan, tulisan saya muncul di koran lokal Semarang, Suara Merdeka. Setelah sempat berhenti menulis esai selama beberapa tahun karena beberapa alasan, di tahun 2021 saya mendapat tawaran untuk menulis kolom di Kumparan Plus selama sepuluh pekan. Ini menjadi momen awal saya kembali jatuh cinta dalam menulis esai.
Ada banyak hal dalam kehidupan yang menarik untuk dibahas. Misalnya tentang nama anak zaman sekarang yang semakin rumit. Kebetulan ibu saya adalah seorang dokter anak, ia sering kali bercerita tentang suster di tempatnya bekerja yang kesulitan memanggil nama anak karena ejaannya yang sering bikin keseleo lidah. Saya juga pernah membahas kejadian tetangga yang bertengkar karena masalah parkir liar di sepanjang jalan dekat rumah, serta beberapa topik lain yang sering kita temui.
Setelah periode tersebut usai, penerbit Shira Media menyatakan tertarik menerbitkan esai-esai saya menjadi kumpulan tulisan, yang kemudian terbit dengan judul “Menua dengan Gembira”. Judul “Menua dengan Gembira” diambil dari judul salah satu esai yang ada di buku ini. Ceritanya saya terinspirasi dari tren skin care atau perawatan kulit yang banyak dibahas dalam beberapa tahun terakhir. Pergaulan dengan perempuan seumuran, ditambah pengamatan di media sosial, menguatkan dugaan bahwa orang semakin takut bertambah tua. Kerutan, jerawat, flek, dianggap sebagai musuh yang harus dibasmi, alih-alih bukti bahwa kulit kita sudah menempuh banyak hal dalam hidup.
Pergaulan dengan perempuan seumuran, ditambah pengamatan di media sosial, menguatkan dugaan bahwa orang semakin takut bertambah tua. Kerutan, jerawat, flek, dianggap sebagai musuh yang harus dibasmi, alih-alih bukti bahwa kulit kita sudah menempuh banyak hal dalam hidup.
Dari riset kecil-kecilan, saya menemukan bahwa biaya perawatan kulit dan wajah di klinik kecantikan bisa sangat mahal, bahkan beberapa klinik menawarkan cara pembayaran dengan cara dicicil. Penampilan menjadi aspek yang sangat penting untuk dibuat sempurna tanpa cela. Padahal, tanda-tanda penuaan yang kita lihat di wajah dan tubuh kita sangat wajar terjadi, ini menunjukkan bahwa tubuh kita sudah lama digunakan. Jadi seharusnya proses menjadi tua tidak harus dijadikan hal yang terlalu menakutkan, melainkan disambut dengan gembira
Tanda-tanda penuaan yang kita lihat di wajah dan tubuh kita sangat wajar terjadi, ini menunjukkan bahwa tubuh kita sudah lama digunakan. Jadi seharusnya proses menjadi tua tidak harus dijadikan hal yang terlalu menakutkan, melainkan disambut dengan gembira
Tema lain yang saya kira muncul dengan cukup konsisten dalam buku ini adalah media sosial. Barangkali ini ada hubungannya dengan latar belakang saya sebagai dosen dan peneliti kajian ilmu komunikasi. Media sosial selalu menarik bagi saya karena sekarang sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Selain bisa mendorong penggunanya untuk terus membandingkan diri dengan orang lain, media sosial juga mengisi otak dengan hiburan dan informasi 24/7 sehingga orang jadi jarang bengong. Padahal, banyak ide kreatif datang dari bengong.
Pesan yang sering saya ulang di buku ini adalah menggunakan media sosial sesuai dengan kebutuhan dan tidak bertentangan dengan batasan pribadi. Yang belakangan ini penting karena limit dan tujuan setiap orang dalam bermedia sosial bisa berbeda-beda. Kalau sudah bisa sedikit-sedikit mengelola penggunaan medsos, menua dengan gembira jadi lebih mudah dicapai.
Lewat karya ini saya bermaksud menampilkan potret kehidupan yang kita rasakan bersama. Tentang masyarakat yang lelah, terjepit antara keinginan untuk maju dan keterbatasan sumber daya terdesak oleh ekspektasi diri sendiri dan sekitar, dan kearifan yang muncul dari kemampuan menertawakan diri sendiri.
Saya harap saat membaca buku kumpulan esai ini, teman-teman bisa merasa relate dengan fenomena yang coba disampaikan. Kalau kemudian bisa ada perubahan persepsi atau sikap tentu bagus sekali. Misalnya, dengan sedikit mengelola waktu bermedia sosial, atau tidak lagi parkir sembarangan di depan rumah tetangga.