Satu hal yang saya sadari akhir-akhir ini: the more content I see, the more discontent I feel.
Content merujuk pada apa yang kita lihat online baik berupa foto, video, ataupun teks. Namun kata ini juga memiliki makna lain, yaitu rasa puas, bahagia yang penuh damai. Lawan katanya adalah discontent yaitu rasa kurang puas, selalu ada yang tidak cukup. Discontent inilah yang saya sering rasakan semakin banyak waktu yang saya habiskan waktu untuk melihat content di dunia online. Mungkin ketidakpuasan ini juga yang menjadi penyebab kita bisa merasa risih, iri, tidak suka atau bahkan benci pada orang yang kita tidak kenal di luar dunia online.
Jejaring sosial memberikan kita akses untuk tahu tentang segala yang kita mau, tentang siapapun yang kita mau – selebriti, influencers, ataupun orang-orang sekitar kita. Kita merasa mengenal mereka karena kita tahu makanan apa yang mereka santap hari ini, merk baju apa yang mereka sedang pakai, kemana mereka pergi berlibur, dengan siapa, dan apa status hubungan mereka.
Kita begitu mau tahu, tapi maukah juga kita untuk memahami?
Perasaan discontent kita tentang hidup dan diri kita sendiri seringkali sebabnya sebatas apa yang kita bisa lihat tentang orang lain – dan kita melihat dari jendela yg sangat kecil, seukuran layar ponsel kita.
Dari penglihatan yang terbatas, kita begitu mudah berasumsi, menghakimi, atau bahkan reaktif menyerang. Semua berawal karena terbawa perasaan tidak puas.
Saat #baper menjadi acuan kita dalam menyikapi kehidupan, ingatkah kita untuk juga “bawa” pikiran kita? Media sosial memberikan begitu banyak stimulus dan informasi yang secara instan memancing reaksi kita, tapi maukah kita meluangkan waktu untuk terlebih dahulu memproses informasi tersebut dalam pikiran kita?
Saat kita enggan untuk memilah pikiran, mungkin tak perlu heran kalau perasaan kita pun selalu tidak karuan.
Hal lain juga yang sepertinya terpupuk oleh kebiasaan kita menyantap content online adalah obsesi akan kesempurnaan – outfit yang onpoint, sisi rumah yang instagramable, dan liburan yang layak disebut travel goals. Kita merasa ada tekanan untuk hanya menunjukkan sisi yang sempurna, seolah itulah satu-satunya sisi yang boleh kita miliki. Alih-alih, kita malah jadi terlalu sadar akan ketidaksempurnaan yang ada,
Nyatanya, hanya sedikit sekali hal yang benar-benar mutlak. Sisanya tergantung pada sudut pandang kita. There are two sides of everything, and there are even more in-between.
Kita kehilangan begitu banyak saat kita memaksakan segalanya masuk ke dalam dua sisi yang berlawanan saja. Sayangnya, inilah kecenderungan yang saya amati semakin meluas terutama pada online content. Di satu sisi, ada absolute negativity – budaya yang menganggap pepatah “nobody’s perfect” perlu selalu dibuktikan, seolah kecerdasan ditentukan oleh kemampuan kita untuk menemukan kesalahan pada apapun yang kita lihat. Di sisi lain, ada absolute positivity – begitu cepat kita menarik silverline pada setiap pengalaman buruk yang dilalui orang lain.
Rentang empati yang kita bisa berikan untuk orang lain jadi hanya sebatas perbendaharaan kutipan-kutipan bijak dan motivational yang kita pernah lihat selintas.
Di antara dua ekstrim inilah apa yang nyata. Let’s share things that celebrate realness. Yang sebenarnya, tidak harus selalu benar.
Jujur dan terbukalah, minimal ke diri kita sendiri. Yang pahit tidak perlu dipaksakan menjadi manis, yang masih tercela tidak perlu dicela, yang berlebih tidak perlu dilebih-lebihkan. Semua pengalaman, baik maupun buruk, membentuk siapa diri kita hari ini.
Setiap orang memiliki ceritanya masing-masing. Cerita saya adalah apa yang sedang kamu baca ini, sementara ceritamu menunggu untuk dituliskan.
Ceritamu penting dan perlu untuk dibagikan. Begitu banyak cerita sukses yang kita dapat temukan, kadang tanpa kita cari. Namun, saat orang lain melihat bahwa kita sedang melalui kesulitan atau tantangan yang mereka juga hadapi, tidakkah cerita itu juga dapat menguatakan, menenangkan, dan membantu mereka?
Mari bagikan content yang tidak melulu memperlihatkan siapa diri kita, melainkan juga content dimana orang lain bisa melihat diri mereka di dalamnya.
Semua pengalaman, baik maupun buruk, membentuk siapa diri kita hari ini.
Mari belajar untuk paham, meski kita tidak selalu tahu.
Setiap orang memiliki ceritanya masing-masing. Cerita saya adalah apa yang sedang kamu baca ini, sementara ceritamu menunggu untuk dituliskan.