Dalam hidup, ada waktunya kita harus diam dan ada waktunya untuk bicara. Terkadang kalau kita terlalu banyak diam, suara yang harusnya dikeluarkan jadi bergemuruh dalam diri. Tapi terkadang kalau banyak bicara juga bisa mengganggu orang lain. Kebutuhan akan diam atau bicara, pada dasarnya harus merujuk pada situasi dan lawan bicara. Saat membaca komentar buruk dari orang asing yang menggunakan internet, misalnya, ada baiknya kita lebih baik diam saja. Membalasnya hanya akan memperpanjang masalah sebab sebenarnya ketika kita diam, itu adalah cara kita untuk bilang, “Bisakah kamu berhenti melakukan itu?”.
Saya juga lebih sering memilih untuk diam saat berargumen atau berdebat dengan orang-orang terdekat. Mendiamkan atau silent treatment mungkin terdengar negatif. Tapi saya sering menemukannya cukup efektif ketimbang harus buang tenaga berteriak atau marah-marah. Saat diam, orang-orang yang mengajak berargumen nantinya bisa lebih sadar dan memikirkan kembali masalahnya. Akhirnya, mereka dapat berlaku seperti yang saya harapan seperti minta maaf atau melakukan sesuatu yang lebih konstruktif untuk menyelesaikan masalah.
Terkadang, semakin banyak yang kita bicarakan bisa membuat kita lebih banyak menyesal. Sebaliknya, saat diam kita sebenarnya memberikan waktu untuk otak untuk berpikir ketimbang menggunakan mulut lebih banyak. Saya sering menyadari bahwa saat kita hanya pakai mulut, bicara terus, otak kita dituntut berpikir lebih cepat dan mengambil keputusan lebih cepat. Padahal, otak punya kapasitas berbahasa. Jadi saat kita bicara terus, otak bisa lelah dan akhirnya bercampur dengan sisi emosional. Nantinya, sisi emosional yang akan mendominasi pikiran rasional dan mendorong tindakan yang sebenarnya kurang membangun.
Terkadang, semakin banyak yang kita bicarakan bisa membuat kita lebih banyak menyesal.
Dengan bicara dan menjawab secukupnya, kita sebenarnya memberikan waktu untuk otak berpikir lebih jernih. Untuk mengolah jawaban apa yang tepat untuk sebuah pertanyaan. Memikirkan dampak dari setiap jawaban yang dilontarkan. Dari ilmu komunikasi, saya belajar tentang komunikasi dua arah. Saat ada pengirim ada penerima pesan dan saat pengirim memberikan pesan, seharusnya penerima bisa diam. Begitu juga sebaliknya ketika penerima merespon, sang pengirim bisa diam lebih dahulu agar tidak terjadi bising di tengah proses berkomunikasi. Dengan diam, kita bisa menghindari kehadiran bising tersebut agar kita juga bisa memelajari dan menganalisa keseluruhan pesan.
Dengan bicara dan menjawab secukupnya, kita sebenarnya memberikan waktu untuk otak berpikir lebih jernih.
Ini sebenarnya selaras dengan lagu terbaru saya, “Diamku Bersuara” yang berisikan suara hati adik saya, sang pencipta lagu. Dalam lagu ini, secara tidak langsung ia menyiratkan bagaimana ia menjaga dirinya agar tidak tersakiti oleh pernyataannya pada orang lain karena takut menerima penolakan. Bagi saya pribadi, membawakan lagu ini tidak berarti saya menunjukkan bahwa saya selalu mendukung atau tidak mendukung seseorang berani menyatakan perasaan atau lebih baik diam.
Saya adalah seseorang yang menghargai setiap keputusan seseorang. Kalau menurut dia perasaannya lebih baik dipendam mengetahui ada konsekuensi yang bisa merugikan orang lain atau diri sendiri, mungkin itu memang harus dilakukannya. Tentu saja dalam diamnya itu, dia juga tetap harus menerima konsekuensi yaitu gejolak yang hidup dalam hati. Di setiap diam ada alasan di baliknya. Bukan berarti orang yang diam adalah orang yang tidak suka kontroversi. Bisa saja orang yang diam itu tahu bahwa perasaan atau pikirannya tidak perlu diperpanjang karena kalau dinyatakan bisa berpotensi jadi masalah. Oleh sebab itu, untuk menyelesaikannya hanyalah dengan membawanya dalam doa dan menjadikannya rahasia di mana hanya dia dan Tuhan yang tahu. Tapi saya juga mendukung orang yang berani menyatakan perasaan. Saya percaya setiap keputusan yang kita ambil pasti ada konsekuensinya.
Di setiap diam ada alasan di baliknya.