Manusia sering merasa cemas, frustrasi, atau marah, terutama saat menghadapi kegagalan karena tidak menyadari bahwa sebenarnya banyak sekali hal dalam hidup yang berada di luar kendali kita. Penyebab kegagalan itu bermacam-macam dan semuanya ada di luar kendali kita. Namun karena kita tidak menyadarinya, jadinya kita terima dengan situasi tersebut. Seringnya kita lebih banyak terjebak pada kepercayaan bahwa “kok bisa gagal sih, padahal kan sudah berusaha keras?” tanpa menyadari bahwa hasil dari segala upaya kita adalah sesuatu yang di luar kendali.
Sebelumnya saya termasuk orang yang cepat cemas, frustrasi, atau marah saat dihadapi pada situasi-situasi tidak mengenakan seperti itu. Namun di satu momen, saya menemukan sebuah ajaran filosofi yang bernama stoisisme – atau yang kemudian coba saya terjemahkan sebagai filosofi teras.
Dalam filosofi teras, ada prinsip yang disebut dikotomi kendali. Yang dimaksudkan di sini, segala hal dalam hidup dibagi menjadi dua: hal yang ada di dalam kendali kita, dan hal yang di luar kendali kita. Hal-hal yang bisa dikendalikan oleh diri kita sendiri hanyalah meliputi pikiran, pertimbangan, opini, tindakan, dan perkataan kita. Di luar itu semuanya merupakan hal yang di luar kendali. Mulai dari cuaca, kondisi ekonomi, siapa presiden kita nanti, sampai hal-hal seperti kekayaan, karir, reputasi, dan kesehatan kita.
Umumnya saat menghadapi kegagalan sangat manusiawi bagi kita untuk merasa marah, sedih, putus asa, dan frustrasi – sebagai reaksi terhadap kegagalan tersebut. Apa yang dikatakan oleh filosofi teras terhadap perasaan atau emosi ini sangat menarik. Bagi filsuf stoic, kegagalan atau peristiwa tidak mengenakan sifatnya netral. Artinya, seharusnya hal-hal tersebut tidak memiliki pengaruh bagi hidup kita karena semuanya merupakan hal di luar kendali kita. Kita tidak bisa mengharapkan kebahagiaan pada hal-hal yang bukan dalam kendali.
Kebahagiaan itu bukan datang dari luar, namun harus datang dari dalam diri.
Dalam filosofi teras, ada ajaran untuk mencintai nasib – amor fati. Prinsip ini lebih dari sekadar ikhlas menerima. Namun dalam prinsip ini kita harus mencintai nasib – baik atau buruk – yang menimpa kita. Para filsuf stoic percaya bahwa alam ini teratur dan ada hukumnya. Termasuk hal yang terjadi dalam hidup kita, tidak terjadi secara spontan. Kalau ada sebuah kejadian, mereka percaya bahwa memang itu sudah jalannya. Kalau sudah jalannya, mengapa disesali.