Pernah nggak lo ngerasa capek banget padahal cuma menjalankan rutinitas seperti biasa? Kalau iya, mungkin lo lagi ada dalam fase burnout.
Delloite melakukan survei mengenai dampak stress berkepanjangan di kantor terhadap 1000 pekerja tetap di Amerika Serikat pada tahun 2015. Berdasarkan survei tersebut, 87% responden menyatakan dirinya passionate terhadap apa yang ia kerjakan, di saat bersamaan 64% diantaranya mengatakan bahwa mereka merasa stress karena pekerjaan. Bahkan 1 dari 3 responden mengungkapkan bahwa dirinya merasa tidak nyaman saat mengambil cuti untuk liburan.
Delloite melakukan survei mengenai dampak stress berkepanjangan di kantor terhadap 1000 pekerja tetap di Amerika Serikat pada tahun 2015. Berdasarkan data tersebut, 1 dari 3 responden mengungkapkan bahwa dirinya merasa tidak nyaman saat mengambil cuti untuk liburan.
Di tahun 2019, WHO mengkategorikan burnout sebagai occupational phenomenon atau fenomena dalam pekerjaan. Burnout didefinisikan sebagai sebuah kondisi yang hadir akibat stress kronis di lingkungan pekerjaan. Meski burnout tidak dikategorikan sebagai sebuah kondisi medis, namun ini menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kondisi kesehatan seseorang.
Ada tiga dimensi yang bisa digunakan untuk mendefinisikan burnout, yaitu:
1. Exhaustion:
Kelelahan berlebih yang dirasakan terus menerus, secara fisik maupun psikis.
2. Cynicism:
Akibat dari kelelahan yang ekstrem, seorang bisa memiliki sudut pandang yang lebih sinis terhadap orang lain dan lingkungan sekitar. Dampaknya juga meliputi perasaan mudah marah serta keinginan untuk menarik diri dari lingkungan sosial.
3. Inefficacy:
Akumulasi stress tersebut lantas berakibat pada penurunan produktivitas hingga kehilangan rasa percaya diri akan kemampuan yang dimiliki.
Saat menghadapi tekanan dalam dunia kerja, lo juga mungkin pernah merasakan salah satu dimensinya. Tapi kalau sudah merasakan ketiganya sekaligus dan dibiarkan begitu saja, ini yang kemudian bisa bikin lo “meledak” dan burnout.
Kalau lo penasaran untuk mengenali lebih lanjut sudah sejauh mana akumulasi stress yang terus menerus menumpuk karena kerjaan, coba cek MBI (Maslach Burnout Inventory). Ini bukan psikotes tapi lebih kepada checklist efek nyata yang bisa terjadi kalau ketiga dimensi tadi dibiarkan begitu saja.
Lalu, apa yang kira-kira bisa kita lakukan untuk mengurangi serta mencegah burnout?
Tanamkan mindset bahwa istirahat bukanlah reward
Tanpa sadar kita sering kali menjadikan istirahat sebagai imbalan dari kerja keras. Misal, “gue baru boleh tidur kalau revisi project A sudah diapprove”. Padahal, tidur itu kebutuhan biologis dasar manusia untuk bisa berfungsi secara optimal.
Pastikan bahwa lo punya waktu tenang
Kasih waktu luang buat diri lo sendiri. Coba niatkan untuk istirahat sejenak dari pekerjaan, bisa dengan jalan pagi, baca buku, nulis jurnal, atau main game sebentar.
Temukan rutinitas yang cocok
Jangan juga memaksakan rutinitas yang memang nggak sesuai sama kebutuhan. Contohnya, mau ambis bangun jam 5 pagi dan mengikuti rutinitas pagi tokoh-tokoh sukses dunia. Kalau ternyata nggak efektif, ya, jangan dipaksa. Coba temuin ritme istirahat yang emang sesuai sama kebutuhan lo.
Punya ambisi dan passionate sama apa yang kita kerjakan dan mimpikan bukan hal yang salah tapi tetap ada batasnya. Identitas diri lo lebih dari sekedar jabatan yang lo punya di kantor.
Butuh perjuangan untuk bisa sampai ke titik sukses yang memang kita mau. Tapi kita juga tetap harus cerdas dalam menjaga bahan bakar dalam diri untuk bisa terus berjalan sampai akhir.
Perkembangan teknologi yang sudah semakin canggih pada dasarnya dimaksudkan untuk memudahkan kita dalam beraktivitas dan bekerja. Artinya, tentu ada target-target baru yang butuh dicapai karena kemudahan dan inovasi yang hadir hingga berujung pada siklus kerja yang tidak berkesudahan. Maka, kita yang harus mengambil kendali dan meluangkan waktu untuk beristirahat dan bernapas sejenak.