Sejak duduk di bangku sekolah, saya sering dipanggil ‘anak mami’ karena begitu rajinnya orangtua – terutama ibu, dalam ikut andil di urusan persekolahan. Mulai dari ikut jadi anggota POMG (Perkumpulan Orangtua Murid & Guru – red.) hingga muncul di berbagai acara sekolah dengan dalih mendukung anaknya. Ya, awalnya mungkin di zaman SD hingga mulai awal SMP semuanya terasa normal saja. Tapi begitu sudah menginjak masa SMA, saya mulai berpikir “Kok kayaknya mulai nggak lucu ya?”
Akhirnya, saat SMA dulu saya mati-matian memilih universitas yang ada di luar kota hanya agar bisa tinggal seorang diri dan berpisah dengan keluarga. Demi bisa melepas label ‘anak mami’ itu dengan membuktikan diri pada semua orang bahwa saya bisa mandiri. Untungnya, saat itu saya diterima di sebuah institut di Bandung dan jadilah untuk beberapa lama saya tinggal sendiri di kota itu.
Selama tiga tahun, semua bayangan tentang hidup mandiri (gaya anak-anak di barat sana yang didapatkan hasil menonton film dan serial TV) benar-benar terwujud. Mau bangun siang, suka-suka saya. Mau pulang malam, terserah saja. Mau bawa teman sampai pacar ke dalam kamar, tidak apa-apa.
Sekembalinya ke Jakarta untuk bekerja, saya dihadapkan pada pilihan untuk terus menjalani hidup sendiri atau kembali ke rumah bersama orangtua. Saat itu, orangtua yang ada di rumah tinggal lah ibu saya seorang diri. Meski hanya ibu seorang, namun tetap saja ia menjadi sosok ‘superior’ di rumah dengan aturan-aturannya harus dituruti. Dan saya yang sudah bertahun-tahun menjalani hidup dengan segala kebebasannya pun mendadak terasa terpenjara.
Beberapa tahun kami lewati dengan penuh gejolak. Saya yang merasa sudah dewasa berkeinginan untuk keluar dari rumah dan tinggal sendiri sementara ibu saya melarang dengan alasan buat apa pisah kalau masih ada keluarga di kota yang sama. Bukan hanya sekali dua kali kami beradu argumen mengenai masalah ini.
Rasanya ibu saya mengalami Empty Nest Syndrome layaknya induk burung yang anaknya mulai meninggalkan sarangnya. Umumnya orangtua yang dilanda sindrom ini mendapat perasaan-perasaan sedih yang muncul secara psikologis karena ‘kehilangan’ anaknya yang hendak meninggalkan mereka. Dari sana lah lalu muncul alasan-alasan kurang logis yang sebenarnya hanya jadi rengekan mereka agar anaknya tidak pergi. Padahal saya tahu persis, saat itu saya sudah cukup dewasa untuk terbang meninggalkan sarang.
Tapi kemudian saya berpikir, apa memang benar-benar saya perlu keluar dari rumah dan tinggal sendiri? Jangan-jangan ini hanya bentuk aktualisasi diri – tak lebih dari sebuah simbolisasi. Atau jangan-jangan hanya karena norma di masyarakat yang menganggap pria dewasa adalah mereka yang sudah lepas dari orangtuanya.
Menjadi dewasa pada akhirnya bukan perkara meninggalkan orangtua dan memulai hidup sendiri. Menjadi dewasa adalah bagaimana kita bisa mengambil tanggung jawab lebih dalam hidup.
Walau usia saya sudah pantas untuk dapat tinggal sendiri, namun pada akhirnya saya memutuskan untuk tetap bersamanya bukan semata-mata karena tidak mandiri namun karena ingin bertanggungjawab pada ia yang telah membesarkan saya. Jika dulu saat masih muda dan keras kepala, mungkin tinggal bersama orangtua lebih banyak bertengkarnya. Namun pada akhirnya semakin dewasa saya pun semakin sadar bahwa yang ada malah sebaliknya. Ada waktu di masa lalu yang hilang yang ingin dibayarkan – yang dulunya hanya diisi dengan perdebatan. Kini lebih baik saya menghabiskan waktu dengan orangtua, karena membiarkannya seorang diri malah hanya membuat hati tak tenang.