Personal branding. Tampak bukan lagi menjadi istilah yang asing untuk mereka para konsumen media sosial sejati. Apalagi semenjak berjamurnya istilah influencer, selebgram, dan YouTuber. Personal branding seakan menjadi strategi jitu semua orang untuk membuktikan eksistensi di dunia maya. Tapi banyak orang yang seringkali salah mengartikan personal branding dan tanpa sadar justru melakukan pencitraan. Satu dan lain hal, fenomena ini terjadi karena para figur media sosial ini lupa bahwa sebenarnya mereka bukanlah sebuah produk dan justru terjebak dalam manipulasi diri.
Personal branding sama artinya dengan mempromosikan diri sendiri (promote yourself), mempromosikan apa adanya diri (promote your true self) atau yang terakhir adalah mempromosikan versi yang lebih baik dari apa adanya diri (promote a better version of your true self). Sehingga personal branding sebenarnya berbicara tentang diri kita yang tidak dimanipulasi. Tentang keaslian diri kita. Hasilnya personal branding menjadi kuat ketika kita tidak menutupi atau harus menutupi apa adanya diri secara paksa. Ketiga pengertian personal branding ini masih berhubungan dengan diri kita. Meski pengertian terakhir adalah untuk mempromosikan versi yang lebih baik, tapi sama sekali tidak mengubah diri secara paksa atau berseberangan dengan apa yang dipercaya.
Personal branding sebenarnya berbicara tentang diri kita yang tidak dimanipulasi. Tentang keaslian diri kita.
Sedangkan belakangan banyak figur yang justru memiliki kecenderungan melakukan pencitraan alih-alih personal branding. Idealisme dalam dirinya sudah bergeser dari pengerti your true self atau mempromosikan diri yang sebenarnya. Contohnya ketika seseorang aslinya A tapi dia membentuk dirinya B lalu yang dipersepsikan orang tentang dia adalah B maka orang tersebut sudah mempraktikkan pencitraan. Dia tidak lagi menunjukkan keasliannya. Misalnya ada seorang influencer yang diminta untuk mempromosikan produk perawatan kulit. Tetapi secara tidak sadar seringkali dia menampilkan sisi yang berkebalikan dari apa yang dia tampilkan melalui produk tersebut. Pada salah satu media sosialnya dia bilang sedang tidak mandi tiga hari. Di akun yang sama dengan konten berbeda dia menuliskan bahwa dia melakukan perawatan secara rutin pun menjunjung kebersihan. Inilah tanda bahwa true self (gambaran diri sendiri) sudah tidak sejalan dengan perceived image (gambaran yang ditampilkan). Gambaran diri yang sebenarnya sudah bergeser.
Harus diakui, berbagai model bisnis di dunia modern seperti sekarang ini memang membutuhkan personal branding. Masyarakat terlihat tertarik pada kisah di balik produk itu sendiri bukan sekadar melihat kemasan produk saja. Ada sebagian orang yang mengekspos produknya saja. Ada orang yang menjadikan dirinya produk. Yang menjadikan dirinya produk biasanya berpikir bahwa personal branding adalah keharusan. Tapi kalau yang menonjolkan produk apakah kemudian tidak harus melakukan personal branding jawabannya adalah ya atau tidak. Saya melihat beberapa konsumen membutuhkan nyawa di belakang produk itu sendiri. Contohnya produk kopi. Di mana-mana kopi jenis tertentu ada di tengah-tengah masyarakat. Yang menjadi penentu adalah adanya keterlibatan antara konsumen dan produk tersebut di mana sang figur di balik produk tersebutlah menjadi jembatan antara konsumen dan produk.
Masyarakat terlihat tertarik pada kisah di balik produk itu sendiri bukan sekadar melihat kemasan produk saja.
Saya punya seorang kenalan yang membuat produk gluten free untuk anaknya yang autis. Awalnya tidak untuk dijual tapi ketika dia posting di media sosial banyak orang yang membutuhkan dan akhirnya dia menjual produk tersebut. Padahal dia sangat anti untuk mengekspos dirinya sendiri. Akan tetapi banyak orang yang bertanya akan jaminan produk tersebut dan secara tidak sadar dia melakukan personal branding karena harus menceritakan pengalaman pribadinya agar orang percaya. Akhirnya produknya terjual karena ada cerita di balik produk yang berasal dari personal branding sang penjual. Inilah yang membuat produknya membutuhkan sebuah persona untuk kebutuhan eksposur.
Perlu kita akui juga bahwa personal branding sendiri tidak hanya terjadi di dunia bisnis tapi di dunia sosial kemasyarakatan. Kini banyak orang yang terpengaruh oleh para figur media sosial tersebut dan seakan-akan membuat mereka terdorong untuk melakukannya. Biasanya orang awam yang berupaya keras untuk menunjukkan dirinya sendiri memiliki kebutuhan untuk ingin dilihat seperti apa kehidupannya. Ukurannya adalah jumlah follower. Zaman sekarang follower seakan-akan menjadi mata uang, menjadi salah satu reward dalam pergaulan sosial. Ketika mereka berkumpul di kelompoknya pertanyaan “Berapa follower Instagram kamu?” menjadi tekanan untuk mereka yang tidak memiliki banyak pengikut sehingga mereka pun mulai membentuk image agar dipandang oleh lingkungan sosialnya.
Lama kelamaan pun personal branding yang mengarah ke pencitraan akan menjadi amat melelahkan bagi seseorang. Orang yang tidak hidup dalam realitasnya, memiliki topeng yang berlapis — itu melelahkan. Jadi ujung-ujungnya bukan hanya dia tidak mengenal dirinya siapa tapi cara hidupnya juga akan semakin melelahkan karena semuanya harus pakai topeng, semuanya harus dipoles dan dibungkus. Lama kelamaan dia akan berubah menjadi orang yang tidak menikmati hidup, tidak bisa santai dan tidak memahami apa yang sebenarnya diinginkan.
Orang yang tidak hidup dalam realitasnya, memiliki topeng yang berlapis — itu melelahkan.