Salah satu cara terbentuknya perilaku adalah dari informasi yang kita tangkap kemudian menjadi mindset. Kemudian konsep yang membentuk mindset itulah yang termanifestasi pada perilaku. Akan tetapi terdapat dua jenis informasi yang membentuk konsep itu sendiri yaitu informasi terpapar secara sengaja dan tidak. Informasi yang tidak sengaja terpapar adalah ketika kita menemukan sebuah fenomena di depan mata kita sendiri lalu kita mengolahnya menjadi mindset seperti saat melihat kecelakan di hadapan kita. Sedangkan informasi yang sengaja dipaparkan adalah pesan yang diinginkan pihak lain untuk kita percayai. Contohnya saja ketika kita kecil, kita memercayai ibu kita adalah ibu yang sekarang kita kenal karena adanya pemaparan informasi dari kecil bahwa beliau adalah ibu kita.
Nah, sekarang coba bayangkan jika pemaparan tersebut secara sengaja diputar-balikan. Ibu yang kita kenal ternyata adalah tante kita, misalnya. Kemudian secara terus-menerus berita itu dikumandangkan pada kita. Kemudian kita pasti jadi bertanya-tanya apa benar beliau adalah ibu kita atau tante kita. Semakin lama semakin mencoba meyakinkan diri tentang informasi yang didapat. Penerimaan konsep atau ide-ide baru yang belum dibuktikan secara nyata inilah yang bisa dikatakan hoax atau berita bohong.
Sudah sering pasti kita dengar soal berita bohong yang marak diberitakan di berbagai media. Bahkan sudah terdapat hukum yang berlaku untuk para penyebar kabar bohong ini. Secara sederhana, hoax adalah berita palsu yang dibuat secara sengaja dengan beragam tujuan mulai dari sekadar iseng hingga diniatkan untuk kejahatan termasuk pembentukan opini baru, penghasutan, framing atau propaganda politik. Tipis sekali memang dampak negatif yang akan terlihat secara kasat mata. Dalam hati kita bilang: “Ah, cuma hoax. Tidak akan berpengaruh apa-apa.” Padahal dampak negatif dari hoax dapat menjadi seperti bola salju yang terus membesar dan membahayakan apabila tidak diperangi.
Dampak negatif dari hoax dapat menjadi seperti bola salju yang terus membesar dan membahayakan apabila tidak diperangi.
Utamanya, peningkatan skeptisme adalah dampak negatif yang dapat menuntun pada menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada satu hal misalnya pada pemerintah atau figur politik. Kebencian pun akan tersebar dan memicu terjadinya kekerasan (baik fisik atau verbal). Paling parahnya lagi adalah kemungkinan adanya disintegerasi bangsa atau perpecahan akibat menurunnya tingkat saling menghargai, kejujuran dan penerimaan perbedaan antar individu dan kelompok. Kemudian, ketakutan juga akan mulai berkembang dalam diri individu itu sendiri. Kita bisa saja jadi menempatkan orang lain jadi musuh, menjadi pribadi yang sensitif, paranoid, cepat cemas dan bahkan membuat khayalan yang tidak nyata. Misalnya dalam kajian politik adalah munculnya kepercayaan bahwa pemerintah mencurangi masyarakat.
Generasi yang lebih matang mungkin sudah bisa mulai berpikir secara kritis dan bisa memilah informasi, lebih selektif dalam mengkonsumsi data atau pesan tertentu. Akan tetapi generasi muda – yang masih mencari jati diri, dapat mempercayai apa yang mereka anggap benar tanpa adanya panduan lebih lanjut sehingga otak mereka mudah tercuci dengan berita bohong tersebut. Alhasil akan terjadi kebingungan dan krisis identitas pada diri mereka sendiri. Masalah hoax ini pun timbul dan membentuk perilaku mereka dari perjalanan eksplorasi internet mereka sendiri. Kita sudah paham pasti cara main media sosial adalah adanya algoritma yang membuka konten-konten tertentu sesuai dengan minat sang pengguna akun. Itulah yang dapat berbahaya. Para generasi muda hanya akan menerima informasi yang sesuai dengan minat mereka saja sehingga mulailah proses pencucian otak tersebut (secara tidak sadar).
Generasi muda yang masih mencari jati diri dapat mempercayai apa yang mereka anggap benar tanpa adanya panduan lebih lanjut sehingga otak mereka mudah tercuci dengan berita bohong.
Itulah pentingnya mengapa para generasi muda harus dinutrisi oleh para orang tua sejak dini sehubungannya dengan tanggung jawab moral mereka pada Tuhan, masyarakat dan budaya bangsa. Sehingga untuk berbuat jahat, menyebarkan atau mempercayai hoax, mereka akan berpikir berkali-kali karena kuatnya mental mereka pada sesuatu yang benar, selalu berpikir kritis dan objektif. Penanaman esensi-esensi inilah yang membantu mereka untuk tidak mudah terpengaruh pada berita bohong. Namun tentu saja tidak hanya para generasi muda yang harus diperhatikan tetapi juga diri kita masing-masing yang berasal dari generasi sebelumnya. Kita harus memperkaya mindset dengan berbagai referensi yang luas untuk menjadi pribadi yang berpemikiran luas dan kritis. Kita harus memahami bahwa sebuah bangsa yang berbudaya adalah bangsa yang memiliki masyarakat dengan daya baca yang tinggi. Tidak hanya terpaku pada satu sumber saja tetapi memiliki keinginan untuk menggali lebih dalam sehingga dapat lebih bijaksana dalam menyimpulkan suatu pemaparan.
Kita harus memperkaya mindset dengan berbagai referensi yang luas untuk menjadi pribadi yang berpemikiran luas dan kritis.