Saya adalah manusia yang sangat anti mainstream. Salah satunya soal berpikir kritis. Menurut saya, masyarakat Indonesia belum banyak dilatih untuk berpikir kritis dan ini sering berhubungan dengan perilaku “nggak enak-an”. Melatih diri untuk bisa berpikir kritis memang tidaklah mudah. Tapi sekali mencoba menerapkannya, kita bisa memahami bagaimana berhadapan dengan orang yang berbeda.
Saya selalu bicara to the point. Baik dalam pekerjaan maupun pergaulan saya tidak suka basa-basi. Saya hargai waktu saya dan lawan bicara, karenanya saya tidak suka membuang waktu kita semua. Sayangnya, sikap seperti ini seringkali diartikan judes atau galak. Although, honestly, it’s their problem, never mine. Perilaku yang blak-blakan dan to the point adalah cara saya untuk lebih produktif dan efektif.
Perilaku yang blak-blakan dan to the point adalah cara saya untuk lebih produktif dan efektif.
Di keluarga, saya juga dibesarkan dengan kebiasaan tersebut. Di pekerjaan pun saya diharuskan menerapkan perilaku itu karena bekerja sebagai wartawan, saya harus menjaga efektivitas antara informasi yang dicari dan durasi waktu yang dimiliki. Kalau tidak, saya merasa tidak akan mendapat informasi apa-apa. Ternyata terbiasa menjaga efektivitas waktu dan informasi terpakai di kehidupan sehari-hari. Saya semakin menyadari bahwa waktu adalah aset yang paling berharga dari setiap manusia. Kita semua punya jadwal masing-masing sehingga harus selektif dalam memilih mana yang bisa kita hemat waktunya mana yang tidak. Jangan sampai kita membuang waktu kita sendiri dan waktu orang lain.
Kita semua punya jadwal masing-masing sehingga harus selektif dalam memilih mana yang bisa kita hemat waktunya mana yang tidak. Jangan sampai kita membuang waktu kita sendiri dan waktu orang lain.
Sebenarnya, saya gampang kepikiran. Menurut saya, saya adalah pendengar yang baik. Saking baiknya saya akan kepikiran dengan apa yang diceritakan. Saya jadi harus membatasi apa yang perlu didengar dan diperhatikan. Dengan begitu, saya juga bisa menyaring hal-hal yang harus dan tidak saya berikan perhatian ekstra. Meskipun tegas dan saklek, saya selalu berprinsip semua bisa didiskusikan.
Seringkali kolega yang belum terbiasa dengan perilaku saya, merasa terintimidasi. Jika itu terjadi, saya tidak pernah mau ambil pusing. Bukan tugas saya untuk membenahi perasaan mereka. Tugas saya adalah menjadi diri sendiri, apa adanya. Menurut saya, kita sebaiknya lebih banyak menggunakan pikiran ketimbang perasaan ketika berkomunikasi dengan orang lain. Tidak semua hal sebaiknya dibawa ke hati. Apalagi kalau konteksnya adalah profesional. Biasanya dengan narasumber, saya sudah memberitahu terlebih dahulu pola diskusi kami. Saya akan bilang bahwa durasi yang dimiliki tidak banyak sehingga lebih baik jawabannya fokus pada inti diskusi. Kalau tidak, pesannya tidak akan sampai dan akan merugikan pihak narasumber juga.
Tidak semua hal sebaiknya dibawa ke hati. Apalagi kalau konteksnya adalah profesional.
Salah satu tujuan saya bersikap tegas juga agar orang lain tidak meremehkan saat saya berbicara. Berapa kali dalam hidup ketika kita sedang bicara, lawan bicaranya malah sambil lihat handphone, berbicara dengan orang lain, atau paling parah, melamun. Saya ingin memastikan setiap kali saya bicara, semua orang dengar dan memperhatikan. Dalam konteks membawakan sebuah acara, misalnya, kami hanya punya waktu beberapa jam dari 24 jam yang dimiliki partisipan. Dalam acara tersebut, saya bertugas untuk menyampaikan sesuatu sehingga partisipan perlu untuk menghargai yang saya kemukakan. Jadi, semua orang bisa belajar untuk menghormati orang lain juga sebab semua orang layak dihormati.
Tidak berbeda di pergaulan. Saya kurang suka ketika sahabat saya sedang cerita tapi tidak langsung ke intinya. Dia sering banget kesal karena saya suruh dia untuk langsung ke inti. Tapi menurut saya, dengan dia bisa bicara langsung ke topik pembicaraan kita bisa langsung mencari solusi atas masalah yang dialaminya. Banyak orang ketika ngobrol lebih condong berputar-putar pada masalah. Tapi bukan tidak mungkin suatu hari nanti saya berubah. Sekarang saya masih terus berproses. Mungkin kalau punya keluarga saya bisa lebih tenang dan sabar. Sekarang momen saya untuk memprioritaskan diri sendiri. Kalau orang lain tidak suka dengan sikap saya, itu bukan urusan saya. Hidup itu sebentar dan sebaiknya kita menggunakan waktu untuk hal-hal yang benar-benar signifikan.
Hidup itu sebentar dan sebaiknya kita menggunakan waktu untuk hal-hal yang benar-benar signifikan.