Apakah kamu bahagia?
Sebuah pertanyaan yang cukup sederhana, tapi kadang sulit dijawab. Mungkin karena kita tidak begitu paham dengan ukuran kebahagiaan, dan kita hidup dalam dunia yang menyerukan ketidakpuasan.
Selalu saja ada yang kurang atau tidak ideal dalam hidup kita. Ketika kita punya motor, kita mendambakan mobil. Sudah bekerja, tapi kita ingin mendapat beasiswa S2 ke luar negeri seperti teman
Tidak ada yang salah dengan mimpi. Namun berhasil menggapai mimpi – bagi saya pribadi, juga bukan ukuran kebahagiaan. Selepas meraih mimpi yang satu, muncul mimpi yang baru. Begitu seterusnya, tak akan usai.
Jangan khawatir, saya tidak sedang menghakimi siapapun. Saya sedang bercerita tentang diri saya sendiri yang lampau.
Saya selalu berpikir, “Bagaimana caranya untuk bahagia?” – mungkin pengaruh dari segala bacaan dan rekaman pembicara yang sering saya tonton. Saya kemudian tumbuh dengan berpikir bahwa menjadi bahagia adalah tujuan hidup.
Tapi apakah menjadi bahagia adalah jawabannya? Entahlah. Saya jauh merasa content atau cukup justru ketika saya tak lagi memikirkan ‘bagaimana cara menjadi bahagia’ atau ‘apakah saya cukup bahagia dengan ini semua?’. Semua justru berubah ketika saya tak lagi memedulikan itu semua. Ketika saya berdamai dengan diri saya dan bisa mengatakan cukup. Rasa berkecukupan yang datang bukan dari kelimpahan, tetapi dari contentment. Tak ada yang kurang, hingga perlu ditambah. Namun tak juga melimpah hingga harus memikirkan bagaimana agar tidak meluber kemana-mana. Hanya sekadar cukup.
Bersyukur adalah sebuah keputusan. Tulisan ini hanyalah sebuah refleksi – bukan untuk mengajari siapapun, pengingat untuk diri saya. Saya paham bahwa setiap orang berada pada posisi dan situasi yang berbeda, dan mungkin tidak semua bisa bersyukur untuk apa yang ada saat ini.
Namun, saya percaya bahwa bersyukur adalah sebuah keputusan. Ia bukan datang dari hasil kesuksesan ataupun pencapaian, apalagi dari materi yang kita miliki. Ia ada dalam hati kita saat ini – dan kita tidak akan pernah menemukannya jika kita tidak secara intensional memutuskan untuk bersyukur.
Tidak perlu mencari kemana-mana, it is in your heart right now.
Jika belum mampu berdoalah agar dimampukan.
Jika belum bisa menemukannya, berdoalah kepada Tuhanmu agar engkau dimampukan untuk bersyukur, agar engkau bisa melihat apa yang sebelumnya tak tampak, agar engkau bisa peroleh kebijaksanaan untuk menghargai apa yang ada dan bisa menemukan rasa cukup bahkan dari hal-hal yang selama ini tampak begitu sederhana.
Begitu banyak waktu kita habiskan untuk memikirkan apa yang kurang, hingga tak lagi tersisa waktu untuk mensyukuri apa yang kita miliki selama ini. Mudah memang bersyukur ketika segala sesuatunya baik-baik saja, but good can be found even in the worst of time. Itu hanyalah perihal perspektif.
Bukan rasa bahagia yang membuat kita perlu bersyukur. Namun rasa syukurlah yang membuat kita bahagia.
Mampukah kita untuk bersyukur saat ini dan memaknai kecukupan dari kacamata yang berbeda?
Jika belum, berlatihlah dan berdoa. Butuh waktu, namun kita akan sampai di sana – jika kita bersungguh-sungguh dan berserah.