Doa adalah satu-satunya senjata yang kita punya untuk bertahan dari berbagai ujian hidup. Saya ingat dulu salah satu guru saya pernah berkata bahwa lewat doa manusia bisa mengetuk pintu langit, menumbuhkan gunung, bahkan menyelam dasar lautan. Kita bisa menyebrangi dimensi dengan berdoa. Namun terkadang kita sombong untuk tidak berdoa, tidak meminta. Seakan kita sudah bisa melakukan apapun di dunia ini sendirian. Padahal doa adalah kekuatan terbesar kita.
Doa adalah satu-satunya senjata yang kita punya untuk bertahan dari berbagai ujian hidup.
Memang, kenyataannya doa dan realitas yang diharapkan lebih sering tidak berbanding lurus. Ketika kita minta sepatu, Tuhan justru memberikan pekerjaan. Tapi inilah pelajaran yang harus kita tekuni agar bisa melewati sekolah kehidupan dan layak mendapatkan “kelulusan” dari-Nya. Tapi jangan dulu langsung berpikir bahwa hadiah kelulusan yang diberikan akan sama persis dengan apa yang diminta. Tidak semua yang diminta baik untuk hidup kita. Tuhan mendengar apa permintaan kita, tapi seringnya kita tidak tahu apa yang dibutuhkan.
Jadi sebenarnya kita berdoa bukanlah sekadar mendaraskan permintaan saja. Seharusnya setelah meminta kita pun menyatakan betapa berserahnya kita pada kehendak Tuhan. Doa adalah bukti bahwa kita tidak punya apa-apa di dunia ini. Doa juga bukti kita berserah diri dan menyerahkan sepenuhnya pada sang pemberi kehidupan. Tentu saja setelahnya harus diikuti dengan kewajiban kita untuk berupaya. Kalau tidak sudah pasti tidak akan terjadi apa-apa dalam hidup. Namun semua kembali pada-Nya.
Doa adalah bukti bahwa kita tidak punya apa-apa di dunia ini. Doa juga bukti kita berserah diri dan menyerahkan sepenuhnya pada sang pemberi kehidupan.
Saya percaya bahwa saat berdoa sebaiknya kita menyampaikan sesuatu yang betul-betul personal. Jika bisa didoakan secara kolektif bersama keluarga karena di saat itulah kekuatan doa semakin besar. Keluarga menjadi faktor penting dalam terwujudnya harapan-harapan kita. Saya meyakini apabila kita ikut mendoakan apa yang orang lain inginkan, kebaikan akan kembali ke diri sendiri. Nantinya, kekuatan doa yang disampaikan bersama-sama oleh sebuah keluarga bisa meluas ke lingkup masyarakat bahkan negara.
Di masa pandemi ini kita sebenarnya diingatkan kembali untuk berdoa, bersyukur dengan apa yang masih kita miliki sampai saat ini. Sebelum pandemi, kita mungkin melupakan betapa rumah adalah tempat kita memupuk mimpi. Ia adalah tempat doa-doa dipanjatkan. Namun seringkali kita hanya menjadikannya tempat singgah. Kita melupakan detail-detail kehidupan yang terjadi di rumah. Kini di masa pandemi, rumah menjadi tempat ternyaman. Saya kembali bisa merasakan momen di pagi hari ketika anak-anak sarapan nasi goreng yang dibuatkan istri. Hal-hal yang dulu sempat sirna sekarang bisa kembali dilakukan. Sekarang jika kita masih bisa berkumpul bersama keluarga dalam keadaan sehat, itu sudah luar biasa sekali. Tidak semua orang merasakan kemewahan tersebut.
Di masa pandemi ini kita sebenarnya diingatkan kembali untuk berdoa, bersyukur dengan apa yang masih kita miliki sampai saat ini.
Di masa pandemi ini saya juga merasa seakan diingatkan kembali ada detail-detail kehidupan yang menguatkan diri. Salah satunya adalah detail kehidupan saya di masa kecil. Saya kebetulan dibesarkan di keluarga yang sering mendapatkan ujian. Saya masih ingat bagaimana sepatu seakan menjadi harta karun. Meminta sepatu baru pun sulit. Setiap kali meminta pada mama, beliau menjawab, “Sabar ya, pakai punya kakak dulu saja.” Sepatu seolah menjadi doa di setiap pagi yang saya habiskan waktu itu. Lambat laun, saya pun menyadari bahwa ternyata di sepasang sepatu terselip sebuah harapan, mimpi seorang anak. Suatu kali, saat saya dan keluarga tinggal di Jakarta, istri saya mengantar anak sekolah dan melihat seorang anak yang memakai sandal ke sekolah. Ia menganggapnya sebagai sepasang sepatu. Dengan hati riang dan wajah penuh senyum, ia melangkah dengan alas kaki itu ke sekolah.
Banyak anak-anak kurang beruntung tapi mereka merasa baik-baik saja. Mereka tetap merasa bahagia dengan kondisinya. Sementara saya pernah melihat anak-anak yang diantar ke sekolah dengan mobil dan supir tapi wajahnya murung. Kedua kondisi ini cukup menggambarkan kehidupan kita dewasa ini. Terkadang kita kurang bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki. Tetap mengeluh dan murung pada kehidupan meski sebenarnya situasi kita lebih beruntung dari orang lain.
Refleksi-refleksi kehidupan yang berasal dari berbagai perjalanan kehidupan saya adalah inspirasi dibalik lagu “Doa Pagi Ini”. Saya menyadari bahwa kita bisa memulai pagi dengan hal yang amat sederhana tapi sangat ampuh menguatkan diri seharian yaitu berdoa. Memulai pagi dengan berdoa sama halnya seperti memulainya dengan harapan dan mimpi-mimpi kecil. Inilah yang kita perlukan setiap hari. Inilah yang anak-anak kita harus lakukan setiap pagi agar mereka bisa membawa mimpi di sepanjang harinya.
Memulai pagi dengan berdoa sama halnya seperti memulainya dengan harapan dan mimpi-mimpi kecil.