Suatu hari saya membeli buku berjudul Just Breathe yang ditulis oleh Dan Brule. Lalu salah satu teman kerja saya bertanya, “Seberapa kurang kerjaannya kamu untuk belajar bernapas? Bukannya kita setiap hari sudah bernapas dengan sendirinya? Buat apa belajar bernapas lagi?” Pertanyaan dia itu sebenarnya menjadi pertanyaan banyak orang yang belum tahu seberapa berpengaruhnya cara kita bernapas pada kehidupan sehari-hari. Padahal ritme bernapas kita bisa memengaruhi emosi yang ada di dalam diri, serta ritme bernapas sehari-hari yang tidak kita sadari sesungguhnya “memberitahu” kondisi batin dan tubuh kita saat itu.
Padahal ritme bernapas kita bisa memengaruhi emosi yang ada di dalam diri, serta ritme bernapas sehari-hari yang tidak kita sadari sesungguhnya “memberitahu” kondisi batin dan tubuh kita saat itu.
Banyak orang belum mengetahui bahwa tubuh kita sesungguhnya menyimpan perjalanan hidup kita, bahkan dari saat masih menjadi janin. Berbagai peristiwa yang terjadi secara langsung memengaruhi tubuh kita, termasuk ritme bernapas. Menariknya, saya sendiri pernah memperhatikan ritme napas saya, dan menyadari bahwa meski saya dalam lingkungan yang nyaman dan tenang, tubuh saya masih terjebak pada sebuah peristiwa di masa lalu dan “mengira” bahwa saya masih berada dalam kondisi yang tidak aman atau stressful.
Lalu, bagaimana cara kita mengubah kondisi tubuh dan batin kita hanya dengan bernapas? Pertama-tama, perlu diketahui bahwa tubuh kita memiliki saraf simpatetik dan parasimpatetik. Kedua sistem saraf tersebut berhubungan dengan batin dan tubuh kita. Saraf simpatetik teraktivasi saat kita merasa sedang berada dalam situasi bahaya (fight or flight) atau memerlukan aktivitas fisik dan mental. Pola napas kita pun menjadi pendek dan cepat agar tubuh kita mendapatkan energi sebanyak-banyaknya. Bayangkan misalnya kita sedang dikejar singa. Kita akan merespon kejadian tersebut dengan dua pilihan; melawan (fight) atau lari (flight). Dalam kondisi tersebut tentu saja memengaruhi pola bernapas kita; napas kita akan terengah-engah saat berlari atau melawan sehingga tidak mungkin bernapas dengan tenang dan panjang. Yang kedua adalah saraf parasimpatetik yang teraktivasi saat kita merasa dalam situasi yang tenang dan nyaman. Biasanya saat berada dalam situasi ini, helaan napas kita akan lebih panjang dengan ritme yang lebih pelan. Singkatnya kondisi emosi dapat memengaruhi pola napas kita. Menariknya, hal ini dapat terjadi secara dua arah di mana kita dapat mengubah emosi dengan mengubah pola napas, asalkan kita bernapas dengan kesadaran penuh (conscious breathing). Seakan kita seperti punya “tongkat ajaib” yang dapat mengubah batin kita agar lebih tenang dengan bernapas secara sadar (conscious breathing).
Situasi krisis yang sedang kita hadapi saat ini tentunya memengaruhi kondisi batin. Berbagai berita yang dilihat dan dengar memberi informasi bahwa kita sedang berada dalam kondisi bahaya. Emosi seperti takut, resah, dan cemas bermunculan sehingga tubuh kita pun tanpa sadar berada dalam mode fight or flight. Hal ini tentunya memengaruhi ritme bernapas Jika kita tidak mempunyai kesadaran akan hal ini, akan mudah bagi kita terjebak di dalam mode fight or flight yang berdampak pada tingkat kecemasan yang tinggi hingga mempengaruhi kondisi tubuh. Dengan bernapas secara sadar kita dapat memberi sinyal pada tubuh dan batin bahwa kita baik-baik saja dan berada dalam kondisi yang aman. Saat membutuhkan kondisi relaks dan nyaman, kita dapat memusatkan perhatian pada hembusan napas (exhale). Hembuskan napas lebih panjang dari tarikannya, dan berikan kesadaran penuh saat menghembuskannya dengan perlahan. Jika mau, kita bisa menghembuskan napas melalui mulut secara perlahan.
Dengan bernapas secara sadar kita dapat memberi sinyal pada tubuh dan batin bahwa kita baik-baik saja dan berada dalam kondisi yang aman.
Bagi yang memiliki kekhawatiran tinggi dengan kondisi saat ini, bisa menarik napas selama 4 detik dan menghembuskannya selama 8 detik. Hal ini bertujuan untuk mengaktifkan parasimpatetik agar tubuh dan batin lebih tenang, relaks, dan dapat beristirahat. Kuncinya adalah napas dengan kesadaran penuh dengan hembusan yang lebih panjang dari tarikan nafas. Jika ingin merasa lebih seimbang dan tenang dalam kondisi sehari-hari, kita dapat melakukan Coherent Breathing. Caranya adalah dengan menarik napas selama lima detik, menghelanya selama lima detik selama lima menit, dan jika bisa dilakukan tiga sampai lima kali sehari. Dengan memiliki proporsi tarikan dan helaan napas yang sama kita bisa menyeimbangkan sistem saraf simpatik dan parasimpatik kita.
Napas juga merupakan jembatan ke alam batin sehingga kita bahkan dapat “mengundang” perasaan yang ingin dimiliki melalui tarikan dan hembusannya. Saat menarik napas, dalam hati kita dapat mengucapkan kata “Peace” atau “Thank you” dan saat menghela napas mengalirkannya ke seluruh tubuh. Jika tertarik dapat mencobanya bersamaan dengan teknik bernapas di atas tadi. Jadi bernapas dengan sadar sangatlah penting supaya kita dapat mengendalikan sistem saraf dan tentunya pikiran serta batin. Ketika mengambil napas sebenarnya kita sedang mengaktivasi sistem simpatetik dan saat menghela napas kita mengaktivasi parasimpatetik. Dengan pemahaman dasar ini kita bisa memahami kapan harus mengambil napas dengan cepat atau menghela napas lebih panjang. Dengan menyadari setiap tarikan dan helaan nafas kita bisa lebih mudah memberikan sinyal pada tubuh untuk mengelola emosi pada kejadian tertentu. Bernapas secara sadar adalah salah satu bentuk komunikasi kita pada tubuh, batin, dan pikiran.
Bernapas secara sadar adalah salah satu bentuk komunikasi kita pada tubuh, batin, dan pikiran.
Selamat mencoba.