Kreativitas dan imajinasi seringkali dikaitkan dengan pekerjaan yang berhubungan dengan seni dan literasi, apakah itu lukisan, desain, film, maupun tulisan, padahal sebenarnya menutrisi pikiran dengan pemikiran kreatif dan imajinatif tidak terbatas pada pekerjaan di bidang seni saja. Revolusi industri lahir karena adanya perubahan, perubahan itu lahir karena adanya ide, dan ide itu lahir sebagai buah kreativitas dan imajinasi. Di era saat ini yang sering disebut VUCA – volatile (fluktuatif), uncertain (penuh ketidakpastian), complex, dan ambiguous (tidak jelas) -- imajinasi yang menjadi alat perang kita bukan cuma untuk mencari solusi dari masalah dan situasi yang sedang dihadapi, tapi juga perangkat utama untuk membuat kita lebih fleksibel dalam menghadapi apapun. Yang selalu berubah tidak akan membuat kita takut, yang terlihat statis tidak akan membuat kita bosan. With creativity and imagination, you can ride the changes or even drive the changes themselves.
With creativity and imagination, you can ride the changes or even drive the changes themselves.
Sebagai penulis, tentu imajinasi menjadi bahan bakarku melahirkan kisah, mengubah segala macam yang bersentuhan dengan keseharianku menjadi ide cerita. Namun yang tidak banyak orang tahu, imajinasi dan kreativitas juga menjadi sesuatu yang tidak dapat kulepaskan dari profesi utamaku sebagai bankir. Aku selalu melihat pekerjaanku sebagai bagian dari kemanusiaan. Menulis itu menghadirkan cermin atas realita dalam bentuk fiksi, menciptakan jembatan antara manusia lewat cerita. Stories are always human, and human are always full of stories. Di bank juga begitu, aku tidak sedang berurusan dengan uang dan angka, namun cerita di balik angka-angka tersebut. Nasabah, pasar, rekan kerja, semuanya manusia yang punya kebutuhan, punya karakternya masing-masing, dan tidak akan pernah konstan. Pekerjaanku banyak berhubungan dengan strategi, memberi makna pada angka, menemukan kesempatan di balik tantangan. Numbers always tell a story, dan tanpa ‘menghidupkan’ tombol imajinasi dan kreativitas di kepalaku, cerita itu mungkin tidak akan bisa kutemukan.
But here’s the thing, situasi hidup yang aku sebut VUCA tadi, jika tidak pintar-pintar menyikapi, kita akan melihatnya sebagai tekanan, dan kita akan pontang-panting mencoba untuk tidak ketinggalan di arus hidup yang serasa makin cepat dan makin cepat. Hidup memang tidak akan menunggu siapapun, itu betul, tapi kita selalu butuh jeda untuk bisa melihat sesuatu lebih jelas, untuk bisa berpikir, untuk bisa membebaskan benak bereksplorasi. Pause, not because life is exhausting, but because some things in life just cannot be enjoyed while we’re moving. Mengejar sesuatu dalam hidup itu penting, tapi atur energi dan napasmu, karena hidup ini bukan sprint, tapi maraton.
Hidup memang tidak akan menunggu siapapun, itu betul, tapi kita selalu butuh jeda untuk bisa melihat sesuatu lebih jelas, untuk bisa berpikir, untuk bisa membebaskan benak bereksplorasi.
Begitu juga aku ‘memperlakukan’ profesi menulisku. Tidak ada unsur pemaksaan sampai harus mencapai target tertentu; jadi best-seller, menerbitkan lebih banyak buku dalam setahun, atau meraih penghargaan. I take my time. Satu buku bisa butuh bertahun-tahun untuk selesai kutulis – Critical Eleven kutulis lebih dari dua tahun, Antologi Rasa lebih dari dua tahun, dan ini memasuki tahun kedua aku mengerjakan novel terkiniku yang judulnya Heartbreak Motel. Bagiku seni menulis adalah mengolah gagasan menjadi sesuatu yang punya makna tertentu ke pembaca, dan pencapaian terbesar bagiku sebagai penulis adalah ketika pembaca bisa ‘menemukan’ dirinya dalam tulisan itu, bisa ‘memaknai’-nya dengan merefleksikannya pada kehidupan dia sendiri.
Bagiku seni menulis adalah mengolah gagasan menjadi sesuatu yang punya makna tertentu ke pembaca, dan pencapaian terbesar bagiku sebagai penulis adalah ketika pembaca bisa ‘menemukan’ dirinya dalam tulisan itu, bisa ‘memaknai’-nya dengan merefleksikannya pada kehidupan dia sendiri.
Inspirasi sendiri bisa datang dari mana saja, setiap hal yang ‘bersentuhan’ dengan hidupku bisa menjelma menjadi cerita. Kuncinya ada di diriku sendiri, apakah aku membiarkan kepalaku, hatiku, dan segenap inderaku menampung segala pengalaman dan sensasi tadi lalu mengubahnya menjadi inspirasi dan memasaknya menjadi cerita. Peristiwa, orang yang diajak berdiskusi, tempat yang dikunjungi, musik yang didengarkan, film yang ditonton, bahkan emosi yang dirasakan, semuanya ini bisa jadi benih inspirasi. Pernah aku menulis di Twitter: Tidak ada patah hati yang tidak bisa jadi royalty. Aku percaya emosi dalam diri kita bisa diubah-fungsi menjadi karya. Buatku semua spektrum emosi menjadikan seorang pribadi manusia. Mustahil rasanya untuk membatasi diri selalu berpikir positif. Rasanya wajar untuk memiliki emosi naluriah manusia sekalipun itu dipertimbangkan negatif: marah, sedih, putus asa. ‘Merangkul’ semua spektrum emosi itu menjadi skill yang wajib dimiliki penulis jika ia ingin tulisannya penuh rasa yang nyata.
Inspirasi sendiri bisa datang dari mana saja, setiap hal yang ‘bersentuhan’ dengan hidupku bisa menjelma menjadi cerita.
Yang membedakan robot dengan manusia adalah rasa, dan rasa itu sesuatu yang sangat-sangat personal bagi setiap orang. Mengizinkan diri merasa berarti membuka pintu untuk bahkan rasa-rasa yang tidak kita inginkan untuk masuk, seperti rasa sakit, patah hati, tapi menurutku justru tidak sehat di kala kita mulai kebal dan tidak merasa.
‘Merangkul rasa’ akan menjadikan kita orang yang lebih grounded, lebih realistis, dan lebih berani berekspresi. Aku beruntung karena kemerdekaan berekspresi itu diberikan orang tuaku sejak kecil. Di rumah, ayahku membiarkanku menjadikan dinding sebagai kanvas, penuh coretan. Tamu-tamu yang datang ke rumah biasanya berkomentar tentang dinding yang penuh dengan tulisan dan komik bikinanku, tapi ayahku justru dengan santai menanggapi, “Biar saja, toh nanti bisa kita cat ulang dindingnya. Kalau dicoret-coret lagi tinggal dicat lagi.” Kalau dipikir-pikir, mencoret-coret dinding itu sebenarnya seperti hidup: hari-hari kita itu kanvas kosong dan jadi pilihan kita ingin mengisinya dengan apa. Makin luas imajinasimu, maka makin banyak pilihanmu.
Kalau dipikir-pikir, mencoret-coret dinding itu sebenarnya seperti hidup: hari-hari kita itu kanvas kosong dan jadi pilihan kita ingin mengisinya dengan apa. Makin luas imajinasimu, maka makin banyak pilihanmu.