Kata 'agama' terdiri atas dua kata yaitu 'a' yang berarti tidak, dan 'gama' yang berarti merusak. Bila kedua kata tersebut digabung, maka agama dapat diartikan sebagai sebuah konsep yang tidak merusak, serta membawa ke jalan yang benar. Namun ironisnya, banyak sekali kebencian di dunia ini yang berkembang atas dasar agama.
Semua agama apa pun itu pasti mengajarkan toleransi pada sesama.
Kita pasti sudah paham bila semua agama apa pun itu pasti mengajarkan toleransi pada sesama. Agama sendiri pun, sesuai makna katanya, artinya tidak merusak. Seharusnya dengan demikian, bila kita menyakini dan percaya akan suatu agama karena akan membuat hidup kita lebih baik, maka kita menjalani hidup ini dengan penuh rasa saling mengasihi agar tidak menyakiti orang lain. Tapi lucunya, banyak sekali umat beragama di dunia ini yang merasa lebih superior dibandingkan umat agama lain. Banyak pula kejadian di dunia ini yang terjadi atas dasar agama. Seperti perang salib contohnya, dimana pada saat itu manusia saling membunuh atau membantai atas dasar agama. Lucu sekali. Padahal kita tahu, bila kita membunuh seseorang dengan suatu alasan yang tidak jelas, itu salah.
Mengapa kita yang beragama, justru sering kali berbuat sesuatu yang tidak mencerminkan nilai-nilai yang agama ajarkan?
Saya mempertanyakan hal ini; mengapa kita yang beragama, justru sering kali berbuat sesuatu yang tidak mencerminkan nilai-nilai yang agama ajarkan? Apakah benar Tuhan atau agama itu ada? Seorang filsuf Yunani, Aristoteles pernah berkata; tidak ada hal di dunia ini yang nyata, kecuali dapat dibuktikan secara empiris. Dengan demikian artinya, segala sesuatu yang nyata harus dapat dibedakan dengan panca indera yang kita punya. Entah melalui pengelihatan, penciuman, pendengaran, atau merasakannya dengan sentuhan indera peraba kita. Dan Tuhan tidak dapat kita buktikan dengan kelima panca indera itu.
Namun, sebenarnya tidak semua hal dapat dibuktikan secara empiris. Bagaimana dengan rasa cinta, kasih, empati, dan lain sebagainya yang kita miliki? Perasaan itu nyata, terasa dalam diri, namun tidak indera luar kita rasakan. Dengan demikian, dari semua hal yang bisa dibuktikan secara empiris, afeksi dalam hubungan adalah satu hal yang tidak dapat dibuktikan. Keberadaan Tuhan pun dapat dirasakan dengan ini. Manusia selalu membutuhkan sosok yang menjadi tolak ukur, atau yang dilihatnya sempurna untuk mereka berusaha mencapai seperti sosok tersebut. Oleh karenanya, Tuhan pun berada di benak serta di dalam diri manusia sebagai panduan dan parameter apa yang akan mereka tuju dalam kesehariannya. Bagi saya juga, Tuhan dapat dibuktikan dengan teori kekekalan energi, dimana tidak mungkin energi itu tiba-tiba ada dari ketiadaan, atau tiba-tiba hilang dari yang sudah ada. Yang memungkinkan hanyalah berubah bentuk. Di sinilah letak kekuasaan Tuhan menurut saya karena tidak mungkin semua yang ada di dunia ini terbentuk tanpa suatu energi atau pencipta di baliknya.
Tidak ada suatu konsep agama manapun di dunia ini yang salah. Mereka semua mengajarkan kebaikan.
Seorang teman suatu waktu menantang saya dengan berkata bila guru filsafatnya pernah mengatakan bahwa yang menciptakan Tuhan adalah manusia. Di sana saya tertawa. Tuhan adalah konsep, begitu pula agama. Semuanya tergantung setiap orang untuk mempercayainya. Menurut saya sendiri, tidak ada suatu konsep agama manapun di dunia ini yang salah. Mereka semua mengajarkan kebaikan. Saya sendiri pun memilih untuk menjadi seorang agnostik, yang percaya akan adanya Tuhan, namun tidak secara spesifik memeluk suatu ajaran agama tertentu. Saya memilih untuk tidak memilih, supaya tidak mengkotak-kotakan. Selama apa yang saya lakukan tidak menyakiti orang lain dan membuat saya senang, itulah yang akan saya lakukan.
Saat ini, kebanyakan dari kita memeluk suatu ajaran agama ‘by default’ atau karena mengikuti orangtua kita, yang telah terlebih dahulu menjadi umat agama tertentu. Karena alasan ini, banyak di antara kita yang ‘taken for granted’ atau menerima begitu saja status agama kita tanpa benar-benar menaatinya. Bagi saya, agama adalah sesuatu yang harus kita pegang teguh dan cari, bukan hanya sekedar menerima. Bila kita sudah menemukan sesuatu yang kita percaya, biasanya kita akan menjadi kuat dan tidak goyah. Analoginya, bila kita merasa warna merah sebagai warna paling terang di muka bumi ini tetapi kita tidak pernah melihat warna lain, bagaimana caranya kita bisa mengambil kesimpulan demikian? Kita tidak bisa membandingkannya secara akurat. Saya justru merasa miris bila melihat orang yang tengah berpindah-pindah agama justru dianggap tengah mempermainkan agama. Padahal, bukankah akan lebih baik bila sudut pandang kita diubah dalam melihat apa yang tengah orang tersebut lakukan, bahwa ia sedang berusaha mencari kebenaran agama yang menurut dia paling nyaman? Setiap orang berhak untuk menentukan apa yang mereka percayai, bukan? Mengapa kita menyalahkan dia dengan perspektif kita? Mengapa tidak kita melihatnya dari sudut pandang dia?
***
Menjadi Manusia adalah sebuah social-platform untuk mereka yang ingin berbagi dan mendengar cerita-cerita tentang kehidupan dari berbagai sudut pandang, dan diharapkan mampu menjadi sebuah tangga untuk mendapatkan setitik harapan bagi mereka yang memiliki persoalan-persoalan dalam kehidupan. Tulisan kali ini diambil dari perspektif seseorang yang tidak percaya akan konsep agama. Nama dan identitas dibuat anonim atas permintaan narasumber.