Berbicara tentang kesetaraan adalah berbicara tentang kesamaan kesempatan, hak dan kewajiban. Kesetaraan untuk sama-sama dihargai baik pria maupun wanita. Jadi kesetaraan tidak hanya soal wanita akhirnya bisa melakukan semua hal yang bisa dilakukan pria saja.
Faktanya secara biologis kedua gender punya fungsi dan peran masing-masing di kehidupan sehari-hari. Pria diciptakan dengan struktur biologis tertentu sehingga punya kekuatan tubuh yang berbeda dengan wanita. Tuhan menciptakan pria dan wanita berbeda tapi bukan berarti salah satunya lebih baik atau lebih tinggi dari yang lainnya. Munculnya konsep feminis pun berangkat dari keinginan para wanita untuk mendapatkan derajat dan kesempatan yang sama pada perempuan. Bukan untuk membuat seolah wanita bisa menggantikan posisi pria dan membuat mereka tunduk.
Berbicara tentang kesetaraan adalah berbicara tentang kesamaan kesempatan, hak dan kewajiban. Kesetaraan untuk sama-sama dihargai baik pria maupun wanita.
Aku sendiri sebagai seorang pria cukup menentang konsep patriarki. Kenapa bisa seorang pria dianggap lebih berharga dan lebih tinggi dari wanita? Aku melihat bagaimana ibuku berjuang untuk keluarga kami. Menjadi tulang punggung keluarga yang selama tiga tahun harus bolak-balik Solo-Temanggung, menghabiskan perjalanan tiga jam untuk pergi dan pulang hanya demi bekerja sebagai guru untuk kami. Terkadang harus berdiri bus kalau tidak dapat tempat duduk. Mengapa kemudian dia bisa jadi korban patriarki yang membuatnya seakan lebih rendah dari pria? Perjuangan ibuku inilah yang membuatku ingin memperjuangkan kesetaraan kesempatan dan penghargaan yang sama antara wanita dan pria. Aku tidak mau wanita juga dianggap remeh atau bahkan tidak dianggap sama sekali. Bercermin pada ibuku, aku tidak rela kalau beliau dianggap lebih rendah dari pria. Sekarang coba bayangkan ibu, istri, atau adik perempuanmu. Mau tidak kalau mereka diperlakukan tidak adil di luar sana? Selama pria masih bisa semena-mena untuk tidak memberikan kesempatan pada wanita dan masih menjadikan pria lainnya anak emas, ketidakadilan pada wanita yang dekat dengan hidup kita tidak akan berhenti.
Selama pria masih bisa semena-mena untuk tidak memberikan kesempatan pada wanita dan masih menjadikan pria lainnya anak emas, ketidakadilan pada wanita yang dekat dengan hidup kita tidak akan berhenti.
Di masyarakat kita masih banyak yang berpikir bahwa wanita tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena hanya akan berakhir di dapur. Tapi menurutku tidaklah begitu. Wanita itu harus mandiri. Tidak boleh bergantung pada orang lain. Bagaimana kalau suaminya meninggal atau terjadi masalah pada suaminya lalu istrinya tidak punya kemampuan untuk melanjutkan hidup? Wanita harus bisa berdaya dan inilah yang harus didobrak bersama. Begitu juga sebaliknya. Toxic masculinity adalah masalah stereotip di masyarakat yang sudah harus dihilangkan. Stereotip ini membuat pria seperti menentukan standar menjadi seorang pria. Mereka yang punya karakter sensitif dibilang tidak cukup maskulin. Sampai-sampai di antara pria sendiri secara tidak sadar memberikan diskriminasi untuk pria yang tidak memenuhi kategori maskulin yang dipercaya di masyarakat. Padahal mau kamu adalah pria yang gemulai, itu adalah kamu. Begitu juga kalau kamu dianggap maskulin. Itu adalah karaktermu. Jangan sampai kita menutup diri untuk melihat semua orang berbeda-beda dan akhirnya menetapkan standar tertentu pada orang lain.
Wanita harus bisa berdaya dan inilah yang harus didobrak bersama.
Tidak hanya soal pria dan wanita, aku masih melihat adanya isu kesetaraan di akses pendidikan di Indonesia. Selama ini yang mendapatkan pendidikan berkualitas hanyalah mereka yang punya uang. Pemerintah masih kesulitan untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang merata di semua wilayah negeri ini. Padahal mereka yang di Papua juga punya hak dan kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Seperti juga anak-anak yang terjangkit HIV. Aku banyak menemukan orang-orang yang mengidap HIV tapi masih sangat sehat dan bisa melakukan berbagai kegiatan seperti biasa. Tapi kemudian banyak dari mereka putus asa hanya karena stigma negatif yang orang lain berikan. Sehingga mereka merasa dikesampingkan dan dianggap rendah. Seringnya masyarakat kita tidak tahu benar apa yang terjadi pada seseorang dan tanpa pinggir panjang langsung menghakimi. Akhirnya tidak lagi ada kesetaraan kesempatan dan hak pada mereka yang dikucilkan masyarakat.
Dengan menyoroti isu kesetaraan untuk mendapatkan kesempatan yang sama agar sebagai warga negara bisa punya mimpi, aku ingin berkontribusi dalam mengedukasi generasi muda untuk dapat memutus budaya menyimpan di masa lampau. Aku percaya kita semua harus menjadi seorang aktivis. Kita tidak perlu menunggu untuk ikut demonstrasi di jalan hanya untuk memperjuangkan idealisme tertentu. Label “aktivis” bukan hanya untuk diberikan pada orang-orang yang benar-benar punya sebuah advokasi. Semua orang harus menjadi aktivis di berbagai bidang yang ada. Aktivis olahraga, kesetaraan, lingkungan atau bidang lain yang dikuasai dan diminati. Kita seringkali salah kaprah akan persepsi label ini dan menunggu untuk benar-benar mencurahkan segala waktu untuk bersosial baru bisa dibilang aktivis. Padahal kita sekarang bisa melakukan dengan banyak cara dan banyak hal untuk berkontribusi di masyarakat dan berjiwa layaknya aktivis.
Kita semua harus menjadi seorang aktivis. Kita tidak perlu menunggu untuk ikut demonstrasi di jalan hanya untuk memperjuangkan idealisme tertentu.