Dari sekian banyak jadwal yang memenuhi agenda kita setiap harinya, berapa banyak yang kita kerjakan dengan penuh makna? Seringkali saya tertegun melihat to-do-list yang saya miliki; mulai dari meeting dengan klien, brainstorming dengan internal team, siaran radio ataupun melakukan sesi sharing di beberapa acara. Sungguh saya banyak bertanya pada diri sendiri: apakah segala aktivitas ini membuat saya menjadi lebih ‘berisi’ dan maju, atau malah rutinitas ini membentuk saya seperti seekor hewan peliharaan — hamster yang terus berlari dalam sebuah roda yang hanya berputar di tempat? Kita bisa bayangkan betapa sibuknya kita dan berharap bahwa jerih payah ini bisa membawa kita ke tempat yang lebih baik. Nyatanya malah kita sebetulnya hanya sibuk sendiri dan berlari di tempat saja.
Dengan segala rutinitas yang kita miliki, memaknai atau tidak memaknai akan membentuk kita kepada tiga hal:
- Menjadikan kita hanya terbiasa dengan segala aktivitas yang ada.
- Membuat kita merasa biasa-biasa saja.
- Membangun kita menjadi pribadi yang luar biasa.
Sembari karir dibangun ataupun diri dibentuk, aktivitas-aktivitas saya bukannya menjadikan saya luar biasa, tetapi hanya biasa di luar. Seolah-olah sibuk namun hampa di dalam. Hidup untuk memenuhi satu agenda ke agenda yang lain, dan terkadang juga dijalani dengan penuh tuntutan jabatan ataupun tanggung jawab. Akibatnya, mungkin saat ini kita merasakan yang namanya hampa, bak zombie yang bisa terus berjalan tapi tidak punya perasaan. Dangkal sekali.
Kalau kamu saja merasa hampa, bukankah orang lain pun bisa merasakan demikian?
Istilah ‘galau’ yang erat dengan generasi milenial ataupun generasi Z, mungkin bukan hanya karena mereka belum tahu tujuan hidup, tetapi juga karena rasa hampa; sebuah rasa yang muncul karena sudah melakukan berbagai macam hal (mau itu mulai usaha sendiri, kerja di perusahaan terkemuka, jalan-jalan keliling dunia, punya barang-barang branded) — namun tetap rasanya kosong. Kapankah kita bersedia untuk mengizinkan diri berhenti dan merenungkan hal ini? Karena terlarut dengan kehampaan justru sangat berbahaya.
Prinsip di pikiran kita sederhana: kalau penuh ya dikosongkan, kalau kosong yang dipenuhi saja. Ini bahaya.
Kehampaan yang kita rasakan bisa berujung pada satu hal yang justru membawa kita semakin terlarut dalam kehampaan itu sendiri, yaitu ‘menghukum' diri kita sendiri. Menghukum dengan cara apa? Yaitu dengan mencambuk agenda kita supaya semakin padat dan lupa diri. Belum lagi rasanya menjadi semakin berat karena pikiran kita terlalu padat dan energi kita yang perlahan-lahan surut.
Ada saat-saat dimana saya pribadi mempertanyakan: memang dengan sekian banyak keputusan yang saya ambil, hal ini membawa saya semakin naik atau semakin turun? Semakin dekat dengan keluarga atau semakin menjauh dari mereka? Dan termasuk juga untuk perusahaan yang saya bangun. Kalau jadwal saya semakin padat, apakah ini bisa membawa nilai tambah untuk perusahaan saya?
Saya sebegitu terlarutnya dengan kepadatan yang ada, tanpa menyadari bahwa yang seharusnya saya lakukan bukan mencambuk diri, tetapi baiknya berhenti sejenak. Saya mengambil ‘cuti’ untuk diri sendiri, untuk berjalan dan melihat dunia dengan perlahan. Bukan justru berlari tergesa-gesa karena takut dunia akan padam besok. Beranikan diri untuk membuat skala prioritas yang jelas — akui saja bahwa kita memang lemah dan kita tidak bisa memenuhi semua hal yang orang harapkan dari kita — sehingga kita bisa membuat pilihan yang lebih lugas. Izinkan dirimu untuk memaknai setiap agenda yang kamu pilih, dan biarkan dirimu berjalan melewati kehampaan.
Beranikan diri untuk membuat skala prioritas yang jelas — akui saja bahwa kita memang lemah dan tidak bisa memenuhi semua hal yang orang harapkan dari kita