Seringkali kita belajar lebih banyak dari keseharian anak-anak, lebih dari apa yang kita ajarkan kepada mereka. Saya ibu dari tiga anak, dan setelah hampir delapan tahun merasakan jadi ibu, pepatah di atas sering terjadi pada keseharian saya.
Satu kali anak saya yang pertama, Kirana punya dua bungkus cokelat yang sejak seminggu tidak mau dia makan. Sementara adiknya, Aidan sudah dihabiskan dalam waktu sekejap. Lalu saya bertanya pada Kirana, kenapa cokelatnya tidak dimakan?
“Aku nggak suka cokelat yang ini”, jawabnya.
“Kalau begitu berikan saja cokelat itu kepada Aidan” lanjut saya
Namun Kirana masih enggan memberikan cokelat itu untuk adiknya. “Mungkin aku akan suka nanti, Bu” begitu jawabnya.
“Bagaimana kalau sekarang kita kasih cokelat itu untuk Aidan, kalau nanti mulai suka, kita bisa beli lagi?”
Dengan banyak alasan, Kirana tetap tidak mau memberikan cokelat itu kepada adiknya. hingga akhirnya dia menjawab “Aku sekarang suka cokelatnya, Bu”.
Saya kemudian menyimpulkan, kalau Kirana bukannya suka dengan cokelat tersebut. tapi dia suka dengan perasaan memiliki sebuah barang yang disukai oleh adiknya. Seseorang bisa menjadi suka terhadap suatu barang, bukan karena benar-benar menyukai barang tersebut, tapi karena orang lain menyukai barang tersebut. Sounds familiar, ya, in our adult life, hehe.
Pernah nggak waktu kecil, di saat kamu dan saudara-saudara kamu yang lain diberikan permen lollipop yang sama tapi kamu dengan sengaja makan lollipop tersebut tanpa terlalu sering menjilat-jilat permennya. Agar apa? Agar permen lollipop yang kamu punya habis terakhir. Di saat saudara-saudara kamu yang lain sudah kehabisan permen, kamu baru menikmati permen tersebut dan permen itu pun terasa semakin enak karena kamu tahu ada saudara-saudara kamu yang lain yang berharap masih bisa memakan permen lollipop-nya..
Di suatu pagi sebelum anak-anak berangkat sekolah, saya sedang sarapan dengan Aidan. Kirana kemudian datang menghampiri saya, mencium dan memeluk. Aidan kemudian mengeluh “Kenapa cuma Kirana yang dipeluk dan dicium, kenapa bukan aku? Kenapa bukan aku yang duluan dipeluk dan dicium sama Ibu?”
Bisa jadi Aidan tidak akan menanyakan pertanyaan di atas kalau kakaknya tidak datang dan menghampiri saya. Mungkin pagi itu Aidan pun tidak akan merasa ada kebutuhan dipeluk dan dicium oleh ibunya jika kakaknya tidak memeluk dan mencium saya terlebih dahulu. Sampai kita besar pun seringkali kita merasa kehilangan sebuah kesempatan, bukan karena kesempatan itu tidak datang pada kita, tapi bisa jadi karena kita terlalu banyak pertimbangan, bisa jadi juga karena kita tidak pernah menyadari pentingnya kesempatan itu sampai kesempatan tersebut diambil oleh orang lain.
Sebenernya dua contoh kasus di atas dekat sekali dengan cerita keseharian kita para orang dewasa. Dengan segala terpaan sosial media, dimana setiap orang bergitu bersemangat membagikan semua gagasan gaya hidup yang mereka yakini, kita kerap dengan mudah terbuai dengan apa yang dimiliki orang lain sehingga lupa untuk menanyakan pada diri kita sendiri; apakah kita benar-benar mau dengan barang yang kita inginkan karena kita suka dengan barang tersebut, atau karena kita menikmati perasaan memiliki barang yang disukai orang lain? Nggak perlu bahas apakah kita butuh barang tersebut yaa, tapi validasi akan perasaan memiliki barang itu yang perlu kita gali lebih dalam.
Juga ketika kita berusaha mengejar sebuah mimpi menjalankan apa yang kita sebut passion. Coba kita resapi lebih dalam, bertanya pada diri apakah passion ini benar-benar yang kita mau dan kita inginkan? Atau jangan-jangan yang sedang kita kejar adalah perasaan ingin mendapatkan dan memiliki sesuatu yang disukai oleh orang lain.
Di zaman serba cepat dengan semua informasi secara agresif menghampiri kita, seringkali kita lupa untuk sesaat terdiam dan berbicara pada batin apa yang sebenarnya batin butuhkan. Kebahagiaan, ternyata bukan semata mendapatkan apa yang kita inginkan, tapi juga kemampuan mendengarkan batin dan memberi waktu kepada pikiran untuk mencerna apa yang dibutuhkan oleh batin kita. Ternyata, berlari tak melulu soal berjalan cepat dari titik A ke titik B, tapi juga merenung lebih dalam dan melatih diri memvalidasi apa yang diinginkan batin. Jika kita sudah semakin mahir mengenali apa yang sebenarnya diinginkan batin kita, pertanyaan selanjutnya adalah, memang salah ya menikmati perasaan menyukai hal-hal yang disukai orang lain? Memang salah ya adiktif dalam mengejar apa yang diinginkan orang lain? Ambisius menjadi yang pertama saat yang lain masih berharap-harap mendapatkannya, salah nggak ya? Apa jangan-jangan kita semua adalah korban-korban perasaan adiktif ini tanpa kita sadari?