Dalam waktu-waktu tertentu, misalnya pada masa pandemi yang lalu, kita mengalami momen dimana tempat-tempat ibadah harus ditutup dan kita tidak bisa beribadah bersama-sama seperti sebelumnya. Baik itu solat Jumat, pergi ke gereja di hari Minggu atau sembahyang di kuil. Di luar pandemi, sebenarnya kejadian seperti ini juga sudah sering terjadi dalam situasi-situasi khusus. Contohnya, dalam medan perang atau orang-orang yang sedang sakit sehingga tidak bisa pergi ke tempat ibadah.
Selain itu, tidak bisa dipungkiri juga bahwa mungkin banyak dari kita yang meskipun memilih untuk tidak religius namun di dalam diri sebenarnya penasaran bahkan merindu untuk bisa mendapatkan pengalaman kedamaian serta kesejukan spiritual seperti yang hadir pada sesi-sesi di rumah ibadah atau perayaan hari besar.
Protokol physical distancing pada saat pandemi kemarin telah membuat kita mendapat kesadaran kolektif bahwa meskipun tempat-tempat ibadah tertutup, namun ibadah tetap bisa kita lakukan secara sendiri-sendiri.
Spiritualitas kita tetap independen dan tidak bergantung pada bisa atau tidaknya kita hadir di tempat-tempat ibadah. Melalui pengalaman ini pula kita belajar bahwa ternyata akan selalu ada tempat beribadah untuk kita terlepas apapun situasinya. Tempat untuk beribadah bukan hanya masjid, gereja, kuil atau bahkan ka’bah, melainkan tubuh kita sendiri.
Saya bukan ingin mengatakan bahwa tempat ibadah tidak penting, tetap ada signifikansi ibadah tertentu yang sulit didapatkan apabila kita tidak mengunjungi tempat ibadah. Saya ingin membahas kesadaran bahwa dimanapun dan kapanpun kita berada sebenarnya hubungan dan kesejukan spiritualitas bisa kita hadirkan melalui tubuh kita.
Layaknya ajaran agama manapun yang memiliki hukum atau syariat-nya masing-masing, begitu juga dengan tubuh kita. Tubuh kita ini justru sudah langsung beroperasi dalam batasan-batasan hukum Tuhan. Pengalaman hidup kita secara alamiah tidak akan bisa melebihi batasan-batasan dalam Alam Semesta ini. Mulai dari hukum fisik seperti waktu dan gravitasi, hukum sebab-akibat atau karma, dan juga hukum koherensi antara niat dan tindakan kita di dunia ini. Apapun yang kita lakukan melalui tubuh kita, akan kembali kepada kita.
Dengan sampai pada kesadaran ini, ada dua kebijaksanaan yang bisa kita maknai. Pertama, ini akan membuat kita sadar bahwa tubuh kita sejatinya sangat sakral sehingga kita harus menjaganya dengan penuh upaya dan kesadaran dengan apa yang kita lakukan baik melalui atau kepada tubuh kita.
Tubuh kita sejatinya sangat sakral sehingga kita harus menjaganya dengan penuh upaya dan kesadaran dengan apa yang kita lakukan baik melalui atau kepada tubuh kita.
Pikiran, badan, dan ucapan harus terjaga, karena segalanya akan kembali pada kita. Baik secara personal seperti misalnya apabila kita tidak bisa menjaga kebersihan dan kesehatan tubuh tentu penderitaan berupa sakit-sakit tertentu akan muncul. Juga kepada lingkungan sekitar. Apabila kita bertindak sembarangan melalui tubuh kita kepada lingkungan sekitar, seperti membuang sampah sembarangan atau merusak lingkungan, tentunya akan terbalas dengan hadirnya krisis lingkungan yang berdampak bagi khalayak luas. Salah satunya sudah mulai kita rasakan dengan pemanasan global dan perubahan iklim.
Pikiran, badan, dan ucapan harus terjaga, karena segalanya akan kembali pada kita.
Kedua, pemahaman akan konsep beribadah dari dalam diri akan membawa kembali spiritualitas secara personal. Bahwa hubungan antara Tuhan dan hamba-NYA adalah hubungan yang sangat intim dan personal seperti sepasang kekasih. Tidak ada yang bisa menghalangi hubungan penuh cinta ini apapun kondisinya, tidak pula eksklusif dimiliki oleh agama atau rumah ibadah tertentu, murni hanya dirimu dan diri-NYA.
Sang Pencipta akan hadir dimanapun kamu berada, baik dalam titik terendah atau tempat dan situasi yang paling buruk sekalipun. Kita akan selalu bisa memanggil-NYA serta menjalin hubungan lewat tempat ibadah yang kita bawa setiap saat, yaitu tubuh kita.
Pun apabila kita merasa tersesat karena tidak yakin dengan kedalaman diri kita sendiri untuk menjalin hubungan dengan Tuhan melalui tubuh kita, yakinlah bahwa menyelaraskan diri dengan kebenaran Tuhan adalah soal menavigasi kewajaran umum dan kata hati kita sendiri soal kebaikan juga kasih sayang terhadap sesama dan diri sendiri. Tubuh kita adalah ciptaan-NYA, dan dalam kedalamannya adalah Sumber Penciptaan itu sendiri. Tubuh kita sudah mengetahui kemana arah kiblatnya, tinggal bagaimana kita khusyuk dalam diam dan keheningan mendalam untuk mendengarkan pesan Ilahi dari dalam diri.