Ketika mendengar istilah burnout hal pertama yang kemudian muncul di kepalaku adalah sebuah kondisi stress berlebih yang diakibatkan beban pekerjaan. Sebagai seorang mahasiswa semester enam, ternyata aku juga pernah berada dalam fase burnout.
Selama pandemi yang berlangsung tiga tahun terakhir, banyak sekali waktu yang harus kita habiskan di rumah. Semua pertemuan, kelas, dan pekerjaan dilakukan secara daring, tanpa sadar ternyata siklus hidup ini kemudian terakumulasi dan berujung pada burnout.
Berdasarkan konsultasi yang aku lakukan beberapa waktu lalu sebenarnya aku dikategorikan sebagai seorang introvert, yang dapat diartikan bahwa aku cenderung mengisi ulang energi saat aku sendirian. Kendati begitu, entah kenapa justru aku merasa tidak nyaman saat menghabiskan terlalu banyak waktu sendirian. Sendirian terlalu lama justru membuatku merasa tidak punya motivasi hingga merasa hilang arah dalam menjalani hidup.
Kalau aku runut kembali, sepertinya alasan kenapa aku pernah berada dalam fase burnout adalah banyaknya aktivitas yang aku lakukan dalam kurun waktu bersamaan. Sejak masih duduk di bangku SMA, aku memang menikmati kegiatan berorganisasi. Ini sebenarnya cukup membingungkan, bagaimana sebuah kegiatan yang tadinya menurutku menyenangkan, kini terasa seperti beban tambahan yang harus aku emban. Hingga kemudian aku sadar, mungkin porsi kegiatan yang aku jalankan memang berlebihan. Momen ketika aku merasakan fase burnout adalah waktu dimana aku ikut serta dalam enam organisasi sekaligus, ditambah beban kuliah, dan pekerjaan lepas yang aku lakukan dalam satu waktu.
Berkaca dari pengalaman yang aku rasakan, ada beberapa tahap yang aku jalani untuk bisa berdamai dengan burnout. Pertama, adalah dengan menyadari apa yang sebenarnya sedang aku rasakan dan alami. Saat burnout, aku tidak merasa sepeti diriku yang biasanya. Aku jadi malas ke luar rumah, malas berkegiatan, pokoknya cenderung lebih mudah lelah dan bahkan sering menangis.
Tahapan kedua, aku berusaha mengevaluasi apa yang sebenarnya yang menyebabkan aku merasakan stress yang berlebih. Aku berusaha menilai diri dengan sudut pandang yang lebih luas, mulai dari tugas perkuliahan, lingkup pertemanan, hingga kegiatan organisasi. Di tahap ini aku mulai menemukan bahwa penyebab burnout yang aku rasakan adalah kegiatan organisasi yang terlalu banyak dan aku lakukan bersamaan dengan perkuliahan.
Setelah memahami penyebab dari burnout yang aku rasakan, tahapan ketiga adalah mencari kegiatan yang bisa menenagkan pikiran dan terasa membahagiakan saat aku jalani. Saat merasa lelah, aku mencoba menjalankan hal-hal yang bisa membuatku lebih tenang dan bahagia. Misalnya memasak, melukis, atau sekadar jalan-jalan santai di lingkungan sekitar rumah. Aku juga ternyata sangat menikmati percakapan bersama orang baru yang aku temui saat berjalan santai. Salah satu contohnya, adalah percakapan yang terjadi antara aku dan seorang ibu yang menjadi badut di jalanan. Entah kenapa percakapan bersama beliau bisa meningkatkan rasa syukur terhadap hidupku saat ini.
Stress atau bahkan burnout itu hal yang sangat mungkin terjadi, tapi jangan biarkan diri kita terlarut dalam fase ini terus menerus. Kita yang harus bisa mencoba bangkit demi diri kita sendiri.
Saat berada dalam fase burnout pada dasarnya aku merasa seperti tidak mengenal diriku sendiri. Tentu, setiap individu juga akan punya kiat yang berbeda-beda dalam mengatasi dan berdamai dengan burnout. Pada akhirnya kita yang harus berusaha berjuang untuk menemukan diri kita sendiri. Proses mengatasi burnout adalah upaya kita untuk bisa nyaman dengan diri sendiri dan bisa berfungsi dengan normal selayaknya manusia pada umumnya.