Sebagian orang berpikir bahwa gue adalah seseorang yang tidak pernah serius. Bahkan ada dari mereka yang berpikir gue adalah orang yang tidak tahu apa-apa atau bodoh selayaknya yang ditampilkan di layar kaca. Pernah ada yang terkejut ketika bertemu gue untuk urusan pekerjaan lalu bilang, “Kok, elo beda dari yang di TV sih, Nang?” Ya karena memang gue menampilkan sisi humoris sesuai kebutuhan saja. Tidak di semua tempat gue akan selalu bercanda. Ketika menyampaikan mimpi gue pasti serius. Begitu juga ketika sedang mengulik sebuah gagasan. Walaupun gue akui memang humor itu bisa menjadi alat untuk menyampaikan sebuah pesan atau mencairkan suasana. Asal waktunya pas dan tidak dibuat-buat. Gue tidak pernah mencoba lucu atau sengaja berupaya keras untuk membuat diri gue lucu. Gue hanya melakukan apa yang gue bisa secara spontan saja.
Humor bisa menjadi alat untuk menyampaikan sebuah pesan atau mencairkan suasana asal waktunya pas dan tidak dibuat-buat.
Pada dasarnya, humor itu kebutuhan dasar manusia. Meskipun sebenarnya selera humor setiap orang berbeda-beda. Cara orang menyerap candaan berbeda karena latar belakang yang berbeda. Tidak bisa digeneralisir bahwa satu candaan itu bisa lucu untuk semua orang. Penerimaan orang beda-beda. Tidak bisa diseragamkan sebab kita tidak lahir sama. Misalnya gue diminta untuk membawakan acara untuk kalangan kelas atas. Kalau gue menggunakan humor selayaknya di televisi dengan bercandaan receh mungkin mereka tidak akan tertawa. Sehingga gue harus memikirkan cara membawakan acara yang sesuai dengan latar belakang mereka. Begitu pun dengan kontradiksi komedi slapstick. Banyak yang berpikir mereka yang berguyon dengan cara kekerasan fisik adalah mereka yang selera humornya rendah atau orang-orang yang edukasinya kurang. Coba lihat Charlie Chaplin. Dia adalah salah satu figur dengan intelektual tinggi yang menggunakan komedi slapstick sebagai caranya berkomedi. Komedi slapstick membutuhkan pemikiran yang rumit dan strategi yang tepat. Seorang komedian dengan gaya tersebut harus berpikir keras membuat tayangan tanpa dialog hanya visual bisa ditertawakan orang banyak.
Belum lagi dengan humor yang melibatkan “kekerasan verbal” seperti menertawakan fisik seseorang. Ada yang merasa candaan tersebut membuat orang lain jadi bodoh. Padahal seseorang itu bodoh karena dirinya sendiri bukan karena orang lain. Gue percaya di dunia guyon setiap orang sudah ada perannya masing-masing. Seperti gue berperan sebagai “keset”. Gue seringkali memainkan peran yang dijelek-jelekan dan dianggap bodoh. Tapi itu tidak membuat gue merasa terhina karena gue menjelaskan ke diri gue tidak seperti itu. Gue selalu mengajak bicara diri sendiri bilang, “Elo tidak seperti itu Danang, elo memang berperan seperti saja di dalam situasi ini. Perankanlah sebaik-baiknya.” Itulah mengapa banyak orang yang berpikir gue bodoh, tidak tahu apa-apa. Dan itu tidak masalah buat gue karena gue tidak menganggap diri gue seperti itu.
Gue percaya di dunia guyon setiap orang sudah ada perannya masing-masing.
Di Indonesia memang kita tidak terbiasa menertawakan diri sendiri. Mungkin karena kita sering merasa menjadi inferior – selalu kalah. Sehingga ketika menertawakan diri sendiri jadi sakit hati. Lalu mudah sekali jadi sakit hati karena bercandaan orang lain. Padahal kalau dia bisa memberikan batasan pada dirinya sendiri, dia tidak mungkin sakit hati. Menurut gue, orang kalau merasa tersakiti sebenarnya tidak cuma salah orang yang menyakiti saja tapi orang yang mau disakiti juga salah. Kok mau disakiti? Gue percaya gue tidak harus memelihara siapa pun karena semua orang dipelihara sama Tuhan. Kalau gue gamau merasa sakit hati ya gue harus bicara pada diri sendiri untuk tidak sakit hati. Bertanggung jawab sama diri sendiri dan tidak malah menyalahkan orang lain terus.
Kalau semua dibilang bahaya dan menciptakan standar sendiri mau berkembang ke mana? Batasan-batasan yang menentukan masing-masing orang. Di generasi gue kami bertumbuh dengan tontonan Baywatch yang menampilkan bagian tubuh tanpa sensor — yang kini dianggap bagian dari pornografi. Kemudian apakah kami tumbuh menjadi pribadi yang amoral? Kan tidak. Makanya bukan tanggung jawab orang lain kalau seseorang berkembang menjadi individu dengan kepribadian menyimpang. Bukan karena tayangan komedi slapstick.Sebaliknya, sebagai orang yang menyampaikan guyon, gue juga berusaha untuk tahu waktu dan batasan. Sebisa mungkin tidak bercanda dengan masuk ke ranah personal. Biasanya seusai membawakan acara biasanya gue memastikan orang yang gue ajak bercanda tersinggung atau tidak. Jadi semua tergantung bagaimana setiap orang menciptakan batas akan dirinya sendiri. Kita tidak bisa mengendalikan orang lain tapi kita bisa mengendalikan diri sendiri.
Di Indonesia memang kita tidak terbiasa menertawakan diri sendiri.