Self Planet & People

Berbagi Peran dalam Keluarga

Pandemi membuat kita harus membatasi kegiatan di luar rumah guna meminimalisir kontak dengan banyak orang. Dalam dua tahun terakhir mau tidak mau kita harus menjalani sebagian besar aktivitas kita dari rumah. Mulai dari bekerja belajar, beribadah, dan tentu saja beristirahat. Meski sepertinya setiap orang mengalami situasi yang hampir serupa, perempuan menghadapi tantangan yang lebih banyak saat harus selalu berada di dalam rumah, lantaran pekerjaan rumah tangga yang.. tak jarang sepenuhnya dibebankan pada kita. Terlebih bagi para ibu muda yang juga tengah meniti karir di waktu yang bersamaan.

Kebijakan untuk bisa bekerja dari rumah atau work from home (WFH) mungkin terdengar seperti sebuah kebijakan yang sangat membahagiakan bagi sebagian orang, karena kita tidak lagi harus berdesakan di angkutan umum menuju ke tempat kerja. Cukup duduk manis di rumah ditemani laptop di atas meja, kita sudah bisa menjalankan pekerjaan yang tadinya harus kita lakukan dari kantor. 

Saya sangat bersyukur bahwa di momen-momen sulit ini, suami saya juga memang sudah terbiasa ikut membantu pekerjaan domestik seperti memasak atau pekerjaan rumah lainnya. Di sisi lain, situasi pandemi juga membuat kami lebih intens dalam memahami pembagian waktu untuk mendampingi dan mengurus anak-anak.

Meski demikian, di banyak keluarga lain kebijakan WFH ini justru membuat banyak orang terutama perempuan kewalahan. Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Komnas Perempuan pada bulan April 2020 terhadap para responden yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia mengungkapkan bahwa perempuan harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dua kali lipat lebih banyak daripada laki-laki. Bahkan 1 dari 3 responden menyatakan bahwa penambahan beban kerja ini membuat dirinya mengalami stress. 

Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Komnas Perempuan pada bulan April 2020 terhadap para responden yang berasal dari 34 provinsi di Indonesia mengungkapkan bahwa perempuan harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dua kali lipat lebih banyak daripada laki-laki. Bahkan 1 dari 3 responden menyatakan bahwa penambahan beban kerja ini membuat dirinya mengalami stress. 

Ada beberapa faktor yang memengaruhi banyaknya beban pekerjaan rumah tangga yang harus diemban oleh perempuan selama WFH. Pertama, karena konstruksi budaya yang sudah terbentuk secara turun-temurun. Hal ini juga tidak terlepas dari adanya nilai maupun karakter tertentu yang dilekatkan kepada perempuan seperti, anggapan bahwa perempuan lebih teliti, rapi dan telaten karenanya perempuan lebih cocok untuk mengurus pekerjaan domestik di rumah. 

Praktik ini pun berlaku umum di masyarakat dan dianggap sebagai hal yang alami, bahwa pekerjaan domestik sepenuhnya merupakan tanggung jawab perempuan. Tanpa ada kesepakatan tertulis ataupun kesempatan untuk berdiskusi. Perempuan seolah secara otomatis dituntut harus bisa mengerjakan pekerjaan domestik seperti mencuci baju, membersihkan pekarangan rumah, memasak, dan merawat anggota keluarga. Meskipun pekerjaan-pekerjaan tersebut bisa juga dipelajari dan dilakukan oleh laki-laki.

Kedua, posisi perempuan secara umum yang lebih rentan secara sosial dan ekonomi. Alasan satu ini sebenarnya masih berkaitan erat dengan poin sebelumnya. Secara umum, posisi perempuan yang masih subordinat dan dianggap lebih lemah secara sosial dibandingkan laki-laki, hal ini pula yang terkadang membuat perempuan lebih sulit atau mungkin ragu untuk mengungkapkan pendapatnya akan pembagian beban pekerjaan rumah tangga dengan suami atau anggota keluarga laki-laki lainnya.

Ketiga, pola komunikasi yang kurang sehat dengan sesama anggota keluarga. Komunikasi menjadi poin penting dalam pembagian tanggung jawab terhadap pekerjaan domestik di rumah. Tanpa komunikasi yang sehat, baik perempuan maupun laki-laki mungkin akan sulit untuk memahami seutuhnya seberapa besar tekanan yang sedang dihadapi satu sama lain. Perempuan juga harus mampu dan berani menyampaikan pendapat serta keluh kesah jika memang beban yang dialami mulai terasa berat.

Meski begitu, faktor-faktor tersebut tidak seharusnya dijadikan alasan untuk terus melanggengkan praktik ini.  Seperti halnya dengan bidang pekerjaan lain di luar rumah, pekerjaan domestik bukanlah pekerjaan mutlak yang harus selalu dibebankan sepenuhnya kepada perempuan. Pekerjaan dan tugas-tugas dalam rumah tangga sebetulnya bisa dilakukan oleh siapapun baik itu laki-laki maupun perempuan. 

Seperti halnya dengan bidang pekerjaan lain di luar rumah, pekerjaan domestik bukanlah pekerjaan mutlak yang harus selalu dibebankan sepenuhnya kepada perempuan. Pekerjaan dan tugas-tugas dalam rumah tangga sebetulnya bisa dilakukan oleh siapapun baik itu laki-laki maupun perempuan. 

Coba ajak anggota keluarga lain untuk bisa berdiskusi dalam hal pembagian tugas. Misalnya dengan suami, jelaskan apa yang sedang kamu rasakan dan apa yang bisa mereka bantu untuk bisa berbagi tanggung jawab bersama. Dengan anak, perempuan maupun laki-laki, juga perlu ditanamkan bahwa pekerjaan dalam rumah tangga bukan hanya menjadi tanggung jawab ibu semata. Bagi saya, prioritas utama selama pandemi adalah anak-anak. Mereka butuh “pengasuh”, artinya tidak hanya ditemani mainan atau gadget saat orangtuanya bekerja. Sehingga saya dan suami sepakat untuk bergantian mengambil peran untuk menemani putri kami yang masih berusia 10 tahun dan mengajak bermain si kecil yang masih balita.

Saya sendiri juga berusaha menerapkan pola komunikasi yang terbuka di dalam keluarga terutama dengan pasangan. Untuk bisa membagi tugas domestik dalam keluarga, saya juga perlu mencari momen yang tepat untuk menyampaikan hal-hal seperti kerja sama dalam rumah, misalnya untuk mengurus anak-anak selama saya bekerja. Syukurlah pasangan saya juga bisa berkompromi, jam kerja saya yang juga terbilang singkat membuat kesepakatan di antara kami sering tercipta. Kalaupun saya memang sudah menyelesaikan pekerjaan saya, suami pun bisa kembali melanjutkan pekerjaannya.

Komunikasi yang sehat di dalam keluarga memungkinkan kita untuk bisa saling berbagi beban yang kita rasakan. Dukungan secara mental juga kadang menjadi poin krusial yang seringkali luput dari perhatian kita. 

Kesadaran akan kesetaraan gender bisa kita mulai dari circle atau lingkungan paling kecil yang kita miliki. Keluarga adalah lingkungan pertama yang kita lalui untuk belajar bersosialisasi dalam masyarakat. Maka, sudah saatnya kita #RaiseTheBar, dalam hal toleransi terhadap sesama untuk bisa mewujudkan lingkungan bermasyarakat yang lebih sehat dan nyaman. Sekaligus juga menciptakan kesempatan untuk saling berempati dan bekerja sama  #TanpaPenghalang.

 

 

Referensi:

KAJIAN DINAMIKA PERUBAHAN DI DALAM RUMAH TANGGA SELAMA COVID 19 DI 34 PROVINSI DI INDONESIA

https://komnasperempuan.go.id/uploadedFiles/webOld/file/Kerjasama%20KP%20dan%20KOminfo/2020%20Siaran%20Pers%20Pernyataan%20Misoginis%20Pejabat%20Publik%20(39%20Mei%202020)/Eksekutif%20Summary%20KAJIAN%20DINAMIKA%20PERUBAHAN%20DI%20DALAM%20RUMAH%20TANGGA_03062020.pdf

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024