Self Health & Wellness

Berbagi Berlebihan

Dewasa ini, adalah hal yang lumrah untuk kita berbagi banyak hal di media sosial. Mulai dari hal-hal yang inspiratif hingga pengalaman pribadi. Sayangnya, banyak dari kita belum benar-benar memahami penggunaan media sosial sesuai fungsinya masing-masing dan menyebabkan terjadinya fenomena oversharing atau berbagi berlebihan. Ketika berbicara tentang berlebihan, sudah pasti tidak akan berujung baik. Akan tetapi, sebelum  mendefinisikan arti oversharing secara harafiah, kita sebaiknya memberikan edukasi pada diri sendiri terlebih dahulu konteks fenomena ini.

Sayangnya, banyak dari kita belum benar-benar memahami penggunaan media sosial sesuai fungsinya masing-masing dan menyebabkan terjadinya fenomena oversharing atau berbagi berlebihan.

Oversharing adalah sebuah situasi di mana konten yang kita bagikan di media sosial berpotensi mengganggu orang lain atau bahkan berdampak buruk pada diri sendiri. Hanya saja, setiap orang punya pengertiannya masing-masing soal oversharing. Mungkin ada salah satu pengikut Instagram yang merasa terganggu dan menganggap kita terlalu banyak posting. Ada juga yang tidak. Contohnya ketika melihat seorang ibu muda yang baru saja memiliki anak bayi lalu banyak membagikan foto-foto bayinya di media sosial. Ada yang mungkin berpikir ia berlebihan dan merasa kasihan dengan anaknya yang terus difoto. Ada juga yang berpikir ia hanya ingin membagikan momen bahagia sehingga sangat wajar jika ia membagikan foto-foto tersebut.

Selain itu, setiap media sosial punya fungsi yang berbeda-beda. Tumblr, misalnya. Media sosial ini diciptakan memang untuk membagikan kisah orang-orang dalam format yang panjang. Mirip juga dengan Twitter yang memang menyediakan tempat untuk banyak posting karena dianggap menjadi tempat untuk berdiskusi dan untuk membuang pikiran-pikiran. Berbeda dengan Instagram yang bisa berpotensi membuat penggunanya membagikan konten berlebihan. Mungkin jika ia adalah seorang influencer atau selebgram, kegiatan berbagi memang sebuah keharusan karena jadi pekerjaannya. Tapi jika profesi guru atau politikus, mungkin membagikan konten terlalu banyak dengan isi yang cukup personal dapat dikatakan oversharing.

 

Alasan seseorang berbagi berlebihan

Terdapat beragam alasan mengapa seseorang suka berbagi berlebihan. Salah satunya adalah perilaku kompulsif yang hadir dalam dirinya. Perilaku ini mempersulitnya untuk mengendalikan keinginan untuk berbagi konten di akun media sosial. Ini sama saja seperti ketika kita tidak bisa menahan pikiran kita untuk mengomentari fisik teman. Sehingga secara tidak sadar ia terus-menerus berbagi karena terbiasa untuk langsung posting apa yang ada di pikirannya. Faktor kebosanan bisa juga jadi latar belakang perilaku berbagi berlebihan di publik. Ia berusaha untuk mengusir kebosanan dengan berbagi banyak konten di akun medsosnya. Kurangnya rasa kepercayaan diri yang mendorongnya untuk mendapatkan validasi sosial, faktor egosentris yang membuatnya merasa harus jadi pusat perhatian, serta perasaan aman karena bisa mengungkapkan apa saja di dunia maya tanpa harus bertatap langsung dengan manusia, juga jadi beberapa alasan seseorang membagikan konten berlebihan. 
 

Dampak berbagi berlebihan bagi kehidupan

Bahaya atau tidak, membagikan pengalaman hidup secara berlebihan —utamanya tentang hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan mental, semuanya tergantung konteks. Menurut saya ada dua lapisan konsekuensi dari oversharing. Pertama adalah meningkatkan perilaku kompulsif dalam dirinya. Jika ia tidak tahu benar apa motifnya terus-menerus membagikan konten di publik, ia semakin sulit menahan dorongan-dorongan lain dalam kegiatan sehari-hari. Awalnya mungkin hanya dorongan untuk selalu posting. Tapi lama kelamaan ia bisa sulit menahan dorongan makan berlebihan, belanja berlebihan, dan lain-lain. Di samping itu, seseorang yang berbagi berlebihan di medsos juga berpotensi untuk tenggelam dalam identitasnya di dunia maya. Ia merasa mendapat validasi di sana sehingga menjadikannya keharusan agar terus merasa eksis. 

Lapisan berikutnya adalah konsekuensi sosial. Saat membagikan sesuatu yang amat personal di publik seperti pengalaman seksual atau pengalaman bunuh diri, seseorang bisa mendapat reaksi negatif dari para follower. Kemungkinan lainnya adalah ia sulit mendapatkan pekerjaan karena dianggap bisa merugikan perusahaan. Sejatinya, manusia perlu untuk melindungi diri dari kritik atau perlakuan yang dapat mempermalukan sebab kita memiliki ego. Saat terlalu banyak membagikan konten yang personal, kita membuka kesempatan untuk orang lain melemparkan pemikiran negatifnya terhadap kita. Suatu hari bukannya tidak mungkin ini memengaruhi kesehatan mental kita. Berkata begini, sebenarnya semua kembali lagi ke tiap-tiap orang. Ada yang merasa dirinya open book, seseorang yang sangat terbuka dan tidak masalah membahas kehidupan pribadi dan itu sah-sah saja. 

Sejatinya, manusia perlu untuk melindungi diri dari kritik atau perlakuan yang dapat mempermalukan sebab kita memiliki ego.

Batasan membagikan ruang personal di publik

Pada dasarnya, tidak ada ukuran yang pasti untuk menentukan batas-batas jumlah atau isi konten yang bisa membuat kita masuk dalam kriteria oversharing. Tapi menurut saya batas ini bisa ditentukan dari lingkungan sekitar. Salah satu alasan kenapa kita sebaiknya tetap menyimpan hal-hal yang sifatnya personal untuk tidak dibagikan di publik adalah untuk menjaga koneksi yang otentik dengan orang-orang di sekitar. Ketika kita membagikan konten tentang kesehatan mental, apakah orang tua kita berkenan? Apakah pasangan kita setuju? Adakah dampak yang memengaruhi kehidupan mereka dengan pengakuan kita? Kalau membagikan konten yang berkenaan dengan pekerjaan, apakah tidak akan ada masalah dengan pihak perusahaan?

Salah satu alasan kenapa kita sebaiknya tetap menyimpan hal-hal yang sifatnya personal untuk tidak dibagikan di publik adalah untuk menjaga koneksi yang otentik dengan orang-orang di sekitar.

Menurut saya pada akhirnya batasan yang jelas untuk mengetahui apakah kita oversharing atau tidak adalah lingkungan sekitar. Kita bisa merasa open book tapi orang tua atau pasangan belum tentu setuju apalagi jika konten yang dibagikan bisa membahayakan mereka. Kalau kita dibicarakan oleh orang lain karena konten yang dipublikasikan di media sosial, orang terdekat bisa terkena imbasnya juga. Maka sebelum membagikan sesuatu yang personal di publik, kita perlu memikirkan apakah orang-orang terdekat nyaman dengan apa yang dibagikan.

Saran saya adalah, sebelum membagikan sesuatu kita perlu menyadari apa motif di balik publikasi tersebut. Kita juga perlu memastikan apakah tindakan itu adalah bentuk romantisasi kesehatan mental, sad fishing (mencari simpati atau perhatian orang lain) atau memang punya tujuan untuk memberikan inspirasi pada orang lain. Dengan demikian, kita bisa lebih sadar akan apa yang kita lakukan dan menghindari dampak buruk yang mungkin terjadi pada diri sendiri dan orang lain secara sengaja atau tidak.

Sebelum membagikan sesuatu kita perlu menyadari apa motif di balik publikasi tersebut

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024