Memulai karir di industri musik di usia yang masih beli membuat The Overtunes memiliki berbagai pengalaman tumbuh bersama sebagai individu dan juga musisi. Melalui pertemuan, percapakan, dan juga observasi yang dilakukan sepanjang karir. Kali ini The Overtunes berbincang mengenai bagaimana cara mereka menumbuhkan rasa percaya diri untuk dapat beropini dan berkolaborasi dengan banyak orang.
Mikha (MI): Kalau cerita dari awal The Overtunes sebenarnya buat kita ada beberapa tanggal yang mungkin termasuk kayak millestone gitu. Mungkin kalau dibandingkan dengan band-band lain yang ada tanggal anniversary anggotanya gitu The Overtunes kan formasinya sudah lengkap sejak aku lahir. Kita nggak terlalu ada tanggal pasti, kita mulai main musik juga karena dari kecil kita udah les musik jadi otomatis temen nge-jam-nya ya kita bertiga ini.
Mungkin millestone pertama yang kita inget adalah ketika Reuben ada tugas musikalisasi puisi di kelas 8. Aku beda satu angkatan sama Reuben, dan Reuben harus (membuat) musikalisasi puisi dari Chairul Anwar, Derai-Derai Cemara, dan di situ Reuben juga minta tolong aku untuk coba bikin lagu. Terus kita coba rekam, kita upload di Facebook. Bermula dari situ ternyata perjalanannya lumayan panjang, kita mulai aktif di Facebook kita dulu, upload cover, upload lagu kita sendiri.
Reuben (RE): Mau bikin label (musik) sebenarnya waktu itu, sebagai anak-anak.
MI: Kita merasa sangat forward minded ya dulu, sebagai anak-anak SMP mau coba bikin label sendiri. Mungkin millestone setelah itu pas kita masuk major label kali, ya? Itu di tahun 2013 seingat aku. Setelah aku ikut X Factor sebagai solois kita di kontrak label sebagai trio. Itu kayaknya perjalanan The Overtunes di industri musik bermula di situ. Dari 2013 pas kita rilis single pertama kita yang judulnya “Sayap Pelindungmu”. Setelah itu fast forward-nya lumayan panjang untuk bisa sampai ke sini sih, dua album setelahnya, tiga album soundtrack, dan itu sih kalau diingat lagi awal dari The Overtunes.
RE: Sekarang juga masih terasa sangat surreal, mungkin bukan mimpi jadi kenyataan juga, tapi hampir kali, ya. Karena berasa semua musisi favorit kita entah itu The Script, John Mayer, saat itu (aku berpikir) kita satu label sama mereka, nih? Secara teknis. Semuanya lah mulai dari Anggun, Ello, ketemu di kantor bisa lihat mereka langsung aja dulu, wow. Serius, nih?
MI: Ada berbagai tahapan banget, sih, proses kita.
Mada (MA): Awalnya kita benar-benar jelek banget, nggak up to professional standard banget. Ya, kita anak-anak kecil gitu kan. Terus, ya, ibaratnya kita dicemplungin ke bagian paling dalamnya industri (musik). Kita pernah sempat nyoba manggung di cafe, di bar, kita juga harus entertain orang yang lebih tua dari kita. Kita diminta les musik lagi. Ya sudah kalian les vokal, terus alat musik , supaya lebih mantap lagi dalam bermusik. Terus kita ikut, berapa tahun, ya? 3-4 tahun kali, ya, les musik.
MI: Perjalanannya lebih mengubah persepsi orang terhadap The Overtunes tapi lebih kayak kita melawan label kita sendiri. Di awal kita masuk dari perspektif The Overtunes, oh, kita naik kelas nih, sudah masuk ke dalam label. Kita ada di satu tempat sama artis-artis yang memang keren banget. Sementara mungkin dari sis major labelnya, ini ada anak-anak baru yang masih naif banget dan nggak tahu harus apa di dalam industri. Ya sudah, kita kasih apa yang mereka perlu dan mereka kerjain.
Setelah itu ada tahap juga di mana kita merasa, kita harus membuktikan diri kita sendiri banget. Kita merasa kita bisa bikin lagu, sementara dari label merasa ada lagu bagus dan bisa kita nyanyikan. Ada tahap di mana kita juga ada clash-nya karena kita merasa kita bisa kontribusi lebih ke album kita sendiri. Ada berbagai perdebatan, misalnya boleh nggak di album kita ada lagu Bahasa Inggris, sementara kita sudah nulis beberapa lagu dalam Bahasa Inggris.
RE: Mungkin juga untuk ngisi gitar sendiri gitu, ya?
MI: Iya, kita ke studio (dan bertanya) boleh nggak kita ngisi gitar sendiri? Jadi kita rekam sendiri atau cari pemain yang memang mau untuk ngisi di album kita. Itu semua diperjuangin jadi merasa ada banyak banget tahap di mana The Overtunes cuma dianggap sebagai anak-anak yang mungkin ada potensi untuk bisa terkenal sampai ada masanya orang label juga merasa kita bisa nulis lagu. Lama-lama kita pun bisa lihat kalau ke junior kita, kita bisa lihat orang yang masih naif itu kayak gimana. Jadi, itu proses di dalam major label panjang banget dan pembelajarannya penting-penting semua.
RE: Dan bersyukur juga kali, ya, kita ketemu banyak orang yang juga peduli sama kita di tengah-tengah itu juga kita bersyukur bisa ketemu orang yang peduli. Makanya kita juga dikasih les, bersyukur juga sih akan hal itu, ya. Dikasih kesempatan untuk berkembang, dan akhirnya ada juga yang benar-benar peduli secara personal dan sampai sekarang masih mendukung band-nya. Akhirnya kita ketemu banyak orang-orang penting dalam karir The Overtunes dari masa-masa di major label juga.
MA: Kita berani menyuarakan opini ketika ada orang di dalam label, waktu itu, yang benar-benar menunjukkan kalau dia fully support kita dan kita kayak merasa sudah ada di lingkungan yang sangat-sangat aman. Tahu kalau ada orang-orang seperti itu yang percaya banget sama kita. Terus kemudian di tahun-tahun itu juga kebetulan seinget gue itu masuk anak-anak magang yang seumuran kita. Jadi, ketika kita mau menyampaikan opini kita nggak terlalu takut karena kita kayak ngobrol sama sesama teman aja. Kayaknya itu adalah tahun-tahun krusial, di karir kita.
RE: Juga karena ada orang-orang yang berani ambil risiko terhadap kita yang nanyain, “kalian pernah nggak, sih, rekaman di studio sendiri, kalian pasti pengen kan, tapi pernah nggak?” Rasanya kalo orang kasih tanggung jawab kita juga ingin balas dengan baik.
MI: Paling tidak buat aku pribadi, itu perjalanan yang susah banget, sih, untuk bisa berani menyuarakan pendapat atau untuk mempertahankan ide sendiri itu susah banget. Mungkin salah satu alasannya karena kita masuk ke industri musik mulai dari aku umur 15 atau 16 tahun. Terbiasa saat bertemu siapa pun pasti, selalu setuju, sampi secara nggak sadar sudah hampir 7 tahun dalam industri dan muncul junior atau temen-temen yang lebih muda, aku masih “iya kak, iya kak” karena terbiasa dari awal. Buatku ada perjalanan yang panjang dari awalnya hanya ikut saja dan percaya apa pun yang orang bilang, padahal mungkin di dalam diri tidak setuju, sampai akhirnya sekarang bisa yakin dengan apa yang aku punya dan kalau aku mengajukan ide aku merasa bisa memperjuangkannya dengan sepenuh hati.
RE: Mungkin mikir gini juga, kalau orang salah tangkap akan apa yang kita maksud, hampir selalu sebenarnya bukan salah orang yang menerima. Dalam artian, sebetulnya jalan pikiran orang nggak ada yang benar-benar sama. Jadi, kalau kita mau berkomunikasi, apalagi ide-ide kreatif, di usia yang sangat muda, kita sebenarnya lihat secara langsung bahwa satu karya musik untuk bisa diproduksi dengan baik dan disampaikan ke masyarakat sebenarnya butuh kerjasama begitu banyak orang.
Kalau orang salah tangkap akan apa yang kita maksud, hampir selalu sebenarnya bukan salah orang yang menerima. Dalam artian, sebetulnya jalan pikiran orang nggak ada yang benar-benar sama.
MI: Ada masa di mana kita senaif itu. Kita melihat orang-orang ngerjain A atau B, kita merasa sebenarnya kita bisa melakukan itu semua. Akhirnya merasa bisa bikin sendiri, padahal ada baiknya untuk punya orang-orang yang hebat di bidangnya masing-masing, mengerjakan banyak hal demi satu tujuan. Itu penting dan sering kali orang nggak sadari. Dari situ banyak bertumbuh juga, karena ada orang yang awalnya kita kira nggak jelas tapi begitu kita kenal betul ternyata ada alasan-alasan tertentu kenapa dia nggak bisa ngerjain ini dan itu. Jadi, selalu ada orang baik di mana pun.
RE: Sekarang kita rasa belajar dari kekuatan dan kekurangan kita, lah, ya. Apa yang kita alami selama 6 tahun, banyak banget yang bisa kita pelajari. Tapi gue rasa dulu kekurangannya juga adalah kita terlalu dilindungi. Mungkin untuk alasan baik juga, dengan perlakuan seperti itu bisa jadi ada orang yang star syndrom tapi ada juga yang antisosial karena agak terlalu dijaga, atau karena kita-nya, ya.
MI: Tapi memang beda banget, sih, tahapnya kalau orang yang kayak kita, dari kecil hanya (bermusik) di-circle keluarga aja tiba-tiba langsung dimasukin ke industri yang besar dan disiapkan untuk jadi seorang artis itu beda banget dengan orang yang mungkin masuk ke dunia industri sebagai orang yang ingin menciptakan musik dan ingin menemukan lingkungannya. Bener mungkin kata Reuben, kita inget banget dulu setiap kali kita manggung atau tour promo ke radio atau apa pun, selalu orang label menciptakan lingkungan seakan kita spesial banget. Jadi, orang lain harus set up dulu sebelum kita datang, soundcheck nggak boleh ikut. Pokoknya kita harus selalu jadi bintangnya, lah. Kayaknya itu awal di mana kita merasa makin ke sini makin nggak cocok gaya hidup seperti itu dengan kita, karena ada juga orang yang datang dari lingkungan berbeda dan lebih suka untuk datang ke mana pun untuk kolaborasi, dan lain-lain.
Sepertinya perbedaan posisi itu yang awalnya menjadi sulit buat kita. Ketika kita sudah nggak di posisi itu lagi, kita sedikit ada waktu kebingungan untuk mendekati siapa pun dan bagaimana cara mengajak orang untuk berkolaborasi. Bagaimana cara mengajak orang lain kerjasama, kita nggak tahu sama sekali gimana caranya. Kita terbiasa dibantu pengerjaannya oleh orang lain dan kita sangat dijauhkan dari aspek itu, selalu terima jadi aja. Makanya dari situ agak shock juga dari kita, karena kita harus melakukan banyak hal tapi kita kurang ngerti cara melakukannya.
RE: Sekarang mungkin yang bikin lebih rileks karena kita tahu pertemanan juga nggak bisa dipaksakan, kita terkadang nggak bisa milih temen kita. Terkadang justru enak karena harusnya mungkin kita otentik aja dengan karya dan pikiran kita karena sebenarnya teman-teman yang sepemikiran pada akhirnya akan berkumpul dengan sendirinya. Terkadang ada cara misterius kenapa orang-orang ini bisa berjumpa. Mungkin itu kayak seleksi natural kali, ya. Seleksi alam, jadi orang-orang yang punya ketertarikan terhadap hal-hal yang sama, apalagi di era internet jadi lebih mudah bertemu. Buat kita tapi harus dijadiin aja gitu, memang harus ketemu.
Sebenarnya teman-teman yang sepemikiran pada akhirnya akan berkumpul dengan sendirinya. Terkadang ada cara misterius kenapa orang-orang ini bisa berjumpa. Mungkin itu kayak seleksi natural
MI: Masalah kita itu aja sih, culture shock aja, masih minder dan nggak PD dan bingung harus ngapain itu masalah awal The Overtunes ketika harus jalan sendiri. Banyak mindernya. Untuk melawan minder buat aku pribadi perjalanannya lumayan panjang karena rasa percaya diri juga nggak bisa dibohongi. Kalau buat aku, percaya diri muncul ketika memaksa untuk ketemu orang dan berkolaborasi dengan orang yang tadinya aku anggap jauh di atas aku dari segi skill atau lingkungan.
Ada orang yang kita anggap sudah jauh di atas. Beda liga lah istilahnya, yang kalau diajak kolaborasi, secara insting aku pasti bilang, pasti akan canggung banget mau ngomong apa? Ini pikiran yang sangat nyata tapi kayaknya memang harus dilewati dan aku bersyukur banget ada banyak momen di hidup aku kemarin di mana aku maksa untuk ketemu banyak orang dan kesimpulan paling pentingnya adalah setiap orang mirip. Orang yang mungkin tadinya aku anggap paling bisa semuanya dan paling jago di bidangnya ternyata punya banyak pertanyaan juga dan mereka minder juga akan beberapa hal yang ada dalam diri mereka. Dari situ aku baru sadar betapa miripnya kita semua, betapa manusianya aku dan orang itu.
Orang yang mungkin tadinya aku anggap paling bisa semuanya dan paling jago di bidangnya ternyata punya banyak pertanyaan juga dan mereka minder juga akan beberapa hal yang ada dalam diri mereka. Dari situ aku baru sadar betapa miripnya kita semua, betapa manusianya aku dan orang itu.
RE: Gue punya ilustrasi bagus, deh, tentang hal ini. Baru-baru ini gue baru ketemu sama Gerald Situmorang, yang mana lo tau lah dia salah satu idola gue dalam bermusik. Kita ngobrol secara langsung tapi dia juga nanya ke aku soal film dokumenter The Beattles, dia bilang liat, deh, ternyata John Lenonn sama Paul McCartney ya tetap John Lennon sama Paul McCartney. Sama kayak kita juga, tenyata mereka juga debat soal lagu dan lirik. Sebenarnya proses kreatif mereka yang mungkin adalah penulis lagu paling hebat sepanjang sejarah ya sama aja. Semua orang pada dasarnya adalah manusia jadi kalau kita tetap autentik dan nggak gombal saat bertemu orang, nggak harus telalu memuji, sebenarnya kita bisa membangun relasi dengan mereka. Kalau memang punya minat yang cocok, mustinya manusia bisa saling ngobrol, kalau nggak saling sombong atau minder. Cari titik tengahnya.
Semua orang pada dasarnya adalah manusia jadi kalau kita tetap autentik dan nggak gombal saat bertemu orang, nggak harus telalu memuji, sebenarnya kita bisa membangun relasi dengan mereka. Kalau memang punya minat yang cocok, mustinya manusia bisa saling ngobrol, kalau nggak saling sombong atau minder. Cari titik tengahnya.
MI: Iya, sebenarnya kayak tadi (ungkapan) beda liga atau kelasnya lebih tinggi itu cuma asumsi dan ilusi, aja.
RE: Juga merusak komunikasi nggak, sih? Kalau kita merasa di atas jadi sombong, kalau merasa di bawah jadi terlalu minder. Mada juga suka tanya ke aku, kok aku suka banget nanya-nanya ke orang? Karena aku yakin sebenernya setiap orang punya cerita yang menarik dan bahkan punya perspektif yang kita nggak punya dan kalau digali sebenarnya kita bisa mencicipi sedikit, lah.
MA: Iya, buat rasa tenang mungkin. Di waktu bersamaan mungkin juga sesederhana gimana proses mereka bikin lagu. Apa yang membuat mereka beda dari kita, walaupun nggak kerjasama bareng dan cuma mengenal pribadinya seperti apa. Apa yang membuat vokal lo lebih baik, tekniknya apa, ini lumayan membuka dunia lawan bicara kita juga. Bagaimana cara mereka berpikir juga, pendekatannya mungkin bisa gue coba juga kali, ya. Mencari inspirasi barengan walaupun nggak kerjasama. Di luar musiknya sendiri, kta juga seperti misalnya ketemu sesama manusia lainnya, kita bisa cerita dengan keluh-kesahnya kita.
MI: Sebenarnya nggak terlalu banyak dari ngobrol, tapi dari mengamati dan kolaborasi itu tadi dengan orang-orang yang aku anggap sangat hebat dalam bidangnya dan melihat ternyata ketika mereka bekerja banyak kemiripan dengan kita. Proses dan ketakutannya juga mirip, aku jadi bisa melihat banyak karya bagus dan ketika tahu proses dan apa yang dilakukan ornag-orang di dalamnya itu lumayan mengubah perspektif aku terhadap musik secara keseluruhan dan satu lagi terhadap kemampuan diri sendiri.