Menjadi seniman keramik, ternyata memberikanku begitu banyak pelajaran. Bukan hanya segi desain dan estetika, namun ternyata dari seni ini juga kudapatkan ilmu-ilmu tentang kehidupan – tentang bagaimana manusia seharusnya menjalani hidup.
Berangkat dari latar belakang desain yang mengutamakan presisi sesungguhnya sedikit menyulitkan bagiku ketika masuk ke dalam dunia keramik. Namun apa yang membuatku jatuh cinta pada seni ini adalah karena tantangannya. Aku memang telah mulai menciptakan karya desain semenjak tahun 2008, namun dalam medium yang berbeda-beda. Seni keramik kemudian menjadi begitu menarik bagiku karena pada setiap langkah prosesnya selalu ada sebuah transformasi di dalamnya. Mulai dari bongkahan lumpur, lalu menajdi benda setengah padat, hingga akhirnya berubah menjadi objek permanen yang tidak berubah bentuknya. Dan dalam setiap tahapan tersebut, ada proses-proses tertentu yang harus diikuti secara spesifik.
Selain itu, ide bahwa tanah liat butuh untuk ‘didengar’ merupakan suatu elemen yang juga sangat menarik bagiku. Seperti hubungan yang resiprokal. Seperti misal saat ada retakan atau bentuk-bentuk yang bergeser pada hasil akhir sebuah keramik, aku harus mencoba merefleksikan kembali dan mengingat apa yang salah dalam prosesnya. Apabila problemanya tidak diatasi sejak awal – misalnya saat mempersiapkan tanah liat masih ada gelembung-gelembung udaranya, pasti hasil akhirnya terlihat ketidaksempurnaannya. Semua hal seperti itu yang artinya aku sebagai seniman harus benar-benar ‘mendengar’ dan merasakan kondisi tanahnya. Jika ternyata tanah liat yang kita kerjakan ternyata memang inginnya dibentuk ke arah yang berbeda, ya kita harus mendengarkan keinginannya.
Hakikatnya kita sebagai manusia kan memang controlling – karena ada desain yang ingin dicapai. Sementara tanah liat belum tentu bisa mengikuti keinginan kita dan malah bergerak ke arah yang berbeda yang tidak kita bayangkan sebelumnya namun ternyata kadang hasilnya justru lebih baik daripada bayangan kita.
Misalnya saja saat aku ingin menduplikasi bentuk keramik yang kubuat dengan tanah Kanada dulu di Jakarta. Tanah yang kudapatkan di Jakarta berasal dari Sukabumi yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan tanah Kanada. Hasilnya, bentuk yang sama tidak akan tercapai karena hasil akhirnya selalu ada bagian yang terjatuh. Dari situ aku belajar bahwa memang kita tidak dapat memaksakan jika sesuatu yang kita pegang tersebut tidak mampu mencapainya.
Sebagai orang desain, aku merupakan sosok yang begitu controlling. Aku hanya ingin melakukan segala sesuatu dengan suatu cara tertentu. Namun sejak bergelut dengan keramik, aku mulai melangkah mundur sedikit dan menjadi lebih ‘nrimo’ – pasrah dan menerima. Seperti saat selesai membuka tungku dan hasil keramik yang dibuat tidak sesuai dengan apa yang kita inginkan, ya, aku akan terima saja. Memang bukan seperti yang aku inginkan, namun memiliki estetika yang berbeda dan masih terlihat apik dalam caranya sendiri.
Dari pengalaman-pengalaman itulah yang kemudian mengajarkanku bahwa dalam menghadapi tanah liat di seni keramik sebetulnya sama seperti manusia menghadapi tantangan dalam hidup. Kita tidak boleh memaksakan semuanya seperti kehendak kita karena belum tentu apa yang kita inginkan itu memang baik. Siapa tahu memang ada tujuan lain yang disiapkanNya dalam hidup untuk kita – hanya saja kita sebelumnya tidak mau mendengar. Jadi nikmati saja perjalanan hidup dan segala prosesnya dan ingat bahwa tidak akan pernah ada yang namanya kesempurnaan dalam hidup.