Ada banyak sekali komponen dan aspek untuk mendefinisikan hubungan yang sehat. Secara teori pun demikian, ada banyak sekali teori tentang relasi, tergantung pada sudut pandang pembuat teori. Kalau kemudian saya rangkum secara sederhana berdasarkan apa yang saya pelajari dan temui di klien-klien saat konseling, hubungan yang sehat justru sangat personal. Ada lima hal mendasar yang menjadi fondasi relasi yang sehat.
Pertama, keterbukaan dengan pasangan. Komunikasi memegang peranan penting ketika kita menjalin relasi dengan orang lain. Komunikasi yang terbuka dan dua arah adalah salah satu kunci membangun hubungan yang sehat.
Kedua, trust atau kepercayaan. Ketika menjalin relasi, trust yang dimiliki harus konstan. Makna konstan bukan berarti selalu sama tapi kita punya dasar yang cukup kuat untuk percaya pada orang tersebut. Kalaupun ada rasa cemburu atau hal yang membuat kita sulit percaya, maka hal tersebut harus berlandaskan rasionalitas bukan perasaan semata.
Ketiga adalah respect atau rasa saling menghormati. Hubungan yang sehat harus dilakukan dengan rasa saling menghormati, mendukung, dan menghargai perbedaan yang ada.
Keempat ialah kesetaraan. Ada dua orang yang terlibat, terutama dalam relasi romantis maka dua belah pihak harus saling berbagi kekuasaan dan tanggung jawab, jangan sampai ada yang merasa direndahkan atau terlalu mendominasi.
Terakhir yang tidak kalah penting adalah komitmen. Kedua individu yang terlibat di dalam hubungan harus saling bekerja sama untuk membangun dan mempertahankan hubungan yang ada.
Kelima hal ini adalah hal-hal dasar yang perlu dimiliki dalam menjalin sebuah hubungan. Jika ada yang hilang, maka besar kemungkinan akan berpengaruh pada penyelesaian konflik yang nantinya akan terjadi seiring dengan perkembangan dinamika hubungan yang ada.
Satu hal yang berperan paling penting adalah kemampuan berkomunikasi dengan pasangan. Bahkan, biasanya kita tertarik dengan seseorang melalui komunikasi yang terjadi. Kalau obrolan yang terjalin menarik ini kemudian membuat kita nyaman dan tertarik untuk membangun relasi yang lebih serius. Ketika komunikasi yang terjadi di awal memang sudah tidak nyaman ya jangan dipaksakan. Ini penting untuk dipahami, karena belum tentu pola komunikasinya salah, mungkin memang tidak cocok.
Kalau ingin memperbaiki pola komunikasi, kita bisa mulai dengan mendengarkan secara aktif. Ketika berbicara dengan pasangan, kita perlu hadir sepenuhnya, mindfully there. Dengarkan dengan seksama, tidak perlu sibuk berpikir tentang apa yang kita katakan selanjutnya atau respons apa yang harus kita berikan, terkadang pasangan kita hanya perlu didengar. Coba untuk mendengarkan dan hadir sepenuhnya, sehingga pasangan kita merasa dihargai. Skill komunikasi pertama yang perlu kita asah adalah menjadi pendengar yang baik.
Ketika berbicara dengan pasangan, kita perlu hadir sepenuhnya, mindfully there. Dengarkan dengan seksama, tidak perlu sibuk berpikir tentang apa yang kita katakan selanjutnya atau respon apa yang harus kita berikan, terkadang pasangan kita hanya perlu didengar.
Berikutnya, coba pahami bahasa tubuh pasangan. Pada awal hubungan mungkin memang tidak terlihat, tapi seiring berjalannya waktu kita akan lebih bisa melihat dan memahami pola komunikasi non-verbal yang ditunjukkan oleh pasangan. Perhatikan gerak tubuh, ekspresi wajah, gestur, serta intonasi suara, karena ini dapat menjadi petunjuk mengenai perasaan mereka yang sebenarnya. Jadi kita tidak hanya mengandalkan komunikasi berdasarkan teks atau kata-kata saja.
Ketika berkomunikasi dengan pasangan, usahakan berbicara dengan jujur dan terbuka. Sampaikan perasaan, harapan, dan masalah kita dengan jujur tapi juga lembut dan asertif. Gunakan intonasi yang lembut serta pemilihan kata yang baik agar pesan yang ingin diutarakan bisa diterima dengan lebih efektif. Ini juga berkaitan dengan pemilihan waktu saat ingin berbicara, terutama terkait dengan topik-topik sensitif. Hindari membahas topik sensitif bersama pasangan saat emosi kita tidak stabil.
Perbedaan antara kebutuhan untuk mengambil jeda sebelum berdiskusi dengan pasangan dan silent treatment adalah kejelasan berapa lama kita butuh waktu tenang. Jangan buat pasangan kita bertanya-tanya, jelaskan bahwa kita butuh jeda untuk meredakan emosi dan berpikir. Kemudian atur waktu yang tepat untuk berbicara setelah menenangkan diri.
Perbedaan antara kebutuhan untuk mengambil jeda sebelum berdiskusi dengan pasangan dan silent treatment adalah kejelasan berapa lama kita butuh waktu tenang.
Jarang sekali ada relasi yang toxic sejak awal, biasanya hal ini terjadi seiring perubahan yang terjadi. Ada beberapa faktor yang memengaruhi sebuah relasi menjadi toxic, saya tidak bilang individu yang terlibat di dalam hubungan tersebut toxic, bisa jadi situasi yang kemudian membuat sebuah relasi berubah menjadi tidak sehat. Di antaranya adalah komunikasi yang kurang baik, sehingga banyak kesalahpahaman yang terjadi. Biasanya hal ini terjadi karena penumpukan konflik yang tidak terselesaikan dengan baik.
Faktor lainnya adalah ketidaksetaraan dalam hubungan. Aspek kesetaraan juga persepsinya sangat personal. Kita mungkin pernah mendengar sebuah relasi yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, mereka memulai dari “nol”, lalu kemudian pencapaian salah satu pihak melesat. Hal ini kemudian membuat salah satu pihak merasa kecil atau justru terlalu mendominasi, ketidaksetaraan ini yang kemudian lama-lama membuat sebuah hubungan berubah menjadi tidak sehat.
Terakhir, adalah faktor akibat adanya peristiwa-peristiwa signifikan dalam relasi tersebut. Misalnya saja perselingkuhan atau kekerasan. Hal ini kemudian membuat salah satu pihak merasa cemburu atau overprotective. Awalnya mungkin coba untuk dimaklumi tapi kalau terjadi terus menerus tentu akan berdampak negatif pada relasi yang dibangun.
Apakah kita bisa mencegah agar sebuah hubungan tidak berubah menjadi toxic?
Dalam banyak kasus menurut saya sebenarnya bisa dicegah. Pertama tentu dengan komunikasi yang terbuka dan jujur. Bisa jadi pasangan kita ternyata tidak melihat masalah yang selama ini kita gelisahkan. Misalnya dalam sebuah relasi si A merasa pasangannya sudah melewati batas dengan chatting bersama teman kantor lawan jenis di malam hari selain urusan pekerjaan. Di sisi lain si B, pasangannya, merasa ini hal wajar karena mereka berteman. Kalau sejak awal sebuah masalah tidak dianggap penting oleh salah satu pihak, tentu penyelesaiannya akan sulit untuk ditemukan.
Kedua, perbanyak edukasi mengenai relasi yang sehat. Semakin banyak kita memahami, maka kita akan semakin sadar. Kalau kita berbicara tentang pencegahan, kita tidak harus terlebih dahulu terjebak dalam hubungan toxic. Kita sudah bisa menyadari red flags atau tanda peringatan yang ada sebelum sebuah hubungan menjadi lebih parah.
Beberapa waktu lalu saya juga menulis sebuah buku yang berjudul “Love, Explained”. Berangkat dari pembahasan seputar hubungan percintaan yang saya bagikan di Twitter, kemudian dihadirkan dalam format buku yang lebih komprehensif. Melalui buku ini, teman-teman bisa mendapat informasi seputar fenomena-fenomena relasi di sekitar kita yang mungkin sulit ditemukan jawabannya kalau hanya didiskusikan dengan teman yang awam. Jadi ini seperti panduan singkat mengenai relasi romantis buat kita-kita yang masih kebingungan dan ingin membangun hubungan yang lebih sehat bersama pasangan.
Ketiga adalah dengan konseling atau psikoterapi. Kalau kondisinya sudah kian buruk saya rasa sulit menanganinya sendirian. Berkonsultasi dengan professional membantu kita untuk melihat kondisi hubungan yang sedang dijalani dengan lebih objektif. Kebanyakan orang yang terjebak di hubungan yang toxic adalah orang-orang yang sudah dimanipulasi sedemikian rupa selama bertahun-tahun, sehingga sulit untuk membedakan mana realita dan mana yang bukan. Jadi konseling atau psikoterapi itu membantu kita untuk melihat diri kita lebih objektif lagi dan membantu kita agar tidak semakin meninggalkan jati diri kita.
Keempat, berikan batasan. penting untuk menetapkan batasan yang sehat dalam hubungan dan memastikan antara kita dan pasangan ini merasa nyaman akan batasan tersebut, itu untuk mencegah hal-hal toxic itu terjadi di relasi. Terakhir adalah dengan bekerja sama. Kalau hanya satu pihak yang berusaha sedangkan pihak lainnya hasa menunggu keajaiban maka sulit untuk mengatasi masalah yang ada.
Saya paham bahwa keluar dari hubungan yang tidak sehat memang tidak mudah. Sekalipun kita merasa ada banyak alasan untuk mengakhiri hubungan, tapi orang yang berada dalam toxic relationship biasanya sudah terlanjur bergantung pada pasangannya sehingga menyudahi relasi bukan lagi perkara sederhana. Sulit untuk bisa mengambil sikap dan keluar dari hubungan yang tidak sehat saat kita tidak percaya pada diri sendiri. Terkadang, juga memori yang sudah dimiliki terasa terlalu lama dan berharga sehingga sangat ingin diperjuangkan, seolah bersedia menggadaikan masa depan.
Padahal coba dipikir kembali, katakanlah kita sudah menjalani hubungan selama 10 tahun. Kalau dibandingkan dengan kemungkinan terbaik, misalnya menikah, hubungan tersebut bisa berlangsung selama 50 tahun. Apakah kita bersedia menghabiskan 40 tahun berikutnya dengan hubungan yang rumit dan tidak sehat? Kita tidak perlu mengorbankan diri untuk menyelamatkan masa lalu. Sesayang apapun kita pada pasangan, coba sayangi dulu diri kita sendiri. Jangan berlama-lama mengorbankan diri untuk orang yang justru menyakiti kita.
Tidak ada ilmu pasti untuk menjalin relasi romantis bersama pasangan. Intinya hubungan yang sehat itu harus jelas dan sederhana. Make it clear and simple. Sebuah hubungan harus jelas, artinya kita harus mengomunikasikan tujuan kita dalam membangun hubungan. Kalau tujuannya saja tidak jelas, tentu kita juga akan sulit untuk membangun komitmen bersama pasangan. Bicarakan tujuan hubungan kita, apakah mungkin ingin berteman, pacaran, atau menikah dan memiliki keturunan.
Sebuah hubungan juga sebaiknya sederhana. Jangan dulu pusing memikirkan penyelesaian konflik atau komunikasi yang asertif. Hal pertama yang harus dipastikan adalah kita sama-sama tertarik. Bukan sekedar jatuh cinta di awal, tapi kita tertarik untuk bertumbuh bersama orang tersebut, tertarik secara fisik, tertarik untuk menyelami cerita hidupnya, begitu juga sebaliknya.
Hal pertama yang harus dipastikan adalah kita sama-sama tertarik. Bukan sekedar jatuh cinta di awal, tapi kita tertarik untuk bertumbuh bersama orang tersebut, tertarik secara fisik, tertarik untuk menyelami cerita hidupnya, begitu juga sebaliknya.
Rasanya sudah tidak zaman lagi untuk tarik ulur, melihat sebesar apa perjuangan orang lain untuk mendapatkan kita. Boleh saja, tapi menurut saya tidak efektif untuk membentuk relasi yang sehat karena itu hanya akan memberikan jurang pertanyaan akan kejelasan sebuah hubungan. Jadi membangun hubungan yang sehat seharusnya tidak rumit, it should be clear and simple.
Membangun hubungan yang sehat seharusnya tidak rumit, it should be clear and simple.