Manusia adalah makhluk yang memiliki emosi. Ini terkadang membuat kita sulit konsisten dengan kata-kata dan perilaku. Tapi kita, manusia, berkembang, berevolusi, dan terus berupaya untuk jadi lebih baik ke depannya. Aku juga mengakui masih ada perilaku yang tidak konsisten dalam beberapa aspek. Namun, aku juga sering merasa terganggu dengan orang yang tidak konsisten. Contohnya ketika ada seseorang yang sudah membuat janji tapi kemudian mendadak dibatalkan karena alasan yang tidak jelas. Aku termasuk orang yang sangat terencana. Ketika aku membuat janji dengan seseorang, itu berarti aku sudah mendedikasikan waktu tersebut untuknya, berada di kegiatan tersebut. Jadi, ketika ternyata ia membatalkan tiba-tiba dengan alasan yang kurang masuk akal, aku merasa ini cukup mengganggu. Seolah dia tidak menghargai waktu orang lain.
Sementara itu, di dunia digital juga banyak hal-hal yang dapat memicu emosiku. Akan tetapi, tidak semua akan aku respon. Semua tergantung apa isu yang hadir dan situasiku saat itu. Tapi aku pasti akan emosi jika ada tindakan yang berhubungan dengan kekerasan pada hewan. Entah itu satwa yang dilindungi atau binatang peliharaan, atau bahkan jika ada yang mengonsumsi daging hewan selain hewan ternak, aku pasti akan meresponnya. Terutama jika mereka melakukan itu semata-mata hanya untuk mendapatkan perhatian dan like. Di era pandemi ini, aku juga sering kesal dengan orang-orang yang bertindak berlawanan dari aturan soal kesehatan dan keamanan. Aturan yang terang-terangan menyatakan cara bekerja virus ini. Padahal itu untuk kebaikannya sendiri dan bersama. Tapi karena mengutamakan ego sambil berlindung dibalik loophole ‘protokol’, akhirnya tetap mengabaikan anjuran yang berbasis fakta.
Meskipun begitu, tentu tidak semua hal aku ungkapkan begitu saja. Setiap kali mengomentari sesuatu dan mengunggahnya di media sosial, aku tidak pernah ada niat untuk menyakiti perasaan seseorang dengan sengaja. Aku pasti akan memerhatikan situasinya seperti apa sebelum menyatakan opini. Itu tentu jika tujuan kita memang untuk sebuah kemajuan. Jadi, biasanya aku akan memilih topik atau isu apa yang memang ingin diperjuangkan.
Setiap kali mengomentari sesuatu dan mengunggahnya di media sosial, aku tidak pernah ada niat untuk menyakiti perasaan seseorang dengan sengaja.
Setiap orang punya perjuangan yang berbeda-beda sesuai dengan persepsi dan kepercayaan mereka masing-masing. Kalau misalnya aku bicara tentang kesejahteraan satwa, lalu ada yang mempertanyakan, “Bagaimana dengan anak-anak yang kelaparan?”. Aku tidak bilang kita tidak boleh memerhatikan isu itu. Tapi kita masing-masing punya perjuangan yang berbeda yang punya prioritas yang berbeda pula. Mengapa tidak kita bersuara bersama-sama atas isu yang berbeda-beda dan secara kolektif memperjuangkan itu untuk mengarah ke perkembangan? Kalau memang ada yang berlawanan, semua bisa diperdebatkan. Selama percakapan tidak ditutup, itulah yang membuat kita, manusia, terus berkembang.
Menurutku, semua orang bebas berpendapat. Seberapa pun misalnya ada argumen yang menyebalkannya dari orang lain terhadapku, aku bisa saja tidak setuju, tetapi aku akan tetap membela hak orang tersebut untuk berbicara. Kalau memang kita sedang dalam kondisi yang tidak memungkinkan, kapan saja kita bisa undur diri dan keluar dari perdebatan tersebut. Kita seharusnya punya hak untuk berpendapat, tapi kita juga punya pilihan untuk tidak mendengar atau menggubris opini yang menurut kita tidak ada nilainya dan hanya akan membuang waktu. Yang jelas, kita tidak berhak menutup mulut orang lain. Bahayanya membungkam opini orang —sebodoh-bodohnya opini itu, adalah apabila suatu hari berbalik pada kita di mana justru kita yang dibungkam oleh yang tidak setuju pada kita.
Kita seharusnya punya hak untuk berpendapat, tapi kita juga punya pilihan untuk tidak mendengar atau menggubris opini yang menurut kita tidak ada nilainya dan hanya akan membuang waktu.
Pada dasarnya, kita tidak pernah bisa mengendalikan opini orang lain. Kita bisa saja menjadi seseorang yang “main aman” dengan tidak pernah bersuara tentang apapun yang sebenarnya ingin kita suarakan. Ada kalanya itu bisa melindungi kita, tentu, misalnya di situasi-situasi yang sayangnya kalau mengeluarkan pendapat, bisa mengancam kesejahteraan fisik atau nyawa. Pick your battles wisely.
Tapi kalau urusan takut mencelakakan reputasi, (reputasi adalah sesuatu yang menurutku tidak bisa sepenuhnya bisa kita kontrol) itu tetap tidak menjadi jaminan bahwa dengan “main aman” kita tetap ‘terlindungi’. Menurutku, ‘Walking on eggshells forever, expecting that by doing so won’t disappoint anyone ever, thus preserving my reputation’ hanya akan mengecewakan diriku. Karena akan selalu ada saja orang yang tidak suka dengan kita, mau kita bersuara atau tidak. Namanya juga manusia dengan berbagai latar pasti tidak ada yang 100 persen selalu setuju dengan opini kita, maupun pilihan kita untuk bersuara ataupun diam. Jadi, untuk aku pribadi, lebih baik bicara. Tapi kalau memilih diam, untuk keselamatan fisik dan mental, itu juga hak kamu. Walau secara pribadi sangat disayangkan sebab menurut aku ideologi APAPUN seharusnya bisa didebat dan didiskusikan demi progres.
Itu dia mengapa aku merasa penting untuk kita, terutama untuk aku memilih isu apa yang harus diperjuangkan. Tidak semuanya perlu dibicarakan. Bukannya tidak boleh, tapi untuk kesehatan mental kita juga. Yang terpenting, saat mulai berbicara kita baiknya menyadari bahwa setiap opini pasti akan memunculkan opini lain. Jadi paling tidak kita dari awal menyadari adanya konsekuensi dari segala opini yang dikeluarkan. Maka, tujuan kita berpendapat bukan sekadar untuk mencari menang kalah. Tapi untuk mengeluarkan suara atas apa yang menurut kita penting dibicarakan.
Maka, tujuan kita berpendapat bukan sekadar untuk mencari menang kalah. Tapi untuk mengeluarkan suara atas apa yang menurut kita penting dibicarakan.
Sejak kecil hingga sekarang, aku sering mendapatkan opini yang berlawanan. Dari segala pengalaman itu aku terus belajar menyatakan dan menerima opini. Tiap medium beropini, entah itu secara langsung atau di media sosial, mekanisme pertahanan dirinya beda-beda. Belakangan karena menjalani konseling, aku merasa ini membantu sekali untuk merespon segala perasaan yang muncul sebab terpicu sebuah isu. Aku sedang belajar bagaimana mengendalikan emosi terhadap hal-hal yang menyebalkan. Biasanya aku akan menganalisa: Apa yang membuatku kesal? Apakah cara bicaranya? Atau poin-poin yang diutarakan? Atau justru kondisiku yang tidak bisa menerima opini tersebut? Dengan mengolah pertanyaan-pertanyaan itu, aku merasa lebih bisa melihat masalah lebih objektif dan bisa menahan untuk melakukan sesuatu yang impulsif semata-mata untuk melampiaskan emosi.
Pertama kali mencoba terapi adalah saat aku mengetahui ternyata ada hal-hal yang butuh diproses. Setelah mencari tahu lebih banyak, terapi atau pergi ke praktisi kesehatan mental sangat bermanfaat untukku. Selain itu, mengikuti sesi konseling juga membantuku untuk bisa menjadi support system bagi orang lain. Aku beruntung sekali memiliki suami dan saudara-saudara yang menjadi support system. Tapi aku tidak mau selalu bergantung pada mereka. Aku tahu mereka memiliki masalahnya sendiri-sendiri. Dengan aku bisa memproses pikiran negatif dalam diri dengan seorang ahli di bidang kesehatan mental, aku justru bisa mempunyai ruang emosi untuk fokus menjadi support system yang baik untuk orang-orang yang aku sayang.