Manusia diciptakan di hari keenam sebagai mahakarya. Atas dasar itu, manusia dimuliakan, juga memuliakan dirinya atas ciptaan lain. Bentuk kemuliaan itu adalah apa yang namanya hak asasi. Manusia yakin betul ia punya hak yang fundamental dan pantang dipertanyakan. Hak yang diperoleh semata-mata karena manusia adalah manusia.
Menggunakan hak ini tanpa kekangan merupakan konsep dasar kebebasan. Tentunya, kebebasan tidak pernah seratus persen. Kalau manusia menerapkan kebebasan - dan juga bentuk hak asasinya yang lain - seratus persen maka yang terancam adalah kedamaian. Untuk alasan ini maka muncullah penyeimbang hak, yaitu kewajiban.
Hak diseimbangkan oleh kewajiban, kebebasan diseimbangkan oleh aturan. Saya bebas untuk menerapkan hak atas kelangsungan hidup pribadi dengan cara membunuh orang yang mengancam nyawa saya, lalu ada aturan yang mewajibkan saya bertanggung jawab atas praktek pembunuhan tersebut.
Semakin banyak manusia dan ragamnya, semakin rumit aturan-aturan yang menjaga agar manusia tidak jadi bebas berantakan. Maka, konsep kebebasan pun disempurnakan menjadi “kebebasan yang bertanggung jawab”.
Dengan menjadi bebas bertanggung jawab semoga manusia hidup damai lalu jadi bahagia.
Ini adalah pelajaran yang ditanamkan sejak kita masih di sekolah dasar. “Bebas bertanggung jawab” - kalau dirunut ke belakang - akarnya adalah kepercayaan bahwa manusia itu diciptakan sebagai mahakarya. Bersama dengan kisah penciptaan dalam 6+1 hari itu pun hadir cerita tentang pelangi yang dilukis oleh sosok pelukis agung di langit yang biru, Bumi sebagai pusat semesta, dan seterusnya.
Kebebasan adalah produk paham penciptaan, atau creationism. Seperti kita sudah maklum, paham penciptaan adalah sebuah kisah yang cukup dipercaya saja. Jangan ditilik pakai nalar. Jangan dipertanyakan. Diterima pakai iman saja. Jangan masukan ke departemen pemikiran, namun ke komisi khayal.
Jadi, kenapa manusia percaya bahwa ia berhak bebas? Rupanya, karena manusia berani berkhayal.
Mari bereksperimen dengan preposisi lain, yaitu bahwa manusia tidak pernah diciptakan. Bahwa manusia sama dengan kecoa dan bunga bangkai, yaitu produk alami yang memakan waktu produksi selama jutaan tahun. Manusia tidak punya keistimewaan. Boleh jadi manusia sangat kompleks sehingga bisa punya kesadaran yang saling berhubungan satu sama lain sehingga secara komunal manusia menjadi makhluk hidup yang paling berkuasa. Namun, pada hakekatnya manusia adalah hewan dan tetumbuhan. Mari kita coba tanggalkan kesombongan dan rasa istimewa itu.
Mari kita turuti saja insting hewani untuk bertahan hidup demi kelanjutan spesies kita. Konsep tentang hak tidak pernah ada. Yang penting adalah mampu berjuang, baik secara individu maupun kolektif. Demikian, kita mengatur barisan, membagi tugas, berfungsi sesuai kemampuan dan posisi, untuk pertama-tama menjaga diri, lalu saling menjaga.
Kalau kelompok kita sudah berkembang jumlahnya maka wilayah hidup perlu diperluas. Jika membutuhkan wilayah hidup kelompok lain, maka kebutuhan kita memperluas wilayah hidup pun berbenturan dengan kebutuhan mereka menjaga wilayah hidup mereka. Maka terjadi perang.
Namun, setelah berulang-ulang kali perang kita akan belajar bahwa ada jalan lain bernama diplomasi, atau kerja sama, atau kolaborasi. Yang menguasai sungai juga membutuhkan penguasa hutan. Teknologi pertanian bisa dibarter dengan ilmu pelayaran. Saling berbagi hasil alam supaya kedua kelompok hidup berdampingan dengan tenteram pun bisa dijalankan.
Sampai di sini, khayalan tentang adanya hak asasi dan turunannya, yaitu konsep kebebasan, tidak dibutuhkan. Perdamaian tetap mungkin diciptakan. Kebahagiaan tetap bisa dicapai. “Kebebasan yang bertanggung jawab” yang rumit dan kompleks itu bisa diabaikan.
Tentunya ada banyak faktor lain yang perlu kita perhitungkan dalam eksperimen ini. Bagaimana dengan keserakahan yang melahirkan agresi dan penjajahan wilayah kelompok lain? Bagaimana dengan korupsi yang lalu mengkhianati perjanjian perdamaian? Bagaimana dengan ketidakadilan dalam distribusi kekayaan alam?
Insting alami setiap makhluk hidup bukanlah melakukan kejahatan ataupun kebaikan, melainkan - sekali lagi - bertahan hidup. Bertahan hidup berarti mempertahankan juga apa yang ia butuhkan untuk kelangsungan hidupnya. Konsep baik dan jahat, jujur dan curang, dan dikotomi lain lagi-lagi berakar pada dikotomi antara manusia dan bukan manusia, di mana manusia menganggap dirinya lebih mulia karena diciptakan sebagai mahakarya di hari keenam. “Saya adalah ciptaan yang mulia, sementara hiu tidak mulia. Kalau hiu memakan kaki saya waktu saya main ke wilayah hidupnya di laut, maka hiu itu bukan lapar, tapi jahat terhadap saya. Tidak ada hiu yang tidak jahat.”
Setelah lama manusia mulai bercocok tanam maka mereka pun memandang teman-teman mereka yang masih berburu sebagai “manusia buas”, alias setengah binatang. Setelah datang ke Pulau Jawa dan melihat ada manusia yang serba berbeda, bahkan wujud fisiknya lebih kecil (alias lemah), maka orang-orang kulit putih itu memandang orang-orang Jawa bukan setara dengan mereka sehingga boleh dijajah.
Setelah ratusan tahun, superioritas penjajah terseimbangkan dengan inferioritas yang terjajah. Inferioritas sama sekali tidak lebih baik atau buruk daripada superioritas. Tujuh puluh tiga tahun Indonesia sudah mengaku merdeka namun inferioritas kaum terjajah masih merajalela dalam wujud: “Karena saya rakyat kecil maka para pengusaha kaya wajib menolong saya, dan saya berhak mencuri kekayaan mereka apabila perlu.”
Semua itu karena insting alami untuk bertahan hidup. Bukan baik dan buruk, bukan benar dan salah, bukan adil dan timpang.
Sampai di titik ini pun, konsep kebebasan dan hak asasi manusia hanyalah topik-topik sampingan. Sekedar wacana.
Yang kita butuhkan bukan kebebasan yang konsepnya begitu rancu itu. Yang kita butuhkan bukan kemerdekaan yang hanya bagus kalau disorakkan dengan lantang - entah sebagai mantera peperangan, perlawanan atau pertahanan.
Yang kita butuhkan adalah kewarasan untuk berunding, bukan berperang. Berbagi pendapat, bukan sensor konten internet. Berdiskusi, bukan memaksakan keimanan. Wujud-wujud kewarasan ini yang menjadi perkakas buat kita bertahan hidup, baik individual maupun komunal.
Bagi saya, kemerdekaan adalah sebuah agama. Sama seperti agama, kemerdekaan adalah halusinasi massal yang bisa menyatukan kita dalam mencapai sebuah tujuan.
Kita percaya kita merdeka dan bisa menentukan arah hidup kita sendiri walau pada praktiknya kita terjerat oleh gaji bulanan, asuransi kesehatan, nilai tukar mata uang, harga tanah, kemajuan negara tetangga, roket, nuklir, dan seterusnya. Dengan kepercayaan ini kita bisa sekedar menyatukan tekad, tujuan dan program kerja. Apabila halusinasi massal ini terganggu, maka kita jadi sama-sama menderita, lalu semakin bersatu buat bertahan hidup bersama.
Sama seperti setiap agama perlu hari raya buat, maka kemerdekaan juga perlu diglorifikasi dalam setiap periode waktu tertentu. Semakin kencang disorakkan bersama, maka kemerdekaan semakin menjadi iman dan kepercayaan.
Dan, ketika kita turun ke jalan raya, dan melihat pengendara sepeda motor yang menjajah bahu jalan, pengendara mobil yang ogah melambat di jalur penyeberangan, diskriminasi di tempat kerja berbasis jenis kelamin, agama dan ras, maka kita tahu bahwa Indonesia bukannya belum merdeka. Sudah merdeka, kita imani. Sudah bebas, kita percaya. Tapi masih berantakan, kita harus akui.