Ketika orang melihat aku di panggung peragaan busana, berlenggang begitu indah di sepanjang catwalk dengan pakaian menawan dan riasan cantik, mungkin mereka dalam hati berkata betapa percaya dirinya aku untuk berada di atas sana. Apalagi dengan rambutku yang tidak lebih dari satu sentimeter ini. Banyak dari mereka pasti mengira aku sangat berani untuk tampil demikian. Ya, mereka benar. Aku berani tampil beda. Tapi itu sekarang ketika aku sudah melewati berbagai fase dalam hidup yang bisa mengubahku menjadi seorang Hayati yang sekarang ini bisa menegakkan kepala dan memandang lurus tajam ke depan.
Sebelum aku menyelami dunia model aku bahkan sulit untuk berbicara di depan umum. Butuh proses yang cukup panjang untuk aku bisa mendobrak insecurity dalam diri ini. Sepanjang kehidupan bersekolah aku tidak bisa berada di depan kelas. Sulit sekali rasanya mengungkapkan apa yang ingin aku utarakan dan itu bukan tanpa sebab. Aku berasal dari keluarga yang cukup religius dan kolot. Budaya timur yang begitu kental serta orangtua yang mendominasi hidup menjadi alasan mengapa aku sulit untuk merasa percaya diri dari kecil sampai akhirnya berkarier menjadi model. Keluargaku bukanlah keluarga yang memberikan kebebasan. Kedua orangtuaku menginginkan aku untuk sukses sesuai dengan konsep mereka bukan kehendakku. Mereka bukan juga orang yang memiliki pemikiran terbuka. Begitu pun aku dulu. Akibatnya aku jadi sulit untuk punya suara untuk mendebat keputusan mereka akan langkah yang ingin aku tapaki.
Namun ada satu titik di mana aku menemukan bahwa apa yang mereka inginkan dariku bukanlah diriku. Aku tahu aku berbeda dari kecil. Aku tidak seperti anak perempuan yang ada di lingkunganku. Aku tidak suka melakukan apa yang banyak orang lakukan. Selalu mencari apa yang berbeda. Being the same is just mainstream for me. Hingga aku mendapatkan banyak inspirasi dari video-video YouTube. Banyak unggahan yang memberikan aku motivasi untuk mencari jati diriku sendiri sehingga mendorongku untuk membentuk kerangka berpikir yang lebih terbuka. Secara tidak langsung mungkin ini juga yang mendorongku untuk mencoba modeling selain dari saran dari beberapa orang teman.
Being the same is just mainstream for me.
Awal sebelum lulus SMA aku tidak punya harapan untuk melanjutkan kuliah di universitas favorit dengan jurusan populer. Di saat teman-temanku berlomba untuk masuk ITB, UI, aku hanya ingin cari aman. Masuk universitas yang tidak perlu banyak proses dan usaha. Bisa dibilang aku tidak punya keinginan untuk menjadi apa, hanya mengikuti kemauan orang tua saja. Mengambil jurusan DKV (Desain Komunikasi Visual) aku tetap tidak terbayang ingin menjadi apa karena tidak semua subjek bisa aku kuasai. Mungkin kalau tidak terjun ke modeling aku dulu hanya terpikir untuk menjadi kasir Starbucks saja. Jadi sebenarnya modeling sangat menyelamatkan hidupku. Modeling membuatku lebih banyak belajar ketimbang berkuliah. Tapi tidak mudah juga untuk mendapatkan restu dari orang tua. Niatanku menjadi seorang model direspon dengan larangan, “Kalau modeling bagaimana kuliahnya?”, “Nanti kalau jadi model pasti foto bikini, pasti memperlihatkan aurat. Tidak boleh!” Meski sekarang mama sudah lebih memahami tapi papa tetap belum bisa memberi restu dan bahkan bisa dibilang tidak tahu kalau aku masih menekuni industri ini.
Aku ingin mendobrak diriku untuk "bodo amat" dengan pemikiran mereka karena aku bisa gila kalau harus terus-terusan mendengarkan orang lain. Tapi aku juga peduli tentang apa yang mereka pikirkan tentang aku. Hingga aku berpikir, “Ya sudahlah mereka mungkin cuma bisa menghakimi dari kejelekan aku saja tapi ini yang mungkin bisa tetap menyambungkan relasi kami.” Dari pemikiran-pemikiran yang mulai membentuk keinginan kuat untuk berubah menggiringku pada pertemuan dengan agensi model yang banyak menolong meningkatkan kepercayaan diri. Aku banyak cerita pada mereka tentang insecurity serta masa lalu yang sulit membuatku percaya diri. Mereka banyak menolong dengan berbagai macam cara untuk meningkatkan kepercayaan diriku sedikit demi sedikit hingga akhirnya aku berani tampil, berani bicara di depan umum. Selama proses itu aku juga menjalani proses penerimaan diri di mana melibatkan sejumlah orang. Dulu sempat sering berada dalam sekumpulan individu yang berbagi cerita. Aku mendengar banyak kisah mereka yang mengalami kejadian kurang menyenangkan jauh lebih parah dariku terkait insecurity. Sesi berbagi itu membuatku tersadar untuk bersyukur dan mencintai diriku sendiri. Aku termotivasi untuk menyebarkan energi positif pada mereka untuk mencintai diri mereka sendiri dengan aku menunjukkan penerimaan diriku sendiri.
Aku ingin mendobrak diriku untuk 'bodo amat' dengan pemikiran mereka karena aku bisa gila kalau harus terus-terusan mendengarkan orang lain.
Menurutku, setiap orang harus menunjukkan perbedaan mereka di tengah-tengah pribadi lainnya. Seringkali saat aku berpikir, “Wow, orang ini keren banget!” itu bukan dari penampilan diri atau bagaimana dia mencoba menampilkan dirinya sendiri yang justru terlihat pura-pura. Aku akan merasa seseorang itu keren ketika dia tidak peduli dengan apa yang dipikirkan orang lain tentang dirinya. Percaya diri dengan tanpa harus berusaha keras menunjukkan bahwa dia percaya diri. Dengan apa yang aku tampilkan di publik, aku berusaha untuk menyebarkan hal ini. Kepalaku yang botak ingin memberikan pesan pada perempuan lainnya untuk mereka menerima dirinya sendiri, bagaimana pun penampilan mereka. Aku ingin mereka mencintai dirinya sendiri ketimbang mencari inspirasi dan berusaha untuk mencontoh figur lain. Bukan karena melihat, “Ih. Hayati keren banget dengan tubuh jangkung dan kepala botak. Aku mau seperti dia.” Tapi dengan merasa nyaman dengan dirinya sendiri karena apa yang aku lakuin belum tentu mereka bisa lakuin. Jangan ingin botak karena aku, tapi ingin botak karena nyaman sama dirinya sendiri.
Setiap orang harus menunjukkan perbedaan mereka di tengah-tengah pribadi lainnya.